SARAPAN

1917 Words
Pov: Rained Mau ditaruh dimana muka gue, karena merayu ponakan sendiri. Sekarang gue harus turun sarapan dengan seluruh anggota keluarga. Sialnya lagi, Bang Lukman dan keluarganya ternyata sudah satu minggu menginap di sini. Bisa-bisanya gue nggak tahu. Yang gue ingat, rumah kami jauh lebih besar daripada rumah Bang Lukman. Terakhir kali gue berkunjung ke Mutiara Indah Regency, gue masih berumur 17 tahun dan Sora waktu itu 10 tahun. Bisa dipermaklumkan, bahwa gue nggak akan mengenali dia. Dulu, Sora sangat manis dan manja sama gue. Kalau sekarang dia manja ke gue akan bahaya. Oh ya, dulu papa membuat rumah ini dengan konsep istana putih. Jadi banyak kamar tamu, ruang makan besar, dan ruang tamu yang seperti lobby hotel-hotel bintang lima. Dari dulu Bang Lukman dan keluarganya sering menginap di sini. Dulu spot favorit gue dan Sora adalah kolam renang yang sekarang jadi kebun hidroponik Pakde dan Bude. Sebenarnya gue males makan sama keluarga besar, menghindari banyak pertanyaan patriarki kepada lelaki yang sudah masuk 28 tahun tapi masih senang main di klub malam. Apalagi juru penghakiman keluarga ada di sana, siapa lagi kalau bukan kakak tertua gue Jullien, dikombo sama adik gue ustad Austin, nah kalau sudah hadits dari Austin keluar, yang paling berdosa pasti gue. Satu-satunya yang bikin semangat itu Sora. Ruang makan berhadapan dengan halaman belakang yang luas, rerumputan dan air terjun buatan yang didesain sama Bang Lukman. "Pagi semua," sapa gue dengan mata tertuju pada satu orang di belakang oven. Dia sedang memunggungi gue, tapi siluet tubuhnya yang melekuk-lekuk itu nggak akan bisa mengelabui mata gue. Soraya Lestari Bachtiar, lo pagi-pagi aja udah sexy. "Pagi Om" Dia menoleh membalas sapaan gue, dia tersenyum melihat gue. Pas senyum matanya sedikit menyipit. Allahuakbar, bisa tahan berapa lama yak gue jadi Omnya. "Pagi" balas the bachtiar yang selalu kompak. Bude menarik lengan gue dan mencium pipi gue, hal yang selalu dia lakukan sejak gue remaja. “Udah shalat subuh?” “Udah bude.” Bohong dong. Pakde duduk di kursinya, tidak pernah berpindah tempat, dia duduk pada kursi yang di ujung meja. Seorang diri dengan buku bacaannya. Dia lelaki yang diam. Aku mendekatinya, mengelus punggungnya. “Bagus ini, Sirah Nabawiyah. Nanti kamu baca juga ya.” Gue mengangguk, dia melanjutkan bacaannya dan aku memilih duduk di dekat Bias. “Rain ambilkan tehnya Pade di Jullie.” Perintah bude membuat gue bangkit dari duduk. Sementara Bude sendiri berjalan ke taman belakang. Mata gue menyapu cepat kegiatan anggota keluarga ini di pagi hari. Bang Lukman sibuk sama Ipad, mendesain bukan lagi pekerjaan baginya tapi kebiasaan. Lalu ada Bias yang makan sereal sambil nyekrolin hp. Romeo sama istrinya masih di kamar, bisa dimaklumi pengantin baru, keluarga gue nggak ada yang julit, ngomongin menantu perkara telat bangun dan bla-bla-bla. Meyda, entahlah, mungkin lagi ngitungin debu di kamarnya. “Austin mana?” tanyaku entah pada siapapun yang mendengar. “Ada kajian subuh di masjid akbar Ustad Mirzah katanya.” yang jawab sahabatnya, Bias. ya Bias dan Austin itu udah kayak saudara kembar. Sambil jalan ke arah kakak gue yang sibuk di dapur, seperti biasa, gue selalu mengingat sosoknya di balik Island dapur, mamah dulu sering mengagumi masakan kakak. Kata mamah gue harus cari istri yang pinter masak, supaya gue bisa perbaikan gizi. Dulu nggak percaya, tapi gue nemu nih, satu cewek di balik oven, sialnya ponakan sendiri. “Kak.” Aku memanggil kakak. “Tuh di meja Island, sekalian herbalnya Bude tumpah ke mug itu ya.” dia merintah-merintah tanpa melihat gue. Lagi sibuk menyiapkan entah kaldu apa yang dicicipinya berulang kali. “Bisakan?” Gue meringis. “Sini om aku bantuin.” Anjing gue membeku. Gue tahu, gue sadar, gue nggak pernah seperti ini, tapi pada kenyataan gelar yang jauh-juah gue dapatkan dari Yale percuma, gue keliatan kek cowok begok depan Sora. Dia mengambil teko dan mug dari kabinet, lalu menumpahkan cairan berwarna hijau ke mug tersebut. Hidungnya meringis terkena uap cairan itu. “Bu baunya nggak enak.” dia ngomong ke ibunya. “Itu kan obat, kak.” Ibunya menanggapi. Melihat Sora dan ibunya, seperti melihat duo chef di dapur. Tangan Sora cepat dengan cekatan seolah dia sudah terbiasa dengan pekerjaan dapur. Dia kan anaknya Chairman masak iya seneng di dapur. Kenapa nggak bersihin kuku aja sih di kamar, cetin kuku, cantik-cantik, eh gue salah, dia udah cantik, gini aja udah cuaaaantik benget. “Om ini.” Dia menyodorkan gelasnya. “Om kok bengong.” Astaga, gue malu. Harusnya berhenti begok ya gue. “Oh.” Gue mengambil mug tersebut dan teh Pakde lalu pergi cepat-cepat dari dapur. Malu gue, ketauan bengong sambil liatin Sora. Asli muka gue merah banget pas gue duduk di meja dekat pakde, pakde sampai nanya. “Kamu sakit?” “Nggak pakde.” “Muka kamu merah.” Aku meringis, “Belum biasa sama udara jakarta.” “Sombongnya…” celetuk Bias dari kursinya. “Udah abisin aja tuh sereal mu. bocah.” Bias ini tubuhnya terlalu besar untuk ukuran bocah, dia kayak mahasiswa, malah kadang kalau jalan sama aku kami keliatan seumuran. Muke lu boros Bias. “Latihan Bang?” tanya ayahnya dari seberang meja, “Siang yah, jam 1. ” “Untuk pertandingan dimana?” tanya gue penasaran “Persiapan untuk Kejurnas bulan Mei. Om masih di sini kan?” “Insyaallah.” Bias setahu gue dulu anak manis yang suka banget sama binatang eh tahu-tahu jadi atlet tenis aja. Dulu dia sering diajakin papa dan Bang Lukman main tenis jadinya suka sama olahraganya dan sekarang sibuk ikut kejuaraan. Terakhir hampir masuk semi final Pon. Di grup keluarga ribut banget pas itu, gue cuma ngucapin selamat dan ngirimin dollar sebagai hadiah. Suara Bias juga, udah dalem banget, kek abang-abang-an. Gue mengalihkan pandangan pada sang kakak yang sedang memotong kue. Wajahnya setenang air tidak seperti gerakan tangannya yang cekatan. Sora menggunakan upron coklat dibalik gaun berwarna tosca. Rambutnya dikepang kuda dan menyisakan helaian cantik di pinggir wajahnya, pen gue selipin sisa rambutnya ke telinga. "Lap tu iler lo." Romeo berbisik tepat ke telinga gue. Gue hampir menonjok perutnya, kalau gak liat istrinya berdiri canggung dekat dia. Lintang menyapa semua orang lalu bergabung bersama Sora dan kak Jull. "Lagi buat apa Sora?" tanyanya dengan hati-hati, mungkin dia takut kali ya di marahin sama kak Jull. "Aku coba buat apple pie dengan resep baruku. Yang masak ibu, Bik Yani dan Bik Isah. Sepertinya Iga bakar, dan tomyam." Gak sengaja Sora menyadari aku sedang memandangnya, dia memberikan senyum kecil. . gue memalingkan wajah. Gile gue gak bisa gak melihat ke arah dia. Kayak leher gue emang di setting buat meleot kalo Sora lagi ngomong. "Pagi Bang." sapa Romeo menepuk bahu si Abang "Bang lo seumur hidup nyeket mulu." Persis isi pikiran gue. "Suka aja, ide lagi banyak pas pagi. Anggepnya iseng-iseng tetap produktif" jawabnya dengan wajah datar. Jadi beberapa bagian wajah Bang Lukman emang mirip Sora termasuk tubuh tinggi Sora yang lebih tinggi dari kakak gue. Dan damn! gue baru sadar setelah mengenal Bang Lukman sekian tahun bahwa mata dia warnanya coklat. Mungkin karena dia keseringan pake kaca mata dan gue juga gak pernah merhatiin dia segitunya. "Kenapa kamu ?" tanya sengit. gue menggeleng "Belum sober Bang" makin menjatuhkan aja si Romeo. Romeo memainkan mata. "Bang gue ke Inggris nanti malam nih." Mau ngepe pengusaha pom bensin ini pake acara ke inggris? Bang Lukman menunjukku dengan matanya, sambil menyeruput kopi. "Lo mau minta pesangon dari adek lo, gile lo ya?” Gue bersandar, saat itu itu Bik Isah meletakkan kopi di depan gue. Gue mendengarkan seruputan teh dari pakde, meski sedang membaca, gue tahu dia selalu menyimak obrolan di meja makan. “Siapin tempatnya lah bego, lo mau gue terlunta-lunta di Inggris. Gue mau liburan nih, gue mau produksi ponakan lo.” Oh. “Ya udah iya, nanti gue minta Jimmy asisten gue di sana untuk siapin tempat tinggal lo. Mau ke mana aja lo?” “London dua malam, terus mau pindah ke daerah york mau ngikutin tour kastil hantu..” Konyolnya. “Dari york mau ke Edinburgh, lalu ke Paris, berakhir di Brussel” Gue mengangguk. “Gue carikan yang di London dulu ya, nanti gue kirimin nomor Jimmy, lo hubungi aja dia.” "Nah seperti itu lebih baik, gue mau istri gue nyaman. Dia nggak boleh stres biar cepat hamil.” Gue meringis, dia pikir istrinya pabrik anak apa? Untungnya gue besar di luar jadi ideologi berpikir gue lebih baik dari Romeo. Romeo duduk di sebelah gue. Setelah mengambil cemilan di Island dapur yang dibuat Sora. Bang Lukman menegakkan kepala dari tabnya. "Kapan ke Bali Rain?” tanya nya dengan suara rendah, seperti Bias. “Nggak tahu Bang, belum ada rencana.” “Jangan yang di luar aja yang kamu perhatikan. Kita ada Hotel dan villa di Bali. Rumah di Bali juga nggak keurus, setiap tahun bayarin gaji art di sana tapi nggak pernah ada yang menempati.” Iya kah? keluarga ku ini juga nggak pernah ke Bali. Aku melirik Romeo, dia menunjukkan mimik bersalah. Terlalu banyak memori tentang mama di rumah kami di Bali, setelah mereka meninggal aku belum siap kembali ke sana, begitupun dengan Romeo dan Austin. "April kemarin, aku lihat kaungan hotel di Bali bocor, pemasaran dan advertisingnya harus segera di update. Di sekitar Villa kita sudah banyak villa-villa baru. Coba ke Bali, tinjau sama tim marketing, kira-kira permintaan pasar perhotelan seperti apa, kalau memang diperlukan renovasi biar segera dilakukan sebelum akhir tahun. Pendapatan Villa kurvanya masih jauh dari perkiraan.” Nah kan, belum mulai kerja gue udah dijejali tugas-tugas sama Abang gue tersayang. Si paling fishioner di rumah ini. Bayangkan gimana miskinnya gue kalo kakak gue gak nikah sama duda beranak dua bernama Lukman Bachtiar, dan bayangkan mungkin gak akan kenal cewek secantik Sora. “Agustus ini ada ajang surfing tingkat dunia, Abang coba koneksikan sama panitia acara siapa tahu bisa di arahkan ke hotel kita tamu-tamunya" "Iya Bang" Gue mau noleh ke belakang tapi tiba-tiba ada seseorang di sebelah gue, ketika mengangkat kepala sedikit gue melihat Sora dalam jarak 1 meter di sebelah gue. Gue tersengal, megangin d**a. "Kamu kenapa om?" tanyanya meletakkan sepotong pie strawberry di dekat kopi gue. "Coba deh, Sora baru nyoba resep baru" Gue menepuk-nepuk d**a, menenangkan degup jantung, menghindari tatapan mata Sora. “Aku duduk sini ya.” Malah duduk di sebelah gue. Si Romeo cengar-cengir dari seberang memperhatikan gelagat gue yang dia paham banget. “Sora mau nanya deh.” Karena dia ngomong gitu gue jadi menoleh ke Sora, dia mengangkat dagu, dan gue malah liatin mata coklatnya yang cemerlang. Samar-samar gue membaui, bau vanilla dan strawberry dari tubuhnya. Gimana manisnya kalau kulitnya gue cium. “Kamu ketemu Rain terakhir kali kapan?” Si anjing. Gue langsung melotot menyambut datangnya pertanyaan dari Romeo. Ujung bibir Rome udah menahan tawa. Rasanya kalau emosi gue kepancing Bang Lukman akan tahu soal apa yang terjadi kemarin. Sora mengerucutkan bibir, bahunya menyenggol bahuku. Astagfirullah. SORA. “Kapan ya om?” Aku mengangkat bahu. Bukan karena gue nggak tahu, gue males aja pembahasan ini jadinya panjang. Gue mendorong kursi “Kayaknya aku harus berangkat lebih dulu, aku mau urusin berkas hotel di Brussel. Kalo abang mau aku ke Bali, aku harus selesaikan ini dulu.” Sora tertunduk, mukanya agak sedih. Dan gue nggak sanggup menahan beban di d**a gue melihat reaksi sedihnya. Tangan ini reflek menyentuh kepalanya. “Kamu nganterin aku kan ke bandara pas aku berangkat ke Inggris. Pas itu kamu masih pake kawat gigi, bau matahari, rambut di kepang sama ibuk tapi tetap berantakkan.” Dia tersenyum kecil. Aku menyembunyikan senyumku lalu pergi meninggalkan sarapan keluarga pagi itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD