Part 4

1634 Words
"Bryan, Nadira mana?" Bryan melirik Uti, "Pergi." ujarnya kesal. "Pergi? Kenapa nggak kamu tahan?" "Bilang apa?" "Astagfirullah, Bryaaan! Masa gitu aja harus mama ajariiin?! Kamu, kan, laki-laki ... Masak nggak bisa ngerayu perempuan?" "Sudahlah, Ma. Mungkin dia ada urusan... Makan buburnya, nanti keburu dingin." "Tante Nadira itu pacar Dedy?" Bryan tersedak mendengar pertanyaan Elsya. Matanya melirik Uti, kemudian bergantian menoleh Elsya. "Kamu pikir Elsya masih kecil? Dia itu udah besar. Udah ngerti cinta cintaan." celetuk Uti. Elsya membulatkan bibir, mata bening itu bergantian melirik Uti dan Dedynya. Bryan memandang Elsya lekat, ia tak pernah sadar gadis kecilnya telah tumbuh menjadi gadis remaja. Tidak terasa, tujuh tahun sudah Ineke pergi meninggalkan mereka. Saat itu usia Elsya masih lima tahun. Perceraian tak bisa dihindari. Bryan tak ingin memaksa Ineke tetap bersamanya. Untuk apa? Nyatanya, ia tidak pernah bisa mendapatkan cinta Ineke. Di Rumahnya, setelah shalat subuh, Lendra melanjutkan tidur. Menyetir seharian bersama Nadira, ditambah kerja keras menghadapi Serangan Dena, membuatnya lelah. Dena menyiapkan sarapan pagi. Ia memakai jasa pembantu pulang pergi. Ia tidak ingin privasinya terganggu. Selesai menyiapkan sarapan, Dena ke ruang kerja. Sebagai seorang notaris, ada saja yang di kerjakan. Walau kliennya belum banyak, tapi ada saja yang memakai jasanya. Hari ini, ia berdandan cantik. Sudah saatnya ia memberitahu Lendra keadaan yang sebenarnya. Tidak mungkin terus menghindar diajak periksa ke dokter. Apalagi orang tua Lendra juga sudah sering bertanya kenapa belum hamil juga. Dena pasrah, apapun keputusan Lendra nanti ia terima. Dua tahun sudah lebih dari cukup merasakan kebahagiaan yang selama ini ia rindukan. Tak pernah terbayang sebelumya ada lelaki yang mau menikahinya. Yah, walau Ia tidak memberi tahu kondisi fisiknya. Dena hanya ingin merasakan seperti apa memiliki suami. Kejujuran pada beberapa calon suaminya selama ini, selalu berhujung perpisahan. Karena itu, Dena nekad menerima Lamaran Lendra. Di tolak atau diteriama, toh, sama saja, Lendra sudah meninggalkan Nadira. Dan waktu tidak akan bisa membawanya kembali ke masa itu. "Kriiieekk" Pintu terbuka, Lendra muncul dari balik pintu. Dena tersenyum menyambut Lendra, sebuah kecupan mendarat dipipinya. "Sudah bangun, Mas? Sarapan, yuk!" "Hayuk!" Lendra merangkul Dena mesra, menciumi aroma shampoo dari rambut hitam itu. "Kamu rapi amat? Mau kemana?" "Nggak kemana-mana, nungguin Mas bangun." Lendra menaikkan alis, sedikit ragu dengan jawaban Dena. Selesai sarapan, Dena mengajak Lendra ke kamar. Lendra mengernyitkan dahi. "Ronde kedua?" celetuknya menggoda. "Emang masih kuat?" "Ahaha, ntar malam aja, deh!" jawab Lendra mengerilingkan matanya, genit. "Mas, aku mau bicara empat mata sama kamu, setelah ini, apapun keputusan kamu, aku tetima." "Serius amat, apaan sih?" Ada, keraguan di hati Dena, Jantungnya tiba tiba berpacu cepat, keringat merembes dari pori pori, wajahmya memucat. "Dena ... Kamu nggak papa, kan? Kok kamu keringatan begitu? ... Wajah kamu pucat. Kamu sakit? Mau ke dokter?" Dena menarik napas dalam, menetralkan rasa di hati. Membuang segala kecemasan, mempersiapkan diri menerima apapun reaksi Lendra. Setelah merasa baikan, Dena mulai bicara. "Dulu, setiap datang bulan, aku selalu kesakitan, berguling-guling, bahkan sampai pingsan. Hingga suatu saat, haidku tak berhenti selama sebulan, aku periksa ke dokter, ternyata ada tumor ganas tumbuh di sana. Sebelum tumor itu menjalar kemana mana, dokter menganjurkan untuk mengankat rahim." Kalimat Dena terhenti, diliriknya Lendra. Lelaki itu mematung. Wajahnya pucat, tubuhnya menegang, matanya membulat menatap wanita didepannya, tangannya mengepal. "Dena..., apa yang barusan kamu katakan? Kamu tidak punya rahim?" Dena mengangguk pelan, buliran bening tumpah membentuk parit di pipi, napasnya terasa berat, ada sesuatu yang menghimpit dadanya, terasa sakit, hingga membuatnya sulit bernapas. Pelan ia turun dari tempat tidur, lalu bersimpuh di kaki Lendra. "Maafkan aku, Mas. Merahasiakan semua ini dari kamu." Dena terisak, air matanya menggenang di lantai. "Dena ... Kamu tega merahasiakan hal sepenting ini dari aku?! Apa yang harus kukatakan pada orang tuaku?!" Suara Lendra bergetar, menahan marah. Kasar, ia menepis Dena. Tangannya mengepal kuat, dihantamnya pintu lemari hingga jebol. "uuggrrr .... Ugghh.... " Tak puas menghantam lemari, ditendangnya kursi rias. "Brak!!" Dena mengkeret. Ia terduduk di lantai merapatkan tubuhnya ke tempat tidur. Tangannya meringkuk ke d**a. Takut, Dena ketakutan. Tak pernah dibayangkannya, Lendra bisa ngamuk seperti itu. Puas memporak porandakan isi kamar, Lendra menyambar kunci mobil lalu pergi. Dena masih tersedu di kamar, tubuhnya bergetar ketakutan. Ia teringat Nadira, ingin rasanya meminta maaf dan bersimpuh. Gontai, ia berjalan ke ruang kerja. Diambilnya hape yang tergeletak di meja, sesaat ia terdiam, memikirkan kalimat yang tepat mengirim pesan pada Nadira. Di Monas, Nadira mempercepat jalannya meninggalkan Bryan. Jantungnya berdetak kencang. Rasa bersalah karena menurutnya telah menaruh hati pada suami orang, membuat langkahnya lebih cepat sepuluh kali lipat. Malu, kesal, sedih, bercampur aduk di hati. Nadira pergi ke halte Busway, ingin kembali ke apartemen. Saat menunggu busway, notif panggilan masuk. Sebuah pesan dari Dena. [Assalammualaikum, Nadira. Aku ingin bertemu di danau UI, tempat kita biasa duduk. Barusan aku memberitahu Lendra tentang rahimku.] "Dek." Jantung Nadira berdetak cepat, ada rasa cemas yang teramat sangat di hati. Ditutupnya mulut dengan jemari. Tak terbayang seperti apa keadaan Dena saat ini. Gemetar, ia membalas. [Oke, aku segera kesana.] Segera, ia keluar dari halte busway. Setengah berlari menerobos keramaian. Letak stasiun yang cukup jauh membuatnya harus bergerak cepat. Bayangan Dena tujuh tahun silam saat menjerit-jerit mengetahui rahimnya harus diangkat, berkelebat dikepalanya. Dena terkapar di tempat tidur, wajahnya memucat, lemas tak b*******h. Lima belas menit menunggu, akhirnya kereta jurusan Manggarai tiba. Sigap, Nadira naik. Ia masih harus menyambung KRL menuju Depok. Di tempat lain, Lendra melaju mobilnya menuju lokasi proyek yang kemarin didatanginya bersama Nadira. Lihatlah di sana, Lelaki itu berjalan terhuyung, kakinya gemetar seolah tak mampu menopang beban tubuh. Matanya memerah, basah dan sembab. Bibirnya bergetar, tangannya mengepal kuat. Ada sesak di d**a. Sesak yang teramat sangat. Inikah balasan atas perbuatannya? Inikah hukuman yang harus ia terima? Lendra berteriak, menjerit sekuat yang dia bisa. Dadanya bergemuruh, lututnya bergetar hingga tak mampu lagi menahan tubuh. Ia tersungkur dan berlutut. "Astagfirullah ... Apa yang sudah kulakukan! Apa yang sudah kulakukaaaan... ! Maafkan aku Nadiraaa... Maafkan aku .... Aku pantas menerima ini! Aku pantas mendapat hukuman ini!! Nadiraaa...! Apa yang sudah kulakukan padamu! Tuhaaann, apunkan akuuu.... " Lelaki itu bersujud, tangannya mengepal menghentak hentak bumi. Sesekali tegak, sesaat kemudian kembali bersujud. Andaikan waktu bisa mundur, membawanya kembali ke kamar itu. Ia ingin datang ke masjid, dimana Nadira menunggu, mungucap ijab kabul. Lelaki itu terus menangis dalam ketidak berdayaan. Nasi sudah jadi bubur. Waktu memaksanya terus melangkah ke depan. Lelaki berwajah tampan itu, tidur terlentang di atas rumput. Matanya sayu menatap langit, buliran air merembes keluar dari kelopak matanya. Di sudut kota Jakarta lainnya, setelah hampir dua jam, akhirnya Nadira sampai di stasium UI. Ia mencari ojek pangkalan, tapi kosong. Setengah berlari gadis berhidung bangir itu, menuju danau. Napasnya tersengal, sesekali ia melambat sekadar istirahat. Kemudian kembali berjalan cepat. Ia sangat mencemaskan Dena. Langkahnya terhenti saat melihat sosok Dena duduk di akar pohon membelakanginya. "Dena!" Sapanya dengan suara bergetar. Dena terkesiap mendengar suara yang sangat ingin ia dengar. Pelan, ia berbalik mencari arah suara. Air matamya kembali tumpah, saat melihat Nadira berada tepat di depannya. Tangan kirinya menutup hidung dan mulut, sembari terisak. Tubuhnya terguncang. Pelan, Nadira mendekat. Disentuhnya kerudung coklat yang terpasang rapi di kepala Dena. Tangan halus itu bergerak turun menghapus air mata yang tumpah tak terbendung. Mata keduanya saling pandang. Sesak memenuhi d**a Nadira. Ia bisa merasakan betapa remuknya hati Dena. "Dena ... Kamu nggak papa? Kamu yang sabar, ya ... Tuhan tidak akan menguji hambanya di luar batas kemampuannya." Suara Nadira bergetar, berbisik pelan. Sesaat kemudian, keduanya saling berpelukan. Air mata tumpah membasahi pipi. "Maaf kan aku, Nad! Maafkan aku... " suara Dena terdengar pilu. Ada kepedihan yang mendalam di sana. Rasa bersalah yang selama ini diacuhkan, kini tumpah berhamburan menyesakkan d**a. "Aku tidak tahu, mengapa jatuh cinta pada Mas Lendra. Aku bersumpah, tidak pernah berniat memgambilnya darimu." Tangis Dena menjadi-jadi, tubuhnya bergetar. Bayangan Lendra menemuinya di kantor yang lama, liar berkelebatan. Nadira melepaskan pelukannya. Mengusap air mata Dena. Dipapahnya wanita itu mendekat ke kolam. "Kamu tunggu sini, aku beli teh hangat dulu." Cepat, Nadira mencari pedagang asongan yang menjajakan teh hangat. "Minum dulu, biar tenang. Nanti kalau masih ingin cerita, aku siap mendengarkan. Hari ini, aku free." Seuntai senyum tulus terukir di wajah ayu itu. Dena menunduk. Penyesalan selalu datang belakangan. Tapi bukankah penyesalan hanya tinggal sebuah kata. Waktu terus bergulir dan takkan pernah mundur. Dena meneguk teh manis hangat, berusaha mengatur napas. Setelah tenang, ia melirik Nadira yang termenung menatap danau. "Nad, ...." "Yaa," Nadira menoleh, melempar senyum, lalu mengenggam erat jemari Dena. Mata itu berkaca-kaca setiap kali melihat Dena bersedih. Dena kembali menangis, tak sangup lidahnya menari memohon pengertian dari orang yang selalu ada untuknya. Kalimatnya tersangkut ditengorokan. Dan, Nadira menyadari itu. "Dena ..., tidak usah katakan apapun. Semua sudah berlalu. Lihat, aku baik-baik saja, bukan? Tidak usah mengkhawatirkan aku!" Nadira kembali merangkul Dena yang tampak masih gundah. "Aku tidak peduli pada Lendra. Mungkin, bukan dia orang yang dicipta untukku. Aku mengkhawatirkan kamu, Dena! Kenapa kamu senekad itu menikah dengan Lendra, tanpa memberitahu kondisimu yang sebenarnya?" "Aku panik, Nad. Aku sudah sangat ingin menikah. Aku hanya ingin merasakan menjadi seorang istri. Aku takut, jika memberitahu Mas Lendra, dia pun sama seperti yang lain, memilih mundur." Nadira menghela napas, di usapnya kepala Dena dengan lembut. Bibirnya tersenyum tipis. "Sekarang, apa yang ingin kamu lakukan?" "Entahlah Nad! Aku tidak tahu. Tapi apapun yang diinginkan Mas Lendra, aku ikut." Dena melirik Nadira, seperti ingin menanyakan sesuatu. Nadira mengernyitkan dahi, seolah bisa membaca isi kepala Dena. "Jangan berpikir yang bukan-bukan. Aku tidak akan pernah mau kembali pada Lendra, tidak akan pernah!" "Walau aku memohon bersujud di kakimu?" "Walau kamu dan Lendra mengancam terjun ke jurang, aku nggak akan merubah pendirianku. Masalah kalian, tidak ada hubungannya denganku. Urusanku dengan Lendra sudah selesai saat dia memutuskan loncat dari jendela dan kabur." Kedua mata itu berlaga, tak ada lagi air mata. Yang ada hanyalah permohonan dan penolakan. Dena membuang tatapannya ke danau. Ia tahu, tidak mudah menaklukkan Nadira. Tapi bagaimanapun caranya, ia akan membantu Lendra jika ingin kembali pada Nadira.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD