Nadira melangkah anggun meninggalkan ruang meeting, santai, tidak ada tergesa-gesa di sana. Ia menghampiri resepsionis, menanyakan ruangan yang sudah di siapkan untuknya. Sigap, resepsionis mengantar ke ruangan.
Nadira meletakkan barang barangnya di meja. Setelah memastikan penampilannya rapi, gadis bertubuh tinggi semampai itu menemui Bryan. Resepsionis kembali mengantar Nadira ke depan pintu ruangan Bryan.
Sesaat ia menarik napas, menyiapkan mental bertemu dengan CEO galak itu. Pelan, ia mengetuk pintu. Terdengar seruan masuk dari dalam. Nadira membuka pintu. Darahnya berdesir saat lelaki itu menatapnya tajam. Belum pernah ia merasa terintimidasi seperti ini, apalagi oleh lelaki.
"Siang, Pak."
"Siang, silakan duduk."
Gesit, Nadira melangkah mendekat dan duduk di sofa, mengikuti petunjuk mata Bryan.
Sesaat, mata tajam itu mengawasi gerak gerik Nadira, membaca segala bahasa tubuhnya. Ada keraguan di hati. Benarkah wanita itu mampu menjawab permasalahan di perusahaannya? Kesan pertama saja sudah mengecewakan, apa ini bukan pertanda kinerjanya buruk?
Bryan berdiri, kedua tangan terselip di saku celananya. Matanya tertuju pada pemandangan kota metropolitan. Gedung gedung pencakar langit berwarna biru, jalanan yang selalu ramai dengan kendaraan membuatnya betah menatap dari ketinggian.
Semakin lama lelaki itu mengulur waktu, semakin membuat Nadira panik. Tubuhnya tegak lurus, dua kakinya menempel rapat. Tapi bukan Nadira namanya jika tidak mampu cepat beradaptasi.
Ia mengatur napas, berdzikir dalam hati, membuang segala pikiran negatif yang menghantuinya.
Saat Nadira tengah sibuk menata mental, Bryan berbalik.
"Anda yakin, Pak Peter mengirim Anda ke sini? Tidak salah klien?"
Mata Bryan tajam menembus mata Nadira, wajah itu sinis dan angkuh.
"Jika Anda ragu, silakan hubungi Bang Peter!"
Jawab Nadira sembari bersandar ke sofa, mencari posisi santai. Ia mulai sadar, lelaki itu sengaja menjatuhkan mentalnya. Macan betina itu, tentu tidak mau masuk prangkap.
Sesaat Bryan menatap tajam, berusaha menekan mental gadis di depannya. Tapi sepertinya ia sadar, Nadira sudah menguasai keadaan.
"Oke, kalau Anda yakin tidak salah alamat, kita bahas project yang akan kami garap. Tapi ingat, ini yang pertama dan tetakhir Anda terlambat ikut meeting!"
Bryan berjalan mendekat lalu duduk tepat di depan Nadira. Menatap gadis itu tajam.
Nadira berkidik, belum pernah dia merasa takut ditatap seperti itu. Bisanya dia selalu bisa mengendalikan situasi, bahkan sering memegang kendali. Tapi kali ini, dia terjebak dengan mata itu.
"Apa hanya itu yang ingin Anda tanyakan? Jika sudah selesai saya ingin kembali ke ruangan, masih ada beberapa berkas yang harus saya pelajari."
Hanya sesekali mata Nadira melirik Bryan, selebihnya, mata itu tertuju pada kaca jendela, wajahnya datar tanpa ekspresi.
Bryan takjub pada wanita di depannya, belum pernah dia bertemu gadis sedingin itu. Biasanya jika berlaku kasar pada kaum hawa, kalau tidak menangis, ya, cengengesan menebar pesona, melempar senyum minta dikasihani.
Bryan mengambil sebuah file di meja kerjanya, lalu menyerahkannya pada Nadira.
"Tolong Anda pelajari ini, beritahu saya jika ada penyimpangan atau melanggar hukum perundangan."
"Baik, Pak. Beri saya waktu mempelajarinya."
Nadira berdiri, mengambil file, kemudian pamit. Gadis berkulit putih itu, menarik napas lega begitu keluar dari ruangan, seolah baru terbebas dari sarang penyamun. Ia tidak sadar jika di depan pintu dipasang CCTV.
Dari lorong kecil terlihat Lendra mendekat, Nadira buru-buru memasang wajah dingin, kemudian berjalan lurus tanpa menoleh. Lirikan Lendra tidak membuatnya grogi sedikit pun.
Lendra berhenti di depan pintu ruangan Bryan. Sebelum mengetuk pintu, diliriknya Nadira, ada rasa tak nyaman di hatinya. Entah bagaimana bersikap di depan gadis itu.
Di dalam, Bryan memperhatikan sikap keduanya dari layar monitor. Ia mengernyitkan dahi seperti menangkap sebuah sinyal ketidak beresan. Bryan yakin, ada benang merah di antara keduanya.
Mendengar ketukan pintu, Bryan menutup layar CCTV, kemudain mempersialakan Lendra masuk.
Lendra duduk di kursi depan meja Bryan. Wajahnya terlihat gelisah. Duduknya sedikit selonjor jemari kanannya memegang hidung.
"Ada maslah?" tanya Bryan.
Lendra merapikan duduknya, jemarinya mengetuk-ngetuk meja membentuk irama. Kepalanya bolak balik menoleh jendela kaca, walau tak tahu ingin melihat apa.
Bryan bersandar di kursi, menunggu jawaban Lendra. Matanya seksama memperhatikan bahasa tubuh lelaki itu. Ia semakin yakin, gusar di wajah Lendra, pasti ada hubungannya dengan gadis konsultan hukum itu.
Lendra menarik napas dalam, ditatapnya Bryan.
Sesaat mata keduanya beradu.
"Kenapa mesti Nadira?"
Bryan mengernyitkan dahi mendengar pertanyaan Lendra.
"Ada apa dengan Nadira?"
Bryan menjawab pertanyaan dengan pertanyaan.
Lendra mengangkangkat tangan, bersiap menjelaskan sesuatu, tapi terhenti. Semua kalimatnya tersangkut ditengorokan. Dia harus bilang apa? Pernah meninggalkan gadis itu menjelang detik-detik pernikahan mereka? Ah, itu namanya bunuh diri. Dia tahu siapa Bryan.
"Tidak ada apa-apa. Oke kalau begitu, mulai besok kami mulai kerja tim. Hari ini, dia mempelajari dulu semua berkas yang ada."
Lendra berdiri, menarik napas sekali lagi, ragu, ia melangkah keluar.
"Lendra, aku tidak mau ada perselingkukan di kantor ini!"
Lendra berbalik mendengar ucapan Bryan. Keningnya berkerut, perlahan, irama jantungnya berubah cepat. Perselingkuhan? Oh, tidak. Semoga tidak.
Tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya, hanya alisnya yang terangkat naik, kemudian kembali berjalan keluar.
Bryan menampilkan kembali layar CCTV, dilihatnya Lendra mengatur napas, gontai berjalan menjauh.
Diruangannya, Nadira konsentrasi membaca berkas-berkas ditangan. Gadis itu selalu tertantang dengan masalah masalah baru. Apalagi sejak bergabung dengan Advokasi di bawah naungan Peter, kemampuannya dibidang hukum, semakin terasah.
Setengah jam sebelum jam istirahat, dering hape berbunyi. Matanya membulat saat sebuah nama muncul di layar, Dena. Mau apa penghianat itu menghubunginya?
Sesaat Nadira ragu untuk menjawab. Ia hanya manatap layar kaca itu hingga panggilan berakhir. Gadis itu menarik napas lega, ia kembali melanjutkan pekerjaan. Tapi, hanya selang beberapa detik, panggilan Dena kembali membuatnya gundah. Nadira memasukkan hapenya ke dalam laci, lalu kembali bekerja.
Beberapa menit kemudian notif pesan masuk, membuatnya penasaran. Dikeluarkannya hape dari laci, lalu membuka pesan yang masuk.
["Nad, aku menunggumu makan siang di kafe jingga, pliss ..."]
Dada Nadira bergemuruh membaca pesan Dena, ada sesak yang menghimpit. Makan siang bersama? Dengan penghianat itu? Gila! Yang benar saja!
Tapi kenapa harus takut, bukankah terdakwanya adalah penghianat itu, dan hakimnya dia? Nadira menarik napas dalam, mencoba menerka maksud Dena mengajaknya makan siang. Apa yang harus dikatakannya pada Dena, mulai hari ini dan beberapa bulan ke depan, dia akan mendampingi Lendra? Ataua harus diam saja? Nadira pusing dengan pertanyaan yang silih berganti bermunculan di kepalanya. Ia memilih mengabaikan saja pesan Dena.
Hari ini, ia ingin kembali ke kantornya. Kebetulan letaknya tidak terlalu jauh dari kantor kliennya. Hanya saja jalan menuju ke sana sedikit berputar karena jalan searah. Nadira memilih berjalan saja, mungkin lebih cepat.
Gadis itu membawa dompet dan hapenya. Kemudian pergi menuju lift. Saat menunggu pintu terbuka, Lendra dan Bryan ikut berdiri dibelakangnya. Jantung Nadira berdetak cepat. Entah siapa yang membuat tubuhnya panas dingin. Lendra atau Bryan? Yang jelas kedua lelaki itu sama menakutkannya.
Lendra menahan napas, lagi lagi, Nadira membuat darahnya mengalir lebih cepat. Andaikan tidak ada Bryan bersamanya, pasti dia memilih jalan lain.
Tak lama pintu terbuka, ketiganya masuk. Nadira berdiri di pojok depan, bersebelahan dengan Lendra. Sedangkan Bryan memilih bersandar ke belakang, mencari posisi aman mengamati dua orang aneh itu.
Melewati beberapa lantai, membuat lift itu penuh. Entah bagaiman caranya tiba tiba Bryan sudah berada tepat di depan Nadira. Masih ada dua lantai yang harus mereka lewati munuju lobi. Tiga karyawan masuk dilantai tiga, tubuh Bryan terdorong merapat ke Nadira.
Nadira menahan napas, tapi hanya mampu lima detik. Setelah itu ia harus menghirup oksigen. Aroma farfum Bryan membuat irama jantungnya semakin berantakan.
Bryan menahan tubuhnya agar tidak terlalu rapat dengan Nadira. Dia tidak ingin Nadira salah faham, menuduhnya mencari kesempatan dalam kesempitan. Mau ditaruh dimana mukanya.
Untungnya, situasi menegangkan itu tidak berlangsung lama. Lift berhenti di lobi. Semua karyawan berhamburan meningglkan ruangan kecil itu.
Nadira mempercepat langkah, wajahmya memerah. Perasaan macam apa itu? Ini gila! Mana boleh dia suka pada lelaki yang bahkan dia tidak tahu statusnya, lajang atau sudah beristri?
Langkah Nadira gesit, ia sudah terbiasa berjalan cepat. Rok lebar dan spatu pansus yang dipakainya, memang sengaja dipilih agar cocok dipakai saat seperti ini.
Sepuluh menit kemudian, dia sampai di kantornya. Di sana sudah menunggu, Rena, Peter dan Noldy.
"Wuihh, cepet juga kau nyampek, Dek. Sepuluh menit. Larinya kau?" sapa Peter melihat Nadira cengap-cengap.
Noldy dan Rena tertawa kecil, Rena menyuguhkan secangkir teh.
"Mimum, Nad! Kasihan amat temen gue. Sampe segininya."
"Ada apa, Dek? Nggak biasanya kau kek gini?"
"Abang tahu nggak siapa klien aku itu?" tanya Nadira menirukan dialeg Peter.
"Eh, tahu lah! Pak Bryan itu track rekordnya bagus. Urusan sama dia nggak banyak masalah, makanya kau yang kusuruh ke sana." jawab Peter sembari meneguk teh.
"Tapi aku nggak urusan sama pak Bryan, Bang! Kalau pun ada cuma sedikit. Aku disuruh dampingi Lendra, laki laki pengecut itu!"
Peter tersedak, matanya membulat. Lalu melirik Rena dan Noldy. Spontan ketiganya mendekat.
"Beneran, Nad?" tanya Rena.
"Auk ah!"
Nadira cemberut melihat ekspresi ketiga rekannya.
"Alamaaak, macam mana pulak bisa begini urusannya? Terus gimana, apa Abang tarik saja kau kembali ke kantor? Biar Noldy saja yang gantikan."
"Aku nggak bisa, Bang. Kasusku belum selesai, masih ada dua kali persidangan lagi." jawab Noldy.
"Kasusmu juga belum selesai, Ren?"
"Belum, Bang!"
Peter garuk kepala.
"ya sudahlah, kalau kau mau mundur, biar Abang yang gantikan. Nggak tega Abang sama kau."
Nadira tertegun, ia tidak enak hati pada Peter.
"Nggak usahlah, Bang! Biar aku aja!"
"Yakin?" Peter menatapnya kasihan.
"Tapi Nad, ada bagusnya lo satu tim sama Lendra. Saatnya lo kerjain dia, buat dia menyesal udah ninggalin elo!"
"Ngomong apaaalah kau Rena! Jangan kau sesatkan Nadira, anak baik dia itu."
Nadira mengulum senyum, melihat Rena cengengesan ditegur Peter.
Keempat pengacara itu keluar untuk makan siang bersama.
Di kafe Jingga, Dena masih menunggu dengan sabar. Pesan yang terkirim sudah dibaca Nadira. Walau belum ada jawaban, Dena tetap menunggu.