Membutuhkanmu

1103 Words
Waktu sudah hampir malam, dan Cathy baru saja bangun dari tidurnya, saat akan beranjak menuju kamarnya, tiba-tiba bi Sani datang menghampirinya. "Non Cathy!" Panggil bi Sani. "Eh, ada apa bi?" Tanya Cathy sembari mengucek matanya. "Itu non... Bibi udah masakin makan malam, kali aja si Aden mau makan. Dari kemarin belum makan dan nggak tidur sama sekali gara-gara nungguin non pulang." Ujar bi Sani membuat Cathy langsung terdiam membisu, masak sih suaminya itu sampai melakukan hal itu hanya untuk menunggui dirinya. "Masa sih bi? Mana mungkin?" Tanya Cathy tak percaya. "Beneran non masa bibi bohong. Aden khawatir banget sama non, waktu mau nyari Enon keluar di cegah sama mang Diman soalnya takut Aden kenapa-kenapa di jalan, nanti Nyonya bisa marah besar lagi. Bibi aja cemas dari tadi karena belum lihat Aden makan, takut maagnya kambuh, apalagi dari tadi belum keluar juga dari kamar." Jelas bi Sani membuat Cathy semakin merasa cemas dan bersalah. Jika suaminya sampai jatuh sakit, semua itu pasti karena salahnya. "Ya udah Bi biar saya cek dulu di kamar." "Iya non. Oh ya non itu kaki non kenapa? Non abis jatuh atau gimana?" Tanya bi Sani dengan tatapan prihatin. "Oh, ini cuma luka kecil aja kok bi, ketumpahan kopi panas makanya jadi begini. Tapi saya udah nggak apa-apa kok. Saya ke kamar dulu ya bi!" Pamit Cathy. "Iya non." Angguk bi Sani. *** Sedangkan di kamar, sejak tadi Devan terus meringkuk diatas ranjang, perutnya benar-benar sakit, rasanya sangat penuh, melilit dan juga mual. Keringat dingin bahkan sejak tadi terus bercucuran membasahi tubuhnya. "Akh!" Pria tampan itu merintih tertahan, mengusap dan terus menekan perutnya untuk mengurangi rasa sakit meskipun hasilnya nihil. Semua yang istrinya katakan tadi memang benar, ia memang suami yang tak tahu di untung, jika sakit seperti ini, memang siapa lagi yang ia harapkan selain mamanya? Yang Devan harapkan hanyalah istrinya, istrinya yang selalu sigap bahkan melebihi suster ketika merawatnya. Devan merasa bersalah karena kemarin sudah mengatakan kata-kata yang tak sesuai dengan isi hatinya, ia hanya terlalu gengsi, ia tak ingin mengakui jika hatinya kini sudah mulai jatuh untuk Cathy. "Sayang!" Seru suara wanita yang sejak tadi Devan harap-harapkan itu. Itu adalah suara istrinya, istrinya yang sudah kembali memanggilnya dengan sebutan sayang, apakah itu artinya Cathy sudah tidak marah lagi padanya? "Sayang kamu baik-baik aja kan?" Tanya Cathy yang mulai mendekat kearah suaminya, gadis cantik itupun semakin khawatir karena melihat suaminya yang tengah meringkuk kesakitan. "Ya ampun Dev! Kenapa bisa begini sih?" Tanya Cathy dengan nada panik, kedua matanya bahkan sudah berkaca-kaca karena melihat suaminya benar-benar mengenaskan. Biasanya suaminya itu tidak akan sampai seperti ini jika penyakitnya sedang kambuh. Ini bahkan tidak seperti biasanya. Cathy langsung meraba tubuh Devan, mengelap wajahnya yang banjir keringat dingin, lalu menarik kausnya hingga perutnya terlihat. "Saya nggak apa-apa. Kamu lebih baik mandi terus makan, nanti saya nyusul." Bahkan untuk berbicara saja cowok itu sampai tersengal-sengal, Cathy sampai merasa heran dan kesal mendapati respon sang suami, tak biasanya Devan seperti ini. "Maag kamu pasti kambuh, aku bilang juga apa kan? Kamu tuh jangan suka telat makan, telat dikit aja kamu biasanya langsung kumat, ini malah dari kemarin belum makan apapun. Pantesan kondisi kamu langsung drop gini. Aku telfonin mas Regan ya!" "Nggak usah! Jangan ganggu dia, dia pasti sibuk, istrinya baru aja lahiran." Tolak Devan. "Tapi yang... Cuma mas Regan dokter yang rumahnya paling deket sama kita. Dia kan akrab sama kamu, atau kita ke rumah sakit aja sekarang yuk!" Ajak Cathy sambil menarik tangan suaminya, namun Devan langsung menolaknya. "Nggak perlu. Obat aja cukup." Pinta Devan. "Tapi... Aku takut kamu sakit yang lainnya, badan kamu kayaknya udah nggak sehat sejak kemarin-kemarin. Apalagi kata bi Sani kamu nggak tidur sama sekali dari semalem. Tau gitu aku nggak bakalan kabur ninggalin kamu, kalau lihat kamu sakit kayak gini, mendingan aku buang jauh-jauh ego aku." Ujar Cathy dengan wajah sedih, ia turut mengusap-usap perut suaminya, berharap bisa mengurangi rasa sakitnya, sedangkan tangan yang lainnya ia gunakan untuk membelai rambut Devan. "Sekarang udah kejadian, jadi mau gimana. Ssshh..." Devan kembali mendesis karena menahan rasa sakit. "Maka dari itu kita ke rumah sakit aja ya Dev! Aku ben-" "Enggak Cath!" Devan menggeleng keras. "Kamu biasanya tau apa yang harus kamu lakuin kalau saya kayak gini." "Tapi sekarang kan beda... Kondisi kamu kayaknya nggak seperti biasanya kalau maag kamu lagi kumat." "Saya bilang enggak ya enggak." Devan tetap saja ngeyel membuat Cathy mau tak mau akhirnya harus mengalah. "Hhh... Ya udah aku ngalah, aku akan rawat kamu kayak biasanya, tapi kalau kondisi kamu nanti tetap sama aja setelah aku urusin, aku bakalan bawa kamu ke rumah sakit pokoknya titik." Tegas Cathy tanpa mau diganggu gugat lagi. "Hm." Dan Devan pun hanya bisa mengangguk pasrah menuruti semua kemauan istrinya. "Aku ganti baju bentar ya sayang! Kamu tahan bentar ya nggak apa-apa kan?" Tanya Cathy dengan tatapan cemas seraya mengusap-usap bahu sang suami. "Iya, I am fine." Balas Devan dengan senyuman lemah. Kondisinya yang tak berdaya seperti ini benar-benar membuat Cathy merasa bersalah sekaligus tak tega. Apalagi setelah pertengkaran mereka kemarin, suaminya kini semakin banyak bicara padanya, biasanya saja irit sekali mengeluarkan kata-kata. "Jangan pingsan ya! Ya ampun aku bener-bener cemas, takut kamu kenapa-kenapa yang..." Ungkap Cathy dengan mata berkaca-kaca, membuat Devan merasa tersentuh sekaligus merasa terharu karena sang istri selalu seperti ini ketika dirinya sakit, mirip sekali dengan sang mama. "Jangan cemas, saya cuma kena maag bukan lagi sekarat." Ujar Devan. "Amit-amit deh jangan sampe, kamu tuh malah ngomong yang enggak-enggak kan aku jadi takut. Baik-baik ya! Aku ganti baju bentar sama buatin kamu bubur. Tapi... Tunggu! Baju kamu juga harus diganti Dev, bentar!" Cathypun segera mengambil piyama miliki suaminya, lalu segera mengganti seluruh baju Devan tanpa canggung sama sekali, yah... Meskipun harus meneguk ludah berkali-kali karena melihat betapa indahnya tubuh sang suami yang bak malaikat ini. "Untung aku sempat beli kompresan karena kepikiran sama kamu kalau lagi sakit, dan sekarang kayaknya berfungsi banget." Ujar Cathy seraya membawa sekantong buli-buli berisi air hangat, lalu ia taruh alat pengompres perut tersebut diatas perut suaminya. "Buat apa?" Tanya Devan. "Perut kamu kembung, jadi harus aku kompres. Ini juga bisa ngilangin rasa sakit, abis ini pasti bakalan jauh lebih baik. Jangan dilepas ya! Aku tinggal bentar dulu!" "Hm!" Devan hanya mengangguk lemah membuat Cathy merasa iba, kalau nggak lagi sakit aja sadisnya minta ampun, tapi kalau lagi sakit begini bawaannya pengen meluk terus, Cathy tak tega melihatnya. Cup "Tunggu bentar ya!" Setelah mencuri ciuman dibibir Devan, Cathy pun segera melenggang pergi begitu saja. Sedangkan kini Devan tengah meraba bibirnya, merasakan sensasi hangat yang menyelimuti hatinya karena ciuman istrinya barusan. Bibir Cathy begitu lembut dan manis, dan bodohnya Devan karena ia baru menyadarinya sekarang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD