When you visit our website, if you give your consent, we will use cookies to allow us to collect data for aggregated statistics to improve our service and remember your choice for future visits. Cookie Policy & Privacy Policy
Dear Reader, we use the permissions associated with cookies to keep our website running smoothly and to provide you with personalized content that better meets your needs and ensure the best reading experience. At any time, you can change your permissions for the cookie settings below.
If you would like to learn more about our Cookie, you can click on Privacy Policy.
Marcello yang baru saja tiba di depan rumah Alya langsung merangsek masuk ke dalam halaman rumah. Ia menekan bel pintu berulang dengan tidak sabaran, lalu mengetuk pintu bercat putih itu berkali-kali. Perasaannya yang tidak tenang semakin bertambah besar lantaran Alya tak kunjung membukakan pintu. "Alya! Al! Alya!" panggil Marcello dengan berteriak sekencang mungkin. Namun tidak ada jawaban sama sekali dari dalam. "Al, ini aku, Marcel," teriaknya lagi seraya menggedor-gedor pintu tersebut. Sementara di dalam sana, Alya masih pada posisi semula—meringkuk di atas peraduan dengan tatapan kosong. Suara bel bahkan suara teriakan Marcello dari bawah sana tidak ia pedulikan. Pikirannya melanglang entah kemana, Alya terlihat seperti orang depresi. Luka tak kasat mata yang telah ditorehk