4. Akhirnya Menikah

1259 Words
BINTANG Setelah hari itu tidak ada yang berubah dalam hubungan saya dan Sachika di kampus. Kami tetap menganggap tidak saling kenal satu sama lain meski saya tetap berada di sisi Sachika selama tujuh hari setelah ayahnya meninggal dunia. Selama satu minggu itu saya datang ke rumah Sachika untuk mengikuti acara tahlil meninggalnya Pak Wiyata. Meski disuruh orang tua, tapi kali ini saya datang seorang diri. Begitupun saat Sachika menyambut kedatangan saya juga seorang diri tanpa didampingi oleh mamanya. Saya sudah mencoba untuk melakukan perkenalan dan setuju menerima perjodohan dengan syarat tidak boleh ada satupun yang tahu soal pernikahan kami dan kami akan bersikap tidak saling kenal seperti biasanya saat di kampus setelah menikah. Sachika sengaja menutupi pernikahan itu karena merasa belum siap mendapat ejekan dari teman-teman kuliahnya jika mereka tahu Sachika menikah di usianya yang masih sangat belia terlebih dengan dosennya. Sementara saya tidak suka jika ada orang yang membicarakan tentang kehidupan saya tanpa tahu apa-apa soal diri saya. 40 hari telah berlalu sejak meninggalnya papa Sachika. Artinya hari pernikahan yang tidak pernah saya bayangkan akan terjadi dalam hidup saya dalam lima tahun ke depan harus saya lalui juga akhirnya. Sesuai permintaan mama Sachika dan tentu saja ibu saya juga akhirnya saya dan Sachika menikah tanpa acara besar. Kami menikah secara sah dan resmi di mata hukum dan agama. Namun tidak ada resepsi pernikahan seperti acara pernikahan pada umumnya. Di rumah Sachika hanya diadakan pengajian pada saat acara ijab qobul. Lalu malamnya diadakan pesta pernikahan sederhana secara private di rumah Sachika. Yang datang ke dua acara itu hanyalah keluarga dan kerabat dengan dari orang tua saya dan Sachika saja. Tidak ada rekan dosen apalagi teman-teman kuliah Sachika yang turut memeriahkan pesta pernikahan itu. Setelah acara pesta sederhana selesai saya memutuskan akan membawa Sachika menginap di sebuah hotel bintang lima agar mendapatkan privasi. Saya benar-benar tersiksa berada di tengah-tengah keramaian seperti tadi. Padahal yang diundang ke acara itu tidak sampai 100 orang, bahkan mungkin hanya 50 orang lebih sedikit. Beruntung seluruh keluarga menyetujui rencana saya tanpa protes sedikitpun. Dan di sinilah kini saya dan Sachika berada saat ini. Di kamar tipe suite room sebuah hotel bintang lima yang ada di pusat kota Jakarta. Saya lihat sekilas Sachika tersenyum tipis saat memasuki kamar. Senyum itu baru saya lihat sekarang sepanjang acara berlangsung seharian ini. Mungkin dia juga sebenarnya butuh tempat privasi seperti ini tapi tidak tahu cara menyampaikan keinginannya itu. Di sisi lain mungkin dia menyukai kamar hotel mewah berstandar internasional ini. “Kita berapa malam di sini?” tanya Sachika tiba-tiba. “Kamu maunya berapa malam?” Saya balik bertanya. Gadis itu mencebikkan bibirnya seperti sedang mencibir pertanyaan saya. “Kalau aku bilang maunya tujuh hari tujuh malam memangnya kamu punya uang buat bayar sewa kamar mewah ini?” tanyanya dengan nada bicara meremehkan. “Boleh-boleh saja. Tapi kamu di sini sendirian. Saya harus kembali ke Bandung untuk bekerja. Dan saya akan meninggalkan tugas seabrek di kelas tiap kelas yang kamu ikuti dan harus dikumpulkan di tanggal kamu masih stay di hotel ini. Gimana? Deal?” “Bilang aja nggak mampu. Gitu aja kok repot.” “Saya serius!” ujar saya kemudian mengeluarkan ponsel dan masuk ke aplikasi pemesanan hotel berbasis daring. Setelah menemukan hotel dan tipe kamar yang sama dengan yang sedang saya tempati saat ini, saya segera melakukan pemesanan ulang. Baru kemudian saya menekan oke dan tinggal melakukan p********n. “Kamu ngapain? Serius amat?” tegur Sachika bergerak mendekat ke arah saya yang sedang duduk di sofa. Ketika Sachika sudah mengambil posisi duduk di dekat saya, saya menunjukkan layar ponsel padanya. “Sudah saya booking tambahan selama lima hari lima malam. Ditambah dengan booking awal dua hari dua malam, jadi total kamu akan menginap di hotel ini adalah tujuh hari tujuh malam sesuai permintaan kamu. Gimana? Kalau deal saya bayar sekarang,” tantang saya. “Cupu! Bisanya cuma ngancem pakek tugas!” ujarnya dengan mimik wajah cemberut. Gadis ini lucu sebenarnya. Wajahnya imut. Cantiknya bukan hanya sekadar cantik. Namun entah kenapa saya merasa sulit sekali tertarik padanya. Harusnya dengan kecantikannya yang unik itu mampu membuat laki-laki manapun bisa tertarik hanya dengan sekali pertemuan. Tapi tidak dengan saya. “Trus gimana jadinya ini? Waktu p********n tersisa lima menit lagi,” balas saya tak peduli pada rengekannya. “Nggak usah. Aku juga pengen buru-buru balik kuliah. Kangen teman-teman kos dan kampus,” kilahnya kemudian berjalan meninggalkan saya sembari menghentak-hentakkan kakinya. Saya hanya bisa tersenyum sambil menggeleng heran pada kelakuannya yang masih menunjukkan sifat kekanakan itu. Dia yang nantangin dia juga yang ngambek padahal tantangannya sudah saya penuhi. ~~ GENDHIS Boleh lelah sama hidup sendiri kan? Belum kering air mata ini karena kematian Papa, aku sudah harus jadi bini orang. Untung orangnya ganteng. Kalau nggak mending jomlo sampai umur 30 tahun aja dari pada nikah terpaksa dengan orang kurang ganteng. “Ada hal yang belum saya sampaikan terkait rules hubungan kita ke depannya,” ujar Bintang setelah aku keluar dari kamar mandi. Seger banget rasanya setelah mandi air hangat. Rasanya nyawaku yang sempat hilang sepanjang acara hari ini telah kembali seutuhnya. Pantas tiap ditanya tamu yang datang aku cuma bisa ngangguk-ngangguk tapi pikiran blank. Persis kayak kerbau dicucuk hidungnya. “Rules apa pula itu?” “Saya harus menegaskan sama kamu, kita cuma cuma nikah karena perjodohan, jadi tidak usah banyak tingkah apalagi berharap banyak pada pernikahan semu ini. Ada tiga rules yang harus dilakukan oleh masing-masing. Yang pertama, urus urusan pribadi masing-masing tanpa ikut campur urusan satu sama lain. Yang kedua, tidak ada skinship berlebihan. Dan yang terakhir dan paling penting, tidak akan ada cinta di antara kita.” “Itu aja? Nggak ada tambahan?” Bintang menggeleng tegas. Aku balas dengan manggut-manggut. “Oke, deal!” jawabku lagi. Sesaat kemudian Bintang bangkit dari sofa yang didudukinya sejak beberapa menit yang lalu. Sepertinya dia juga mau mandi. Namun aku melihat seperti ada sesuatu yang kurang darinya. “Ngomong-ngomong cincin kawin kamu mana?” tanyaku. “Saya lepas,” jawab Bintang singkat. “Loh, kenapa emangnya?” “Saya tidak suka pakai aksesoris selain jam tangan,” jawabnya lagi. “Oh, gitu. Aku boleh mengutarakan satu permintaan nggak?” “Apa?” “Bisa nggak kalau cuma lagi berduaan kayak gini ngobrolnya lebih santai? Nggak usah terlalu formal gitu? Berasa kayak di kelas perkuliahan aja. Udahlah di kampus tegang karena materi kuliah, masa iya di luar kelas tetap tegang. Aku takut mati-mati muda gara-gara urat saraf aku keseringan tegang.” “Hush! Dijaga omongan kamu. Jangan sembarangan membicarakan soal kematian,” tegur Bintang. “Jadi gimana soal permintaanku tadi?” “Ya, nanti saya usahakan lebih santai bicara sama kamu di luar kelas perkuliahan. Tapi tidak bisa instant.” “Oke, siap. Boleh nanya satu lagi nggak?” “Heran saya. Di kelas kamu jadi mahasiswa yang pendiam. Tapi kenapa di luar kelas jadi cerewet dan banyak tanya seperti ini?” “Astaga, Mama. Baru juga nyebutin satu permintaan dan satu pertanyaan udah dibilang cerewet dan banyak tanya,” keluhku. “Ya, sudah. Memangnya apa yang mau kamu tanyakan?” “Kalau di luar kelas saya harus panggil kamu apa? Masa tetap Pak Bintang? Berasa seperti di kelas perkuliahan lagi jadinya, kan.” Bintang menggeleng pasrah. Dia mengembuskan napas kasar dan sepertinya mulai jengah menghadapiku. “Terserah kamu saja. Yang penting sopan. Meski pernikahan ini karena terpaksa saya tetap suami kamu dan orang yang lebih tua secara usia dari kamu. Jadi sewajarnya saja ya,” tukas Bintang. “Kalau Mas Dosen gimana? Eh, maksud aku Mas Bintang.” “Iya, terserah,” jawab Bintang lalu tak menggubrisku lagi. ~~~ ^vee^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD