"Sore ini juga mari kita bertemu dengan ayahku," ajak Grize pada Dave setelah mereka masuk ke mobil. Sejak tadi dia sibuk menggerundel di dalam hati sambil membulatkan niatnya sendiri.
"Aku rasa kau terlalu terburu-buru," ucap Dave.
"Tidak. Aku memang harus cepat-cepat atau ayahku mungkin benar-benar akan menjodohkanku,” balas Grize dengan cepat. Matanya bergerak menyusuri jalanan tanpa berani menatap orang yang diajak bicara.
Sebenarnya dia hanya berbohong. Apa yang ia khawatirkan bukannya ayahnya, melainkan Dave sendiri. Dia ingin segera mengakhiri ini.
"Baiklah." Ternyata Dave langsung menyetujuinya.
'Bagus!' Grize akhinya bisa menghela napas lega. Nanti jika semua ini sudah selesai maka tidak perlu ada akting 'sepasang kekasih' lagi di antara mereka. Ini sungguh menyebalkan.
Tiba-tiba Grize teringat pada Jessie yang tidak tahu lagi bagaimana nasibnya. Gadis yang malang. Semoga dia menemukan seseorang yang lebih menghargainya.
"Kenapa kau melakukan itu pada Jessie?" tanya Grize. "Dia masih muda dan sepertinya benar-benar menyukaimu."
"Dia salah paham," ucap Dave yang sedang fokus menyetir.
"Salah paham bagaimana? Jelas-jelas dia mengatakan jika kau sudah memeluk dan menciumnya." Grize menghela napas.
"Kaum pria memang selalu seperti itu. Aku tidak heran juga," imbuhnya.
"Kakaknya adalah rekanku," terang Dave.
Grize semakin tidak mengerti. Dia menggelengkan kepala beberapa kali. "Karena kakaknya adalah rekanmu jadi kau merasa bebas memperlakukannya? Kau benar-benar kurang—"
"Ayahnya meninggal. Aku hanya ingin sedikit menghiburnya," sela Dave, memotong ucapan Grize.
"Jadi, kau ...." Grize sedikit terkejut. Tidak percaya jika pria itu memiliki pemikiran yang cukup konyol.
"Jadi kau menghiburnya dengan cara seperti itu?" tanya Grize.
"Ya. Memangnya harus seperti apa?" Dave balas bertanya tanpa merasa bersalah.
Grize menarik napas dalam-dalam. Ini baru deskripsi 'kebodohan' yang sesungguhnya. Apakah dia harus menertawakan Dave?
Wanita adalah makhluk yang memiliki perasaan halus. Tentu saja perlakuan orang lain terhadapnya akan mudah masuk perasaan. Apa lagi Jessie belum cukup berpengalaman.
"Haih. Lupakan saja," ucap Grize pada akhirnya.
Mobil Dave akhirnya sampai di tempat tujuan. Ya, mereka sudah kembali lagi ke gedung kantor. Setelah keluar dari mobil, Grize menunggu Dave sambil memegang jas milik Dave.
Pada saat itu tiba-tiba Anggun, karyawan kantor yang sebelumnya bertemu dengan Grize, mendekatinya. Wanita itu tampak mengendap-endap di belakang Grize.
"Grize, siapa itu? Apa benar yang katanya penerus Pak Edward datang?" bisik Anggun.
Grize memutar bola mata dengan malas. "Kau akan tahu nanti."
"Heheh. Terlalu lama menunggu nanti. Kenapa kau tidak menceritakan itu saja sekarang? Bukankah kita ini partner?" tanya Anggun dengan mata yang berkedip-kedip.
Seperti itulah. Sekali ada sumber gosip wanita itu pasti akan mencoba menggali informasi banyak-banyak. Untuk apa? Tentu saja untuk dibagikan pada rekan gosipnya.
"Apa kau terlalu bosan tanpa ada pekerjaan? Kalau begitu aku bisa memberimu lebih banyak pekerjaan," kata Grize.
"Huh! Kau sama sekali tidak menyenangkan," ejek Anggun. Kemudian dia memfokuskan penglihatannya pada pria yang baru saja keluar dari mobil. Melihat pria tampan membuat matanya berbinar.
"Woah! Ini baru dewa yang sesungguhnya," serunya dengan suara tertahan.
Grize mencibir, tetapi tidak mengatakan apa-apa. Dia melihat Anggun yang langsung membenarkan rambut beserta pakaiannya. Kemudian wanita itu segera bergerak untuk menghampiri Dave.
Grize hanya melihat pemandangan ini dengan senyum tertahan. Coba lihat apa yang kira-kira akan terjadi?
"Halo. Benarkah ini adalah penerus Pak Edward Alison? Perkenalkan, saya Anggun, seorang karyawan yang sudah bekerja di sini selama—"
"Oh, tapi kau menghalangi jalanku," sela Dave. Dia menatap Anggun dengan datar. Tipe pegawai seperti Anggun pasti orang yang suka menjilat dan menggosip. Bisa dilihat dari bagaimana sikapnya.
"Emm, maaf." Anggun langsung berubah menjadi kaku. Dia segera menyingkir dari hadapan Dave, takut akan membuat citranya semakin buruk.
Grize yang melihat itu pun langsung menahan tawa. Anggun sangat suka mencari perhatian. Jika wanita itu masih meneruskan sikapnya, mungkin karirnya tidak akan berakhir baik di masa depan.
"Kau bisa pulang sekarang," ucap Dave sambil menatap Grize.
"Pulang?" Kedua mata Grize langsung berkilat. "Baik. Terima kasih," imbuhnya dengan senang hati.
Tentu saja Grize merasa senang. Dia butuh akhir pekan ini untuk melakukan penyegaran, bukan untuk menemani pria itu.
Grize langsung menyerahkan jas milik Dave. "Maaf."
Dave menerimanya dan kembali masuk ke mobil. Dia sendiri tidak akan masuk ke gedung itu lagi karena masih ada sesuatu yang harus dia kerjakan.
Ayahnya hanya meminta dia untuk melihat-lihat keadaan perusahaan. Itu saja. Dia baru akan memulai pekerjaannya Senin nanti.
Grize memerhatikan mobil Dave yang mulai bergerak pergi. Akhirnya dia bisa bernapas dengan bebas dan lega. Setelah itu dia menatap Anggun yang masih termangu.
"Sampai kapan kau akan membisu di sana?" tanya Grize.
Tanpa menunggu respons Anggun, Grize langsung berjalan pergi ke tempat di mana mobilnya diparkirkan.
"Aku masih terkejut," gumam Anggun. Setelah beberapa saat barulah dia bergerak untuk meneruskan apa yang awalnya ingin dia lakukan.
"Ini benar-benar berita yang menggemparkan. Aku harus mengirimnya ke grup diskusi nanti," gumamnya.
***
Pada sore hari, Grize duduk di balkon sambil memelotot pada layar ponsel. Di sana terpampang nama kontak Dave. Apakah dia harus menghubungi pria itu sekarang?
Ini Sabtu malam alias malam Minggu. Benar-benar malam yang cocok untuk menunjukkan seorang pasangan pada orang tuanya. Kalau begitu ... tunggu apa lagi?
Tapi dia adalah wanita. Bagaimana wanita bisa terlebih dahulu menghubungi pria? Alah, siapa yang peduli? Toh tidak ada yang tahu.
Setelah berpikir hingga beberapa saat, akhirnya Grize membulatkan niatnya untuk menelepon. Dia menempelkan ponsel di telinga.
Tut ... tut .... Terdengar nada sambung di telepon.
Grize menunggu selama beberapa saat sampai akhirnya telepon pun terhubung. Dia menarik napas sebentar.
"Halo," sapa Grize yang dibalas dengan deheman.
Kemudian dia bertanya, "Jadi, apa aku perlu menjemput ... mu?"
"Tidak perlu. Aku yang akan menjemputmu."
Grize mengangguk senang. Setidaknya pria itu tidak merepotkan. "Baiklah. Rumahku lumayan jauh, kurasa kita tidak bisa pergi terlalu malam," ucap Grize.
Dia melirik jam tangan yang jarum pendeknya berada di angka 3. Kemudian dia mendengar Dave berkata, "Jam 5 sore."
"Setuju. Kalau begitu ... aku akan menunggu."
"Mmm."
Grize menutup telepon. Waktu perjalanan untuk pulang ke rumah memakan waktu kurang lebih satu jam, itu juga kalau tidak ada kemacetan. Jika ada pasti akan lebih lama lagi.
‘Ayah, putrimu akan pulang untuk membatalkan perjodohan,’ tulis Grize di pesan teks untuk ayahnya.
Setelah itu dia langsung berdiri dan melangkah meninggalkan balkon. Sekarang perutnya lapar. Dia akan makan beberapa buah dulu sebelum bersiap-siap pergi.
Di sela-sela memotong melon, Grize baru ingat kalau dia belum mengirim alamat apartemennya. Apakah Dave sudah mengetahui alamatnya? Kenapa pria itu tidak bertanya?
Untuk membuat lebih jelas akhirnya Grize mengirimkan alamat apartemennya. Setidaknya dia sudah memberi tahu apa yang seharusnya diberi tahu.
Kling.
Dave mengambil ponselnya yang berbunyi. Ternyata ada pesan dari Grize. Dia membacanya sekilas dan langsung menggelengkan kepala.
Sebenarnya dia sudah mendapatkan beberapa informasi mengenai Grize. Termasuk alamat apartemen dan nomor ponselnya.
Meskipun begitu dia belum mengetahui informasi mengenai orang tua Grize. Dia tidak perlu mencari tahu. Lagi pula dia akan mengetahuinya, sebentar lagi.