Sudah jelas apa yang selalu membuat Barack Abraham geram selama ini. Dia tidak bisa menghitung berapa kali putrinya harus dilarikan ke rumah sakit karena diincar oleh pihak lain.
Anna bukannya yang dicelakai kecil-kecilan. Namun, jelas nyawanya yang diincar. Mereka bahkan tidak segan melukai Anna hingga tak berdaya.
Barack Obama ini tidak mengerti. Hanya saja, dia sudah menduga kalau rival perusahaan yang menganggap Anna bagaikan barang tak berharga. Karena itu, berulang kali mereka mengincar Anna. Entah dalam incarannya itu Anna tertangkap atau kebetulan Tuhan masih berpihak kepada Anna. Namun selama ini, Anna seringnya terkena masalah daripada tidak. Perempuan itu selalu diintai setiap langkahnya.
Sebagai orang tua, jelas Barack sedih anaknya diperlakukan bagai barang tak bernyawa. Yang nyawanya selalu dipermainkan tanpa alasan yang jelas. Kalau membenci Barack, harusnya Barack saja yang disakiti, bukan malah Anna. Dan yang paling menyakitkan, sampai sekarang mereka bahkan tidak tahu siapa yang menjadikan Anna sebagai bulan-bulanan. Tidak ada yang tega dan tidak ada yang terima saat Anna sakit. Melihat Anna terluka, sama saja menelan pil pahit. Mereka mau melakukan apapun, rasanya tidak enak.
"Jordan?"
Sederet para pria duduk di kursi tunggu yang berada di depan ruangan Anna langsung melihat ke arah pria yang baru saja memanggil Jordan. Dan ternyata.
"Roger." Balas kakak pertama Anna itu tidak bersemangat. Kemudian dia bergeser ke kanan agar Roger bisa duduk. Sayangnya, Roger tetap berdiri dan malah gantian menatap Barack Abraham yang kelihatan sekali dari wajahnya kalau dia tidak senang dengan semua yang terjadi. Jelas saja, Anna putri satu-satunya. Putri kesayangannya.
"Paman, aku dan pihak berwajib belum bisa menemukan pelaku yang sebenarnya." Kata Roger langsung saja. Dia juga merasa tidak berguna. Hanya saja, bukan waktunya memikirkan hal seperti itu. Yang paling penting sekarang adalah menemukan siapa dalang di balik ini semua dan mencegah jangan sampai hal buruk terjadi lagi pada Anna.
Dalam hati Barack juga membatin. Mereka saja yang bertahun-tahun lamanya belum juga bisa menangkap siapa dalang yang selalu mencoba menyakiti Anna selama ini. Mereka khawatir kalau bukan hanya demi membuat Keluarga Abraham jatuh. Namun juga memang bertujuan untuk melayangkan nyawa Anna.
Hanya saja, Anna tidak pernah membuat masalah pada siapapun. Dia diganggu atau disakiti sekalipun, dia hanya diam dan enggan membahas apapun yang membuatnya terluka. Bagi Anna, apa-apa yang membuatnya sakit, lebih baik diabaikan saja seperti tidak pernah terjadi daripada terus dibahas dan malah membuat Anna kepayahan untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Anna tidak ingin seperti itu. Karenanya, sudah jelas Barack Abrahan tidak mungkin asal tuduh tanpa bukti ketika Anna, putri kesayangannya sendiri malah meminta dirinya untuk mengikhlaskan apapun yang terjadi.
Sebagai ayah, Barack jelas tidak terima dan menolak mentah-mentah permintaan Anna. Sayangnya, Anna juga bersikeras. Mereka sama-sama imbang kalau sudah membahas tentang kekeras kepalaan masing-masing. Dan pada akhirnya, Barack Abraham lah yang sedikit mengalah. Dia tidak ingin putrinya bersedih.
"Ada lagi, Ger. Duduklah di sampingku atau kau ingin bertemu dengan Anna? Dia sedang sendirian di dalam." Kata Barack akhirnya.
Roger berkedip selama tiga kali baru akhirnya menjawab. "Apa aku boleh menemuinya, Paman? Kupikir, kau akan melarangku karena pergi begitu saja."
"Tsk, kau pergi mengurus pekerjaan si Singapore. Kenapa Paman harus marah?" Barack malah balik bertanya yang membuat Roger kikuk sendiri.
"Aku akan menemui Anna. Terima kasih, Paman."
Barack tak memberikan jawaban yang berarti. Hanya saja, dia memanggil Roger kembali saat pria itu sudah memegang handle pintu.
"Tunggu!"
"Iya?" Roger menoleh, menatap Barack Abraham ingin tahu.
"Kalau kau bisa, tolong bujuk Anna bercerita apa yang terjadi biar Paman mudah mencari siapa pelaku yang sebenarnya. Dan lagi, minta dia juga untuk makan." Pinta pria itu terlihat penuh harapan sekali.
Roger mengangguk mantap. Dia akan melakukan semua yang Barack Abraham perintahkan padanya karena Roger memang menginginkan jawaban yang sama. Dia tidak habis pikir kalau semua orang bisa kecolongan begitu saja.
Dan setelahnya, Roger masuk yang matanya langsung diperlihatkan oleh Anna yang tengah menonton TV begitu fokus.
Roger tidak langsung memanggil perempuan itu. Dia malah diam di depan pintu seraya bersedekap d**a dan memandangi perempuan ini tanpa lelah. Dan saat Anna tertawa, Roger turut tertawa seperti orang setengah gila karena tertawa tanpa sebab.
Kata orang, kalau tertawa itu menular. Dan menilik Roger sekarang, itu sudah bukti nyata.
Dan entah kenapa, seolah bisa merasakan, Anna menoleh yang langsung membuat senyuman perempuan itu menghilang begitupun dengan Roger yang langsung beralih menatap Anna dalam. Mereka seakan dibatasi tembok tinggi yang begitu kukuh tak kasat mata hingga melangkah lebih jauh rasanya berat bukan main.
"Kenapa berhenti tertawa, Na?" Roger bertanya pelan saat melihat Anna tidak lagi tertawa seperti sebelum dirinya datang.
Pada akhirnya Roger menghela nafas pelan, mendekat ke arah Anna dan duduk di kursi yang berada di samping ranjang rawat perempuan itu.
"Bagaimana keadaanmu?" Roger bertanya pelan saat sudah duduk, kembali menatap Anna dalam, kemudian turun ke tangannya yang masih diperban. Ada rasa tidak enak dalam dirinya karena menjadi penyebab luka Anna yang terdahulu. Luka yang mana, semakin memperbesar luka Anna yang sekarang.
"Better." Jawab Anna seadanya, lantas tersenyum seperti biasa. Seperti biasa Anna tersenyum ramah pada orang lain. Yang seolah menginformasikan, Roger tidak ada bedanya dengan mereka. Hanya orang lain, tidak kurang, tidak lebih.
Roger lantas diam dan membiarkan keterdiaman yang terjadi membuat mereka canggung untuk waktu yang lama. Sementara Anna sibuk menonton lagi, Roger hanya memandang Anna dalam diam. Ada banyak pernyataan dan pertanyaan yang ingin ia katakan dan tanyakan. Hanya saja, Roger merasa ini bukanlah waktu yang tepat. Ayolah, Anna baru saja mendapat musibah setelah beberapa minggu yang lalu baru saja dioperasi karena tangannya yang patah. Roger saja tidak habis pikir kalau Anna diserang secara diam-diam seperti ini. Dia tidak menyangka kalau seserius ini teror yang dialami Anna.
Bukan. Ini bukan lagi teror biasa, tapi sudah merujuk ke perencanaan pembunuhan. Karena seandainya saja Anna telat dibawa ke rumah sakit, perempuan itu bisa meregang nyawa di tempat.
"Kau ingin bertemu dengan Ilyas?"
"Hm?" Anna menoleh saat nama Ilyas tiba-tiba disebut oleh Roger. Padahal, yang Anna ingat, Roger bahkan tidak suka mendengar nama itu, tapi sekarang malah disebut sendiri olehnya. "Dia tidak dimarahi, kan?" tanyanya agak khawatir. "Kak Jordan sudah berjanji tidak akan memarahinya."
"Aku tidak tahu." Jawab Roger sekenanya karena dia memang tidak tahu apa yang sudah Barack Abraham dan anak-anak lelakinya lakukan pada Ilyas. Lagi pula dia juga tidak peduli. Malah lebih baik kalau Ilyas pergi saja biar Roger tidak punya saingan.
"Apa aku boleh meminjam telfonmu, Kak?"
Mata sayu yang tidak dibuat-buat membuat Roger tidak tega untuk menolak. Dia langsung mengulurkan handphonenya, menelfon Khris dan bertanya keadaan Kania padanya. Kalau dengan Jordan, kakaknya ini tidak akan memberi tahu. Pasti takut kalau sampai terjadi sesuatu pada Anna karena ikut kepikiran. Sedari tadi, perasaannya memang tidak enak memikirkan keadaan kakak iparnya itu. Kania sedang hamil besar.
Usai mendapatkan jawaban, Anna sedikit tenang meski khawatir juga. Dia ingin sekali memanggil Jordan masuk dan meminta pria itu pulang saja menunggui Kania. Kalau semua lelaki di rumah sakit, bagaimana kalau terjadi sesuatu di rumah.
Ya, Anna tahu kalau di rumah ada pelayanan yang siap sedia, ada Shilla dan Bu Irish juga. Hanya saja, mereka juga diperlukan di rumah.
Terkadang, Anna takut kalau kakak-kakaknya bertengkar dengan istrinya karena mereka terlalu mengutamakan Anna daripada mereka sendiri. Namun untungnya, kakak ipar Anna memang orangnya baik-baik dan begitu pengertian. Mereka tidak sekalipun iri pada Anna meski lebih diutamakan oleh suami-suaminya sendiri.
"Sudah. Terima kasih, Kak. Maaf menggunakan tangan kiri." Anna mengulurkan handphone Roger setelah selesai berbicara dengan Khris yang tentu saja Roger mendengar semuanya.
Namun, alih-alih menerima handphonenya, Roger malah meraih tangan Anna, menggenggamnya erat.
"Kalaupun ada yang harus disalahkan, itu aku Anna."
"Kakak bicara apa?" tanya Anna bingung.
"Aku tahu kalau sebelum makan di luar, harus ada yang mencoba makananmu lebih dulu. Dan waktu itu, aku hanya diam saja saat kau langsung memakannya."
Anna tersenyum menenangkan melihat wajah Roger yang terlihat menyesal sekali. "Tidak apa, Kak. Lagi pula, memang Kakak suka dengan udang?"
"Tidak terlalu, tapi kan aku tahu rasanya, Na. Kalau aku mencicipinya dulu, mungkin aku bisa mendeteksi rasanya. Dan kau? Kenapa tidak berhenti saat merasakan rasa yang aneh? Apa indra pengecapanmu bermasalah sampai tidak berhenti makan ketika mendeteksi rasa yang tidak biasa?" Kali ini Roger menatap Anna tidak habis pikir.
"Aku tidak tahu. Rasanya seperti biasanya." Jawab Anna sekenanya.
"Kau ini memang aneh."
"Aneh bagaimana? Aku memang tidak tahu rasanya udang, Kak." Anna membela diri.