18. Successful

2589 Words
To love someone is nothing, to be loved by someone is something, but to be loved by the one you love is everything ~Bill Russell Harusnya kata-kata di atas menyadarkan Roger. Mungkin Anna menolaknya bukan hanya karena alasan perempuan itu akan sulit memiliki anak. Tapi karena memang Anna tidak mencintai Roger. Bisa jadi, kan? Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Roger tampan? Iya, itu tidak perlu diragukan lagi. Mau diapakan pun dia tetap tampan. Alisnya yang tebal, matanya yang tajam, hidungnya yang bangir, rahangnya yang tegas. Sungguh dia tampan sekali. Hanya saja, masalah hati tidak ada yang bisa mencampuri karena setiap hati ada kebetulan merasakan hal yang sama dan terkadang lagi berbeda dengan lainnya. Roger mungkin lupa kalau perempuan pasti mengutamakan perasaannya. Dan mumgkin saja, Anna memang tidak mencintainya sudah bisa dijadikan sebagai alasan. Namun, sampai saat ini, Roger tidak berpikiran sampai ke sana. Pikirannya terlalu sederhana kalau Anna pasti menyukainya dan bukanlah hal yang sulit untuk membuat perempuan itu menerima dirinya. Sayangnya, apa yang dia angan-angan kan ketika kembali ke tanah kelahirannya ternyata tidak seindah yang ia bayangkan selama ini. Roger selalu berpikir kalau saat kembali ke tanahnya dilahirkan, Anna yang memang pria itu inginkan akan langsung mengenalinya dan mereka bisa menjalin hubungan yang lebih serius daripada hanya pertemanan mereka saat masih kecil dulu. Saat Anna apa-apa selalu bergantung pada Roger karena Anna memang dasarnya menyukai Roger. Tahun dan zaman memang berlalu. Dan sekali lagi, mungkin Roger lupa kalau Tuhan itu maha membolak-balikkan hati. Dia tidak pernah tahu kalau ternyata Anna begitu mudah untuk menolaknya. Dia pikir, Anna tetap gadis kecilnya yang selalu mengekor ketika dia pergi. Sekarang, Anna sudah tumbuh menjadi perempuan yang sangat cantik sekali. Harusnya Roger sadar dan membuka matanya lebar-lebar kalau semuanya sudah berubah. Tatanan hati seseorang juga pastinya berubah. Entah rasa itu kian pudar atau malah sebaliknya, makin dalam. Mungkin perasaan Anna yang memudar untuk Roger di saat Roger sendiri masih begitu menyayangi Anna. Namun apapun yang terjadi, Roger tidak bisa menghakimi Anna begitu saja. Salahnya sendiri karena meninggalkan Anna bertahun-tahun lamanya tanpa pembicaraan dalam kurun waktu selama itu. Ya, mungkin Anna masih kecil saat itu untuk memahami. Namun, seumur itu, Anna sudah tahu apa itu sayang. Dan dia menyayangi Roger. Kalau tidak, perempuan itu tidak akan menangis sejadi-jadinya dan jatuh sakit di awal-awal Roger pergi ikut dengan pamannya. "Terima kasih, Na." Roger berbisik pelan sekali lagi. Kemudian mundur satu langkah, menunduk untuk melihat wajah Anna yang sedikit menunduk dan tidak berekspresi apa-apa. Melihat itu, Roger memejamkan matanya dalam-dalam. Semuanya memang harus seperti ini. Dia tidak bisa memaksakan hubungan ini kalau Anna memang tidak ingin menikah dengannya. "Sampai jumpa lagi." Kata Roger lirih, lantas berbalik dan terhenti saat merasakan ada yang menahan pergelangan tangannya. Bukan tangan Anna, bukan. Begitu Roger menoleh, dia baru sadar gelang jamnya terjerat cardigan rajut yang Anna pakai. Roger tertawa pelan. "Aku pikir kau menahanku pergi. Hah, sinetron sekali." Ujarnya. Anna mendongak, menatap Roger dalam yang langsung membuat tawa di wajah Roger menghilang. "Na? Kenapa?" Perempuan itu menggeleng, lantas menunduk yang membuat Roger terburu-buru membuka jeratan yang tak disengaja itu. Begitu terlepas, dia malah diperlihatkan wajah Anna yang memerah. Roger yang kurang peka langsung mengangkat dagu Anna, mengamati wajah perempuan itu dalam diam. "Kenapa malah menangis? Aku akan pergi, tidak akan mengganggumu lagi." "..." "Ya, jangan menangis. Astaga, Anna." Roger langsung mengusap bahu Anna yang malah membuat tangisan perempuan itu semakin kencang adanya. Tanpa pikir panjang, Roger langsung mendekati tubuh Anna sekali lagi. Dia tumpukan dagunya pada puncak kepala Anna, lantas mengusap punggung perempuan itu menenangkan. "Sudah, jangan menangis. Apa yang kau tangisi sampai seperti ini? Aku tidak marah padamu. Jangan menangis, Anna." Anna langsung mendekap tubuh Roger, menumpukan beban tubuhnya di sana. "Maaf, Kak." Roger menggelengkan kepalanya pelan. "Tidak apa-apa, Na. Sudah jangan menangis. Kita masih bisa saling memberi kabar kalau kau mau." Anna lantas melepaskan dekapannya, dia mendongak, menatap Roger dalam diam. Untuk waktu yang lama, mereka saling tatap satu sama lain. Sampai akhirnya, tangan kiri Anna terangkat, mengusap pelipis Roger pelan yang langsung Roger tahan tangannya. "Ini hanya bekas. Tidak sakit." Perempuan itu menatap nanar bekas luka yang Roger miliki karena menolongnya. Gara-gara dirinya, Roger terluka. "Ayo, Kak." "Kau ingin mengantarku keluar?" Roger bertanya pelan. "Tidak perlu. Kau istirahat saja." Nasihatnya secara halus. Anna menggeleng lirih. "Ayo bicara dengan semua orang, aku mau menikah dengan, Kakak." Satu detik Tiga detik Lima detik Tujuh detik kemudian. Roger masih terdiam. Dia menatap Anna antara percaya dan tidak percaya. "Aku? Aku tidak jadi ditolak?" tanyanya memastikan. Takutnya Roger hanya berhalusinasi saking menginginkan Anna. Sebagai respon yang paling jelas, Anna menghapus air matanya dan tersenyum manis dengan anggukan pelan yang penuh keyakinan. "Ini?" Roger mengusap wajahnya frustasi, masih tidak percaya. Kemudian berkacak pinggang, kembali lagi meraup wajahnya agak gusar. "Na, ini?" "Aku mau menikah denganmu, Kak." Roger tersenyum tak percaya. "Kenapa tidak dari tadi? Ya Tuhan... Perempuan ini membuatku frustasi." Anna tersenyum dengan air mata yang mengalir saat Roger kembali mendekapnya. Rasanya hangat sekali. Anna merasa tenang saat berada di dekapan pria ini. Dan sesungguhnya, memang Roger yang Anna tunggu. Begitupun sebaliknya. Mereka saling menunggu satu sama lain. "Ayo bicara dengan Papa." Anna mengingatkan Roger agar mereka bisa lega satu sama lain. Roger yang sudah terlanjur terbawa perasaan langsung mencium kening perempuan itu senang sekali. Lantas membawa Anna untuk berbicara dengan papanya. Tentu saja mereka harus mengatakan apa yang memang seharusnya dikatakan. Begitu masuk ke rumah, Barack Abraham dan istrinya tengah duduk di sofa. Tanpa rasa takut sama sekali, Roger menggandeng tangan Anna dan menghadap kedua orang tua perempuan langsung. Untungnya, semua orang juga kebetulan keluar dan ikut duduk karena agak kaget juga melihat Roger berani menggandeng Anna. "Jadi, bagaimana?" Barack Abraham bertanya pelan dengan tatapan begitu dalam pada pria yang tengah duduk berdampingan dengan putri kesayangannya ini. "Anna setuju menikah denganku, Paman." Barack Abraham langsung menoleh ke arah Anna, "apa yang Roger katakan itu betul, Sayang?" Anna mengangguk tanpa ragu. "Aku mau menikah dengan Kak Roger, Pa." Ada jeda di antara mereka semua. Jordan, Khris beserta istrinya hanya diam menyimak. Barack Abraham dan istrinya juga hanya diam. Mereka seakan berjibun lewat tatapan mata sebelum akhirnya tersenyum menenangkan dan Bu Irish berdiri, menghampirinya putrinya dan memeluk Anna sayang. "Selamat, Sayang. Kenapa tidak dari tadi, hm? Kau habis menangis, kan? Cengeng sekali." Kata mamanya itu. Anna tersenyum tipis, lantas membalas dekapan namanya, sementara Roger langsung berdiri dan menerima pelukan persahabatan dari Barack Abraham. "Selamat." Katanya tenang. "Paman senang sekali akhirnya Anna mau menikah." Roger balas tersenyum dan menepuk bahu Barack Abraham ikut terharu. "Terima kasih banyak, Paman. Terima kasih sudah mengizinkanku bersama dengan putri Paman." Barack lantas melepas dekapannya. "Putriku sendiri yang menginginkanmu." Roger tersenyum kemudian ditepuk bahunya oleh Khris. Mereka berakhir saling berpelukan, terlihat bahagia sekali menyambut anggota keluarga baru. "Jadi, kapan Pamanmu datang dan melamar putri paman langsung?" "Aku akan menghubungi Pamanku segera, Paman." "Baiklah. Kita bahas kapan tanggal-tanggalnya nanti setelah makan malam bagaimana? Dia di sini, kan?" "Iya, Paman." Barack Abraham mengangguk, mereka berakhir bercengkerama. Anna yang senang juga terlihat bersinar sekali wajahnya. Dia duduk di samping Kania, mengusap perut buncit kakak iparnya ini. "Kamu pasti bisa hamil, Na." Kania balik mengusap tangan Anna menenangkan. "Jangan khawatir." Anna tersenyum tipis, lantas mengangguk mantap. "Iya, Kak. Terima kasih." Shilla yang duduk di sebelah Kania juga melakukan hal yang sama. "Kakakmu ini, dia malah tidak mau hamil dulu." Kania jadi menepuk tangan Shilla. "Masih takut ya, Kak?" Anna bertanya pelan. Sementara Shilla hanya meringis yang tahu-tahu Khris datang dan merengkuh bahunya. "Bukan takut, Na. Tapi mau persiapan mantab dulu, biar yang kemarin nggak terulang lagi." Kata Khris seakan mengoreksi. Anna mengangguk paham. Dia mengerti. Shilla keguguran di usia kandungannya yang keenam bulan satu tahun yang lalu. Dan itu sangat mengguncang jiwanya. Tidak menyangka kalau bayi cantiknya harus terlahir tanpa nyawa. Padahal wajahnya cantik sekali. Memang takdirnya memang sudah seperti itu. Mereka hanya bisa mengikhlaskan dan mereka juga percaya kalau putrinya sudah berada di surga bersama bidadari yang menjaganya. Sedangkan Kania dan Jordan, sedari awal menikah memang sepakat menunda momongan karena Jordan memang sering pulang-pergi dinas ke luar negeri. Anna hanya bisa mendoakan kebahagiaan kakak-kakaknya ini bersama sang istri dan juga untuk kedua orang tuanya. Dan sekarang, doanya akan bertambah satu lagi, Roger Gustavo, pria gagah berani yang menjabat sebagai calon suaminya. *** Malam itu, Paman Roger datang dan melamar Anna secara resmi meskipun hanya keluarga terdekat yang diundang. Anna yang menghendaki acara ini, dia tidak mau ada tunangan meski semua orang bahkan sampai Roger membujuknya. Sayangnya, Anna memang tidak mau. Dia maunya langsung ajad saja di pagi dan malamnya resepsi. Kalau mau dibuat besar-besaran, Anna serahkan semuanya pada papanya karena papanya ingin sekali membuat pesta pernikahan untuk putrinya. Jadi untuk menghargainya, Anna terima yang katanya resepsi pernikahannya nanti dibuat besar-besaran. Sementara ini, Anna difokuskan untuk kesembuhan tangannya dulu. Dan ini tiga bulan sampai menuju hari pernikahannya nanti. Dokter merekomendasikan sampai empat bulan karena takutnya nanti malah kelelahan yang membuat tangannya sakit lagi. Tapi Anna tidak tega melihat Roger meski pria itu malah lebih setuju menikah dalam empat bulan kemudian. Anna bersyukur sekali dengan Roger yang pengertian dan sabar sekali. Keputusannya untuk menerima Roger tidak salah. Ada banyak harapan yang Anna miliki untuk hidup bersama Roger. Dia ingin memperbaiki semua. Meluruskan apa yang salah. Anna ingin mengembalikan sesuatu yang telah lama hilang. Dan bersama Roger, mimpinya besar sekali. "Na, kenapa diam saja?" "Hm?" Anna hanya bergumam, lantas mendongak dan tersenyum tipis melihat Roger yang tengah menatapnya serius sekali. "Tidak apa-apa." Lanjutnya pelan seraya kembali mengembalikan pandangannya untuk menatap depan. Posisi Roger yang tengah duduk dan mendekap Anna dari belakang membuatnya mudah untuk mengecup puncak kepala Anna. "Kau tidak berubah sama sekali, Na. Kadang suka tidak jelas." Roger berkomentar. "Tidak jelas bagaimana?" "Awas tangannya, hati-hati." Roger memperingatkan saat Anna langsung menoleh tanpa khawatir tangannya yang masih sakit menghantam lututnya. "Iya, maaf. Nanti hati-hati." Jawab Anna kemudian. Roger langsung memutar tubuh Anna kembali agar kembali bersandar di dadanya. Mereka hanya diam memandang hijaunya pepohonan yang indah di depan sana. Sekarang, mereka tengah menghabiskan waktu weekend berdua. Ya tentu saja untuk refreshing sekalian dari penatnya kesibukan yang tidak berubah tiap harinya, yang ada malah bertambah sibuk saja. Angin yang berhembus agak kencang membuat Roger merapatkan tubuhnya, mendekap Anna sebisanya. Ingatkan dia kalau kekasihnya ini tangannya sakit. Apalagi kesejukan yang ada di sana seakan menambah momen hangat di antara keduanya untuk mengenang kenangan lama mereka dulu. Kicauan burung-burung yang menambah kesan syahdu membuat mereka seakan dilempar ke beberapa tahun yang lalu. "Kakak ingat waktu aku diganggu teman sekelasku dulu?" Roger hanya menjawab dengan gumaman seadanya. Ayolah, dia tidak mungkin melupakan itu. Bayangkan saja anak sekolah dasar sudah ingin mencium temannya sendiri. Anna yang cengeng menangis saat didekati dan ingin dicium. Padahal, Anna sudah menghindar sejauh yang dia bisa, tapi tetap saja didekati. Dasarnya Anna pintar. Dia tidak mengadu pada orang tuanya. Karena kalau sampai mengadu, lelaki seumuran yang menyukainya saat sekolah dasar ini bisa jadi dikeluarkan atau dipindahkan dengan tidak terhormat karena kerjaan Papanya. Anna tidak mau kalau dia sampai dijauhi oleh teman-temannya yang lain. Anna juga tidak mengadu pada Roger. Tapi memang Roger yang mengawasi Anna sendiri dan memberi perhitungan pada anak itu, sedikit mengancamnya agar tidak menganggu Anna lagi. Jordan dan Khris juga diberi tahu oleh Roger soal ini. Jadinya, kalau ada apa-apa pada Anna, mereka bertiga yang maju, sudah seperti bodyguard saja. Dan memang seperti itu kenyataanya. Mereka menjaga Anna tanpa lelah dan tanpa henti. Saat Anna tertidur pun, mereka tetap menjaga Anna. Anna memang kesayangannya, itu tidak perlu diragukan lagi. Mereka sangat menyayangi gadis kecil yang sekarang sudah tumbuh menjadi perempuan cantik yang cerdas dan juga dewasa. "Harusnya kau tidak melarangku saat ingin memukul wajahnya, Na. Apa dia masih hidup sampai sekarang?" Anna tertawa pelan mendengar perkataan Roger yang menurutnya keterlaluan. "Ya Tuhan, Kak, kenapa begitu sekali pertanyaannya?" "Ya, aku kan hanya tanya. Siapa tahu aku bisa menghajarnya saat sudah dewasa." Anna mengusap lutut Roger yang menjadi tumpuan tangan kirinya, menenangkannya. "Jangan lakukan itu, Kak. Dia sudah menikah sekarang." "Memangnya ada perempuan yang mau dengannya? Bocah tengil, sombong dan tidak jelas." Kata Roger lagi, terlihat sangat tidak suka. Sekesal itu Roger dengan siapapun yang menganggu Anna. Dasarnya Roger memang orangnya protektif dengan apapun yang menjadi miliknya. Yah, Roger sudah mengklaim Anna sebagai miliknya sejak kecil. Makanya dia kejar juga sampai sekarang sampai akhirnya dapat. "Kak, tidak boleh bicara seperti itu." Anna mengingatkan. "Lhoh, aku mengatakan yang sebenarnya. Memangnya ada yang salah dengan perkataanku? Rasanya tidak." Roger tidak mau dipersalahkan. Anna hanya tersenyum. Dia tahu kalau kekasihnya ini memang keras kepala. Dari dulu memang sudah seperti itu. Makanya Anna tidak kaget. Namun meskipun begitu, Roger pria yang sangat cerdas. Anna mengaguminya. "Bahas yang lain saja. Kakak tidak ingin pulang ke Singapure dulu?" "Pulang ditunjukkan untuk rumah, Na. Dan rumahku ada di sini. Jadi kenapa harus kembali ke tempat orang?" Anna tersenyum. "Aku tidak pernah menang bicara dengan, Kakak. Sda saja jawabannya." Roger tertawa, mengecup puncak kepala Anna sekali lagi. "Tidak menyangka kalau ada hari ini, Na. Aku pikir, aku akan kembali mengasingkan diri di negeri orang dan melajang seumur hidup karena kau tolak." "Menyedihkan sekali." "Itu tidak jadi lah, kan kau menerimaku." Roger meraih tangan Anna, lantas mencium punggung tangannya pelan. "Kak?" Anna menegur dan berupaya untuk menarik tangannya menjauh. Sayangnya, Roger menahannya agar Anna tidak bisa menahannya. "Sebentar," pinta pria itu lirih. Roger sadar kalau Anna tetap menjaga batas aman saat mereka bersama. Dan Roger semakin merasa kalau dia sudah benar dengan kembali dan mengejar Anna sampai dapat. "Aku sangat berterima kasih dengan mamamu yang sudah mengajarkanmu menjaga diri seperti ini, Na. Tegur aku kalau sampai melewati batas. Jangan segan untuk menamparku. Tampar saja kalau aku sudah menyakitimu biar aku sadar. Terkadang aku tidak sadar kalau sudah keterlaluan." Anna menghela nafas pelan mendengar perkataan Roger barusan. Mendadak dia menjadi sedih. "Jangan mendahului takdir, Kak. Memangnya Kakak berniat jahat padaku?" Anna sengaja menjeda sejenak perkataannya. "Tidak, kan?" Roger tidak menjawab karena Anna juga sudah tahu jawabannya. Karena itu dia menoleh dan tersenyum manis ke arah Roger. "Ayo bicara lagi." Anna berujar ceria. "Tentang apa?" "Banyak hal." Anna mendongak, menatap langit yang kebiruan dan hingga di sebelah Barat. "Tentang siang, malam, langit dan matahari." Roger tertawa mendengar pembahasan random dari kekasihnya ini. "Kau ingin jadi ilmuan berarti, ya? Kenapa malah jadi designer? Padahal, dulu gambaranmu tidak bagus." Anna menepuk lutut Roger agak kencang dengan tawa renyah yang terdengar. Sepertinya terganggu dengan perkataan Roger. "Itu kan dulu, sekarang gambarku sudah bagus tahu." "Baju pernikahan kita kamu sendiri yang merancang?" Samar-samar embusan nafas berat Anna terdengar. "Maunya begitu, tapi tanganku tidak bisa diajak berkompromi. Jadi ya sudah, dipegang Kak Jo." "Aku risi sekali saat diukur olehnya." "Dia pria tulen tahu. Kan sudah punya istri dan anak. Memang dia suka merancang baju. Jangan memilih orang dari luarnya, Kak." "Ya aku kan tidak mengatakan dia tidak tulen. Aku hanya risi diukur oleh sesama pria." "Jadi maunya diukur perempuan? Mau ulang pengukuran? Aku akan bilang Kak Jo kalau kau ingin diukur oleh perempuan." "Astaga, bukan seperti itu. Kenapa pikiranmu jauh ke sekali, Na. Sudahlah, bahas yang lain." Roger menepuk pundak Anna pelan, agar kekasihnya ini sadar.. Hingga mentari yang perlahan tenggelam membuat Anna dan Roger berakhir masuk ke dalam vila milik keluarga Roger. Pria itu memang sengaja mengajak Anna ke sini. Dia tahu Anna butuh lingkungan yang segar agar tubuhnya lebih fresh. Mungkin kejadian dia dibuat tak berdaya karena diberi udang sudah berlalu dan Anna juga sudah sembuh. Hanya saja, masih ada kekhawatiran-kekhawatiran dalam hati Roger. Bagaimana kalau ada yang berniat jahat dengan Anna lagi? Karena itu dia berupaya untuk membuat kekasihnya ini merasa lebih baik.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD