Anna sadar kalau perkataannya memang keterlaluan bagi orang yang sangat memperdulikan dirinya. Hanya saja, Anna juga lelah jika terus dikekang di umurnya yang sudah tidak lagi anak-anak. Dia sudah dewasa, sebentar lagi akan menjadi istri dari seorang laki-laki. Apa iya dia mau pergi ke kamar mandi tetap diikuti oleh pengawalnya? Menunggu di depan pintu seperti itu? Bagaimana perasaan Roger nanti? Anna bahkan sudah risih sendiri diikuti ke sana-kemari tanpa henti.
Padahal, Anna tidak terbuat dari emas ataupun platinum, tapi diincar sedemikian rupa. Bagaimana kalau Anna terbuat dari platinum betulan? Bisa-bisa orang-orang yang memang ada niat jahat langsung melenyapkan Anna dan mengambil bagian tubuhnya begitu saja untuk dijadikan aset pribadi. Sungguh kejam sekali mereka yang mengincar nyawa sesama manusia. Padahal sebagai makhluk sesama Tuhan, seharusnya saling menghargai dan hidup dengan rukun.
Anak TK dan SD saja tahu tentang hal sesederhana itu, tapi mereka yang sudah dibutakan oleh kekuasaan malah tidak tahu apa-apa. Yang mereka tahu adalah aset lebih berharga daripada apapun yang ada di dunia. Kejamnya lagi, mereka bahkan tak segan menjadikan anggota keluarga sebagai jaminan seakan keluarga tidak bermakna sama sekali.
Entah apa tujuan mereka melakukan itu semua. Padahal mereka pasti pintar, tapi hanya karena harta, tahta dan seperangkatnya, mereka jadi sedikit buta atau malah buta secara keseluruhan.
Anna saja sampai tidak bersemangat untuk makan atau melakukan apapun itu. Dia hanya ingin bekerja, berkumpul dengan orang-orang yang sefrekuensi dengannya. Kalau tidak, jatuhnya Anna hanya seperti patung. Hanya diam, diam dan diam.
Pagi yang agak mendung ini, membuat Anna merasa panas meski di kamarnya dilengkapi dengan pendingin ruangan sekalipun. Kakinya yang jenjang berjalan keluar menuju balkon. Awan yang berwarna kelabu lantas menyambutnya disertai angin darat yang tak begitu dingin, tapi mampu membuatnya bergidik.
Langkah kakinya semakin jauh menuju pembatas, kedua tangannya bertumpu di sana, menikmati pemandangan hijau yang ada di pekarangan depan rumahnya.
Anna sangat bersyukur karena mamanya suka sekali menanamkan tumbuhan. Setiap satu bulan sekali, pasti mamanya membeli tanaman baru. Entah buah atau hanya bebungaan yang menambah warna di pekarangan sana, pasti selalu ada. Dan Anna pasti terlihat dalam penanaman itu. Dia suka menanam. Hanya saat itu dia merasa menyatu dengan alam. Mengingatkannya kalau akhirnya nanti, semua orang akan kembali pada tanah, menyatu pada tanah dan terkubur selama-lamanya.
Kaca jendela yang pecah semalam sudah diganti baru. Barang pecah belah yang berserakan semalam sudah disingkirkan. Dedarahan yang mengganggu juga sudah hilang. Anna jadi bisa bernafas lebih baik dari sebelumnya. Masalah dengan Khris, Anna akan meminta maaf saat kakaknya pulang ke kantor nanti. Anna tahu kalau Khris tidak akan fokus pada ponselnya kalau sedang bekerja. Karena itu dia ingin bicara secara langsung saja, biar lebih sopan juga meminta maaf secara langsung. Dia tahu kalau kakaknya akan memaafkannya. Mereka jelas sangat menyayangi Anna.
Mengingat kejadian semalam, Anna jadi ingat tentang Roger juga. Dia khawatir kalau Jordan atau Khris sampai memberitahunya. Kalau Roger sampai tahu, pria itu pasti langsung menyadap ponselnya betulan. Namun, Anna juga baru ingat kalau dia tidak memberi tahu kedua kakaknya kalau dia juga diteror lewat gawai. Bisa-bisa, Anna tidak boleh memegang apapun. Bisa mati bosan dia meski Anna tidak keberatan sama sekali. Masalahnya, dia sudah punya Roger. Duh kalau sudah ada yang punya begini sekali. Ada tambahan lagi yang dia pikirkan, calon suaminya.
Baru saja dipikirkan, Anna terlonjak kaget mendengar dering ponselnya yang begitu keras. Dia buru-buru kembali ke kamar dan mengambil handphonenya yang tergeletak di nakas. Begitu melihat nama yang terpampang jelas di layar, Anna tersenyum riang. Roger menelfonnya.
"Na? Kau baik-baik saja?"
Baru saja mengangkat telfon, Roger langsung bertanya seperti itu. Anna jadi tidak enak sendiri. Seperti belum apa-apa, agaknya Anna sudah ketahuan lebih dulu.
"Aku baik-baik saja, Kak. Kakak sudah makan siang?"
"Kau di mana? Bersama siapa? Ada Khris atau Jordan? Aku ingin berbicara dengan salah satu dari mereka?" Roger balik bertanya, agak tidak sinkron sebenarnya. Tapi setidaknya, Anna merasa aman. Sepertinya Roger tidak tahu apa-apa. Yah, Anna harap juga begitu.
"Tidak ada." Jawab Anna tanpa pikir panjang. "Mereka sudah pergi ke kantor. Ada apa, Kak?"
Terdengar helaan nafas berat yang begitu kentara. "Kau dimana sekarang?"
Anna terdiam yang jika dihitung betulan terkonfirmasi tujuh detik waktu bagi Anna untuk bisa menjawab pertanyaan sederhana dari Roger.
"Di butik."
Kemudian, hening seolah kembali menyapa. Satuan menit terlewatkan begitu saja. Roger hanya diam, Anna pun lebih diam lagi. Mereka sama-sama terdiam untuk waktu yang lama. Entah apa yang dipikirkan keduanya sampai membiarkan hening terlalu lama. Sampai akhirnya, gendang telinga Anna mendengar suara lagi yang membuat jantungnya berdetak kencang seketika. Dia seakan lupa cara mengambil nafas saking terkejutnya.
"Mau sampai kapan kau menyimpan ini semua sendirian, Na?"
Masalahnya, Anna bukannya mendengar suara itu dari gawai yang tengah digenggamnya. Tapi, Anna mendengar langsung di pendengarannya. Dan begitu menoleh ke belakang, makin-makinlah detak jantungnya menggila.
Anna yang tidak sadar saja hampir menjatuhkan gawainya. Untungnya, Roger lebih dulu menangkap benda kotak itu dalam genggaman.
"Sedang apa, Na?" Roger bergerak lebih jauh, melewati Anna dan ganti yang menumpukan tangannya di batas balkon. Wajahnya tak berekspresi apa-apa. Tampak dingin seperti biasa. Sementara wajah Anna kentara kaget sekali. Wajahnya saja sampai pucat bdgiyu.
"Kak-"
"Apa butikmu pindah ke rumah, Na? Gedungmu digusur?" Roger bertanya pelan dengan senyuman tipis yang menghiasi bibirnya. Jelas sekali kalau nada pelan yang Roger gunakan adalah perwujudan dari sindiran paling halus yang bisa dia lakukan.
Sadar karena bukan waktunya untuk berbicara, Anna memilih diam saja. Dia tidak akan membela diri karena perempuan itu mengakui kalau dia salah. Memang dia yang salah karena terlalu menganggap dirinya sendiri bisa mengatasi semua masalah yang tengah menimpanya tanpa bantuan orang lain.
Melihat Anna yang diam saja, Roger kembali beranjak mendekat dan menarik Anna dalam dekapannya. Sayang. "How's life. Kenapa tidak bilang kalau ada masalah? Masih sulit bagimu untuk percaya padaku?"
Tanpa diminta, Anna langsung menggeleng kepalanya pasti. Rasanya tenang melihat Roger datang tapi Anna tetap saja tidak tenang dalam waktu bersamaan.
"Pekerjaan Kak Roger sudah selesai?" tanyanya agak lirih. Anna jelas khawatir tahu-tahu Roger sudah ada di rumahnya. Tanpa menjelaskan, Roger pasti sudah tahu apa yang terjadi pada dirinya kemarin malam.
Karena belum juga dijawab oleh sang empunya, Anna berupaya untuk melepaskan diri setelah tadi langsung didekap oleh Roger begitu saja. Namun, Roger tidak membiarkan Anna pergi dengan tenang.
Pria itu menahan tubuh Anna yang ingin melepaskan diri. Roger justru mendekap Anna semakin erat. "Apa ada yang terluka? Aku tidak percaya dengan Khris dan Jordan. Dia pasti merahasiakan sesuatu dariku, kan?"
Anna menatap Roger sebentar sebelum akhirnya berpaling seperti biasa. Dia bingung, sebenarnya Roger sudah tahu tentang teror yang menimpanya atau tidak. Masalahnya, Roger bertanya, bukan menekankan kalimatnya.
Hah, kalau seperti ini, Anna malah jadi merasa bersalah. Harusnya dia jujur saja pada Roger sejak awal tentang teror yang dialaminya. Harusnya dia iya-iya saja saat Roger meminta izin ungu menyadap ponselnya. Lagipula Anna memang tidak pernah melakukan hal yang tidak-tidak. Harusnya dia berikan saja daripada jatuhnya malah seperti ini.
"Maafkan aku." Anna bergumam lirih. Pada akhirnya, dia menumpukan beban tubuhnya di bahu kukuh Roger. Benar bersandar di sana. "Aku tidak bermaksud merahasiakannya dari semua orang, Kak."
"..."
"Kupikir, aku bisa menangani teror sendiri. Kakak bahkan bisa menebak kalau aku diteror. Aku minta maaf, Kak." Anna berujar lirih sekali lagi, agaknya takut juga apa yang disembunyikannya langsung terkuak begitu saja. Soal teror ini, sudah berjalan lama. Sepertinya sudah bertahun-tahun juga. Anna bahkan sampai tidak ingat karena saking lamanya dia selalu diteror seperti ini.
"Aku tahu. Tidak apa-apa." Roger balas menenangkan, mengusap bahu Anna yang terasa berat di tubuhnya.
Angin yang kembali datang langsung membuat Anna memejamkan matanya dalam-dalam. Dingin yang tadi terasa biasa, kini semakin terasa menyiksa entah kenapa. Biasanya tidak seperti ini. Anna merasa berada di tempat asing dengan orang yang asing pula.
Butuh waktu bagi mereka untuk membagi kerinduan satu sama lain meski hanya satu bulan meraka terpisahkan. Rasanya berat sekali. Anna bahkan belum terpikir apa yang akan terjadi nanti saat dia sudah menikah.
"Ayo masuk. Di sini dingin. Apa tanganmu tidak sakit memelukku seperti itu?"
Mata Anna langsung membola. Dia baru meringis saat melakukan gerakan refleks. Dia tidak sadar sudah melakukan hal seserampangan sedari tadi.
"Astaga! Baru saja dibilangi!" Roger memekik saat Anna sampai mendekap tangannya erat. Ada sensasi nyeri yang seakan menjalar dari pergelangan tangannya menuju bahu. Anna sampai menahan nafas seakan menarik ataupun menghela nafas bisa memperparah rasa sakitnya.
"Ayo, ke kamar!" tanpa membutuhkan izin dari orang lain, Roger menuntun Anna ke kamarnya. Meminta perempuan itu untuk duduk di tepi ranjang. Sementara Roger sendiri mengambil kursi rias Anna dan mengamati tangan perempuan itu dalam diam. "Bagian mana yang sakit?"
"..."
Roger terlihat serius mengamati tangan Anna. "Aku kemarin lihat di channel YouTube dokter yang ada si Singapura. Rutin periksa kan, Na? Jangan sampai tangannya kenapa-kenapa lagi."
Anna tersenyum, hatinya menghangat dengan kepedulian Roger terhadapnya.
"Apa sudah bis-kenapa melihatku seperti itu? Jatuh cinta padaku lagi?" tanyanya agak sinis sebenarnya, tapi tidak terlihat seperti itu di penglihatan Anna.
Tawa renyah lantas tercipta dari bibir Anna yang merekah. Roger tertular cara Anna tersenyum yang begitu damai. Pipinya yang putih merona. Entah karena malu atau memang dasarnya pipi Anna selalu memerah saat sang empunya tertawa.
"Kakak lucu." Anna menjawab pelan.
"Thank you, Nona. Kau memang benar, aku lucu, manis, dan sangat menggemaskan. Karena itu kau jatuh cinta padaku, kan?"
Mata Anna yang bulat lantas membulat sempurna. "Memangnya aku pernah bilang kalau aku jatuh cinta pada, Kakak?"
Roger yang tadinya sibuk membuka perban di tangan kanan Anna jadi terhenti. Dia mendongak, menatap Anna penuh tanya. "Iya kah? Kau belum pernah mengatakan kalau kau mencintaiku?"
Anna mengangguk pasti.
"Ah, kau pasti lupa. Kau kan pelupa, Na. Diingat-ingat dulu. Kau lupa pasti."
"Aku tidak pernah mengatakan kalau aku mencintaimu, Kak"
"Ya terserah." Jawab Roger sekenanya meskipun di awal seperti orang berpikir berat. "Yang penting kau menikahnya denganku. Problem solved, then."
Anna tersenyum tipis mendengar jawaban Roger yang terkesan bodoh amat, tidak peduli dan seperangkatnya. Dia sedikit terhibur atas kehadiran lelaki yang sekarang tengah memanjakannya ini.
Ah, jujur saja bukan lagi sedikit terhibur, tapi sudah sangat terhibur. Anna sangat terhibur karena Roger datang. Dia bahagia sekali. Setidaknya, di masa-masa sulit seperti ini, Anna tidak sendirian. Ada Roger yang setia menemaninya.
Sejujurnya, Roger sudah tahu kalau Anna diteror. Jordan dan Khris yang memberitahunya. Mereka sepakat pura-pura tidak tahu karena tidak ingin membuat Anna terlalu kepikiran. Sayangnya, semakin didiamkan, terornya makin menjadi-jadi.
Roger bisa sampai menyeletuk kalau ingin menyadap ponsel Anna, ini juga ide dari Khris. Sayangnya, Anna tidak mau. Jadi ya sudah. Mereka tidak bisa memaksa dan hanya bisa menjaga Anna dalam diam.
Meksipun begitu, Khris sudah mengantisipasi akan datangnya hari seperti semalam. Tapi tetap saja mereka kecolongan karena pelaku berani melempar langsung di jendela kamar Anna. Bagaimana kalau semalam sampai mengenai bagian tubuhnya? Anna bisa terluka lagi.
Hanya orang gila yang melakukan itu semua. Atau bahkan lebih dari orang gila karena orang gila tidak berpikir. Tapi mereka berpikir tapi pikirannya tidak digunakan. Jadi ya sama saja, percuma. Ilmunya tidak bermanfaat. Akal pikiran yang diberikan oleh Tuhan tidak berguna baginya karena dia tidak berpikir sebelum melakukan hal serendah itu.
Terkadang banyak perempuan yang tidak mau atau enggan dikatai lemah. Tapi sebentar, perempuan memang lemah seperti adanya. Perempuan bisa menangis jika benar-benar lelah dengan luka yang ditanggungnya seorang diri. Perempuan juga bisa sakit jika terus dipaksa bekerja seraya melakukan pekerjaan rumah.
Sewaktu di rumah, kedua orang tua pihak perempuan memperlakukan anaknya bak putri. Paling menyuruh ya melakukan hal ini itu, yang tidak berat. Tapi di rumah mertua atau ikut suaminya, malah seperti kerja rodi. Fisiknya diperas untuk kerja ini itu. Pekerjaannya sendiri lah, pekerjaan rumah, semuanya dilemparkan pada perempuan.
Ini perlu digarisbawahi. Tidak semua perempuan akan menemukan pasangan yang seperti itu. Tapi kadang kala memang taksinya seperti itu. Para lelaki hanya perlu mengerti. Fisik perempuan jelas lemah jika dibandingkan dengan fisik lelaki. Tanpa ditunjuk-tunjuk pun mereka sudah sadar. Hanya saja, terkadang para perempuan juga ingin membela diri, tidak mau jika terus diinjak-injak seperti tidak memiliki harga diri.
Pria yang cerdas, pria yang pintar, pria yang ber-IQ tinggi, mereka pasti menghargai sebuah hubungan. Mereka juga paham seandainya ada kalanya perempuan mengeluh ini itu. Pengeluhan ini bukan semata-mata untuk bermanja-manja, tapi karena terkadang, mereka memang lelah. lelah yang benar-benar lelah dan hanya ingin istirahat sebentar saja sebelum melanjutkan tugasnya kembali.
Dalam kasus Anna, dia terima-terima saja jika dikatai lemah. Karena pada dasarnya, Anna memang lemah. Dia tahu dirinya sendiri. Dan beruntungnya, keluarga begitu menjaganya hingga Anna tidak pernah merasakan kekurangan sama sekali. Semua yang dia butuhkan sudah terpenuhi. Semua yang dia inginkan pun juga pasti diusahakan supaya bisa terpenuhi. Kurang apa lagi jadi, Anna?
Di mata orang, pasti enak memiliki keluarga kaya raya. Apa-apa tinggal minta dan langsung dipenuhi. Sayangnya, Anna hanya meminta satu tapi sampai sekarang belum terpenuhi. Dia hanya ingin kebebasan. Dia tidak ingin dikurung. Anna tidak ingin dikekang meski demi keselamatannya sekalipun. Karena Anna ingin bebas terbang tinggi. Dia tidak mau terus terperangkap dalam kandang dan terus bersembunyi hingga orang-orang yang tidak bersalah bisa jadi mendapat getahnya karena berupaya menjaga dirinya. Sudah cukup dirinya saja yang terluka. Anna tidak ingin kalau sampai orang yang dia sayang sakit atau mendapatkan musibah karena dirinya pula.
"Kak?" Anna menatap Roger sejuk. Sayangnya, Roger hanya membalas dengan gumaman karena masih sibuk mengurus luka Anna. Kapan lagi dia diizinkan untuk melakukan hal sederhana ini bagi Anna? Rasanya akan tidak mungkin saat mereka menikah nanti. Karena Roger akan lebih sibuk dari sebelumnya. Barack Abraham sudah memberinya ultimatum untuk mengurus kantor cabang selama dua bulan baru bisa kembali pada perusahaannya sendiri.
Bukan maksud apa-apa, hanya saja keluarga Abraham sendiri sudah sibuk mengurus kantor pusat. Kantor cabang yang akan diurus Roger kelak adalah yang berada di Bali, sehingga Roger bisa berbulan madu sekalian dengan Anna. Barack Abraham sudah merencanakannya sejauh itu. Untuk putrinya, Barack menginginkan yang paling baik dari yang terbaik.