Usai pulang dari liburan, tentu saja mereka berpisah. Anna tetap di rumah sementara Roger harus pergi ke Singapura. Dokter memberi waktu mereka selama empat bulan sebelum pernikahan. Jadi, Roger harus cepat menyelesaikan pekerjaannya lalu mengambil cuti, begitupun dengan Anna yang harus menjalani serangkaian pemeriksaan agar tangannya bisa normal lagi. Bisa panjang urusannya kalau saat menikah nanti dia malah masih sakit.
Ini sudah satu bulan berlalu sejak kepergian Roger. Anna dan Roger sendiri tidak pernah absen memberi kabar satu sama lain. Saat ada waktu senggang, mereka menyempatkan waktu untuk berkabar. Entah Anna dulu yang memulai ataupun Roger dulu yang memulai. Mereka jadi lebih akur dari sebelumnya. Dan mungkin lebih paham sulitnya hubungan jarak jauh itu seperti apa. Tapi selama kepercayaan satu sama lain masih melekat, mereka tidak perlu mengkhawatirkan apapun. Semua akan baik-baik saja. Tidak perlu ada yang dikhawatirkan.
Seperti weekend malam ini, Roger menelfon Anna setelah Magrib yang berarti di Indonesia pukul 12 malam lebih karena perbedaan waktu Indonesia tujuh jam lebih cepat dari Singapura. Mungkin Roger lupa atau bagaimana. Yang jelas, Anna yang memang belum tidur, masih sibuk mengerjakan sketsa bajunya, wajahnya jadi berseri-seri melihat telfon dari Roger tengah malam begitu.
"Malam, Na. Aku kira kau sudah tidur. Kenapa belum tidur, sekarang pasti sudah larut di sana. Istirahat, jangan memaksakan diri."
Anna tersenyum tipis mendengar nasihat Roger, lantas membalas perkataan lelaki yang jauh di sana itu. "Kakak sudah selesai bekerja atau hanya menyempatkan diri untuk menelfon?"
Terdengar kekehan pelan di sana yang membuat Anna jadi ikut tertawa. "Aku harus lanjut kerja lagi nanti. Salah siapa kau tidak bisa dihubungi saat siang hari? Apa kau kira aku menikahi kelelawar yang tidur siang hari dan baru terbang mencari makan, malamnya? Ayolah Na, calon suamimu ini kaya raya. Kau meragukanku? Kau boleh bekerja seperti yang kau inginkan. Lagi pula sebelum aku datang, kau juga sudah bekerja seperti itu. Tapi Na, kesehatanmu. Apa Paman dan kedua kakakmu tidak pernah mengeluhkan hal ini? Aku sangat terganggu dengan waktu tidur ataupun waktu isturahatmu yang berantakan."
"Bagaimana Kakak bisa tahu?" Anna menyerngit heran. "Kakak tidak memata-mataiku, kan?" Anna sampai menoleh ke kanan dan ke kiri.
"Kalau iya memangnya kenapa?"
Anna mengembuskan nafas pelan. Dia tidak masalah sebenarnya seandainya Roger memang mematainya. Hanya saja, Anna perlu mempertanyakan satu hal pada pria itu. "Kakak tidak percaya padaku?"
"Daripada dengan diriku sendiri, aku lebih percaya padamu, Na. Aku hanya tidak percaya dengan orang lain yang ada di sekitarmu. Aku khawatir kalau kejadian yang lalu terulang kembali. Apa ada yang luput dari pengawas ku? Tidak ada yang mengganggumu lagi, kan?"
"Kak?" Anna memanggil pelan, berupaya menenangkan. "Hidup matinya seseorang itu di tangan Tuhan. Kenapa Kakak khawatir sekali? Bukankah kematian itu hal yang pasti? Aku ataupun Kakak, suatu hari nanti, pasti akan menemui ajal juga. Kenapa Kakak takut sekali?"
Helaan nafas berat lagi-lagi terdengar. Anna jadi menatap nanar langit-langit kamarnya. Saat mendapat telfon tadi, Anna langsung meletakkan sketsanya dan memilih naik ke ranjang, tiduran. Lagi pula punggungnya sakit dibuat duduk sedari tadi.
"Kenapa, Kak? Ada masalah?"
Di seberang sana, tanpa sadar Roger menggelengkan kepalanya pelan meskipun Anna tidak berada di dekatnya sekalipun. "Tidak. Kau baik-baik saja, kan? Jangan kerja terlalu lelah. Tanganmu bagaimana? Sudah ada kemajuan?"
Anna mengangguk antusias. "Sudah. Kakak jangan khawatir. Aku menjaganya tahu. Kakak masih berpikir kalau aku ini seperti anak kecil?"
"Tidak, Na. Kau sudah dewasa, sungguh. Cantik sekali."
"Tidak ada hubungannya." Anna berkomentar. Dia bahkan tidak tersipu. Gombalan Roger tidak mempan untuknya.
"Ya sudah, istirahat sana. Ini sudah larut sekali. Maaf sudah menganggu."
"Astaga, tidak!" Anna menggeleng juga di seberang sana. "Kakak tidak menggangguku. Aku senang mendapat telfon dari Kakak."
Roger tersenyum menenangkan. "Terima kasih sudah menerimaku, Na."
"Ya, Kakak sudah bicara itu berapa kali sampai aku bosan mendengarnya. Aku juga berterima kasih pada Kakak karena sudah menerimaku."
"Iya, istirahatlah. Aku akan bekerja lagi. Kapan-kapan, aku akan menelfonmu lagi, ya?"
"Anytime Kak, kalau aku belum tidur, pasti kuangkat panggilan dari Kakak. Kakak juga harus banyak istirahat, jangan kerja terlalu berat dan jangan-" Anna berhenti, membatin perasaannya sendiri sampai akhirnya tersenyum tipis dan mengatakannya dengan lepas. "Dan jangan terlalu keras pada diri sendiri."
"Iya Sayang, iya."
Dan, Roger tertawa saat Anna langsung mematikan sambungan telfonnya secara sepihak saat dipanggil dengan sebutan 'sayang'
Dasarnya Roger ini orangnya iseng, dia langsung mengirimkan pesan pada Anna.
'Saat menikah nanti, apa kau akan marah padaku saat kupanggil 'sayang' ayo lah Na, aku suka memanggilmu seperti itu. Orang-orang juga melakukan hal itu. Kenapa aku tidak boleh? Memangnya dosa memanggil calon istri dengan sebutan sayang?'
Butuh beberapa waktu sampai akhirnya pesan Roger dijawab oleh Anna.
'Jatuhnya iya kalau Kakak berpikiran yang macam-macam. Menikah dulu, baru memanggil sayang.'
Percuma karena Roger tahu Anna akan mendebatnya sampai akhir. Karena itu dia hanya meminta maaf setelah itu tidak ada kelanjutan lagi perpesanan mereka.
Anna menghela nafas pelan, lantas menutup matanya dengan lengan kiri karena sakit melihat cahaya terang.
Beberapa saat kemudian, Anna melihat ke arah ponselnya yang tergelak di ranjang karena ada getaran tansa pesan masuk.
Dan di detik itu, Anna langsung mematikan telfonnya. Sudah dua minggu ini dia diteror orang. Mengancam Anna kalau akan membunuh Roger kalau sampai benar-benar menikah dengan pria itu.
Khawatir tentu saja. Tiap malam Anna tidak bisa tertidur nyenyak dan selalu dihantui mimpi buruk karena pesan ancaman itu.
Ini tidak main-main. Seharusnya Anna mengabaikannya saja. Sayangnya, gambarnya masuk ke galeri. Dan jelas itu foto Roger yang dikirim, dilumuri dengan darah tikus mati. Usai mendapatkan itu pun, Anna sampai muntah-muntah. Dia tidak bisa membayangkan kalau terjadi sesuatu yang buruk pada Anna. Dia tidak akan bisa membayangkannya. Sayangnya, Anna tidak berani bercerita kepada siapapun.
Rencana awal sebelum pergi, Roger sudah mengatakan pada Anna kalau dia ingin menyadap ponsel Anna. Roger sudah mengatakan kalau khawatir seandainya teror ataupun percobaan menyelakai Anna tetap berlanjut. Karena itu, Roger ingin menyadap telfonnya. Sayangnya Anna tidak setuju ide itu.
Anna bukannya tidak percaya pada Roger. Hanya saja, kalau kekhawatiran Roger jadi benar adanya, maka pria itu tidak akan fokus pada pekerjaannya. Roger pasti berakhir khawatir pada Anna dan buru-buru pulang sampai pekerjaannya tidak maksimal karena memikirkan yang di rumah. Karena itu Anna menolak usul Roger mentah-mentah. Setidaknya, Anna masih bisa mengontrol ketakutannya sendiri. Kalau nanti sampai perbuatan lebih dari sekadar teror, Anna pasti buka suara. Jelas kalau Anna masih ingin hidup. Dia ingin hidup bersama Roger seperti yang ia impikan.
Banyak mimpi yang ingin ia capai bersama Roger seandainya Roger memang mau berjalan berdampingan bersamanya.
Harusnya kalau Anna percaya dengan Roger, mudah baginya memberikan izin untuk menyadap ponselnya. Kalaupun disadap pun, Anna tidak perlu khawatir karena dia memang tidak memiliki hubungan dengan orang lain. Nomor yang dia simpan juga nomor keluarga terdekat dan para pekerjanya yang berhubungan langsung dengan dirinya.