35. The Couple

2269 Words
Tuhan tidak suka dengan sesuatu yang berlebihan. Apalagi berlebihan dalam hal bersedih. Di waktu ini, ketika Roger dengan tegas mengatakan kalau setuju pernikahannya di percepat, semua orang menghela nafas lega.   Harusnya Roger sudah bisa menebak kalau keputusan yang dimaksud adalah keputusan tentang kelanjutan hubungannya dengan Anna. Namun karena sudah pening lebih dulu, jadilah Roger tidak ingat apapun saat Khris mengatakan kalau papanya akan membuat keputusan. Ternyata ini keputusan yang dimaksud. Kalau boleh jujur, Roger bersyukur sekaligus sedih di waktu ini. Sedih karena Anna pasti tertekan setelah semua yang terjadi. Apalagi Roger tahu betul kalau Anna sangat dekat dengan oma. Seandainya saja waktu Anna main ke Singapura dan Roger bersedia menemuinya sejak beberapa tahun yang lalu, semuanya tidak akan jadi selama ini. Anna tidak perlu menunggunya sampai selama ini.   Namun, Roger memang sengaja memantaskan diri dulu. Dia ingin datang kepada Anna di saat dirinya benar-benar sudah siap dan matang akan segala keputusan dalam hidupnya. Ditambah, Roger juga harus mengurusi perusahaan keluarganya terlebih dahulu. Dia tidak mungkin memberi Anna makan seadanya mengingat kesehatan perempuan itu adalah yang utama.   Meskipun keluarga Anna tidak akan keberatan walau dia tetap bangkrut seperti dulu, tapi Roger yang tidak mau. Dia ingin mempersiapkan yang terbaik untuk orang paling baik pilihannya sendiri. Dia tidak akan membiarkan Anna kekurangan apapun yang terjadi. Karena Roger sehat wal afiat dan bisa mengusahakan yang terbaik versi dirinya. Dia tidak mungkin mengajak anak perempuan seorang laki-laki untuk hidup susah bersamanya sementara di rumahnya sendiri, Anna terbiasa mendapatkan apapun yang perempuan itu inginkan bahkan sebelum mengatakannya, Anna sudah mendapatkan apa yang memang dia inginkan dan butuhkan terlebih daohulu. Roger akan merasa gagal kalau tidak bisa memenuhi itu semua.   "Jadi bagaimana?" Barack Abraham bertanya kalem saat Anna dan Roger sudah kembali dari kamar neneknya. Mereka terlihat tidak berekspresi apa-apa, tapi Barack tahu kalau keputusan sudah digenggam satu sama lain.   Mewakilkan Anna, Roger menjawab dengan begitu percaya diri. "Kami setuju pernikahan dipercepat, Paman. Aku akan menyelesaikan pekerjaan di sini segera agar bisa mengurus pernikahan."   Meskipun mereka juga berat dengan keputusannya mempercepatnya pernikahan ini, tapi mereka rasa ini paling baik untuk keduanya, biar tidak terus-menerus menjalani hubungan jarak jauh. Lagi pula Anna dan Roger sudah sama-sama siap lahir batin. Jadi menunggu apa lagi?   "Syukurlah kalau begitu. Kita percepat dua minggu lagi, ya? Paman sudah meminta orang untuk mengurus dan kau juga harus di Indonesia untuk beberapa waktu, Ger. Banyak yang harus kau lakukan dengan Anna."   Roger mengangguk paham. Jelas mereka harus bersama-sama mengurus pernikahan mereka. Untung saja kondisi tangan Anna sudah mulai membaik meski psikisnya yang membuat kesehatan fisiknya menurun. Namun tak apa, yang terpenting Anna sudah baik-baik saja.   "Ya sudah. Kalau begitu kau bisa lebih cepat menyelesaikan pekerjaanmu di sini. Kami akan kembali ke Indonesia segera."   Lelaki itu menghela nafas perlahan. Lantas orang-orang pamit pergi setelahnya, menyisakan Roger dan Anna sendirian di ruang keluarga itu.   "Kau membuatku panik, Na." kembali lagi, Roger menghela nafas, melirik Anna secara terang-terangan. Mempertanyakan dalam hati kenapa Anna sampai menangis karena pernikahannya dipercepat. Harusnya perempuan itu senang. Kalau tadi kan, Roger jatuhnya langsung berpikir yang tidak-tidak. Lelaki itu berpikir kalau Anna tidak mau hidup bersama dengannya.   "Kakak istirahat, ini sudah dini hari." Anna malah menjawab tapi tidak nyambung dengan topik awal yang Roger bawakan.   Pada akhirnya, Roger memilih pasrah saja, memangnya dia bisa apa, kan? Persetujuan sudah didapat oleh kedua belah pihak. Pernikahan juga dimajukan dua minggu lagi, pusing pusing kepala Roger kalau begini. Dia harus bekerja ekstra agar waktu hari H, otaknya tidak memikirkan berkas-berkas yang menumpuk dalam ruangannya.   "Kau istirahat juga." Roger mengusap tangan Anna pelan. "Aku akan pulang."   "Menginap di sini saja, Kak. Atau kalau Kakak tidak bisa tidur, aku bisa menemani bergadang." Tawar Anna begitu pelan. Masa bodoh pening yang tengah ia rasakan. Anna rasa, bersama Roger di saat-saat seperti ini akan lebih baik daripada dia duduk diam atau rebahan di ranjang dan berpikir yang tidak-tidak.   "Apa sekarang kau yang bisa membaca pikiranku?" lirikan mata penuh makna Roger tunjukkan pada Anna yang tidak berekspresi apa-apa. "Aku memang tidak bisa tidur." Jawabnya jujur.   "Ya sudah, di sini saja. Pergi kalau sudah pagi. Aku juga ingin mengerjakan sesuatu."   "Hm? Mengerjakan apa? Na? Hai? Mau kemana?" Roger berdiri saat Anna pergi lebih dulu. Perempuan itu hanya tersenyum tipis saat menoleh dan Roger yang entah kenapa langsung mengikuti Anna pergi.   Ayolah, mereka sudah dewasa, sudah tahu batasan-batasan yang tidak boleh dilanggar. Roger juga tidak berniat untuk melewati batas yang ada. Hanya saja, masih ada yang mengganjal di benaknya dan Roger sendiri tidak tahu jawabannya itu apa tapi dia tahu kalau satu-satunya orang yang bisa menjawab tanda tanya besar dalam benaknya adalah Anna.   Dalam pikiran paling positifnya sekalipun, Roger sudah menduga kalau tidak akan ada yang terjadi. Tentu saja Anna sangat menjaga diri. Perempuan itu membawanya ke atap. Atap terbuka yang menampilkan view langit dini hari seperti ini. Seperti biasa, pemandangan alam yang sangat Anna kagumi sedari kecil. Perempuan kecil di sebelahnya ini senang sekali melihat langit. Entah lagit pagi, langat siang., malam, sore. Apapun itu Anna menyukainya seperti dia menyukai apapun yang ada pada Roger.   Kalau ditanya, mereka pasti sudah biasa melihat pemandangan indah seperti ini. Hanya saja, pasti aura dan rasanya berbeda saat mereka yang biasa sendiri, sekarang bersama untuk menemani satu sama lain. Waktu liburan hari itu, Anna memang sudah pernah melihat langit malam yang begitu terang bersama Roger. Tapi sekarang, jelas rasanya berbeda karena mereka sadar kalau sebenatr lagi kehidupan mereka tidak akan terfokus pada dirinya masing-masing.   Di detik ini, Anna merasa kalau bukan seperti ini yang seharusnya menjadi sebuah keputusan. Dirinya memang mencintai Roger sebagaimana saat dirinya kecil dulu dan tidak pernah berubah. Bisa bersama dengan Roger kembar adalah mimpi yang tidak pernah Anna sangka akan menjadi kenyataan di kemudian hari.   "Istirahat, Na. Kau kenapa suka sekali mencari penyakit?" Roger berujar pelan dengan tatapan mata yang lurus ke arah langit. Wajahnya tak berekspresi apa-apa, hanya tangannya yang bersedekap d**a seperti menyelimuti dirinya sendiri dari kedinginan yang menyelimuti dini ini.   "Dari tadi aku tidur, jadinya sekarang tidak bisa tidur. Kakak jangan khawatir." Anna menjawab, dengan tatapan mata yang ikut melihat ke arah yang Roger lihat juga. Mereka malah seperti kucing-kucingan setelah sama-sama setuju dengan keputusan pernikahan dipercepat. Harusnya tidak seasing ini setelah pernyataan yang sama-sama keluar dari mulut keduanya. Namun kenyataannya, apa yang menurut mereka bagus di awal, ternyata belum tentu akan baik selanjutnya.   Roger yang semula tepat di samping Anna langsung mendekat dan mendekap tubuh Anna pelan tapi erat. Matanya terpejam rapat menikmati aroma bedak bayi yang menjadi kesukaan Roger di detik dia punya kesempatan untuk memeluk Anna. "Kau memakai parfum apa, Na? Aku suka sekali." Ungkapnya jujur.   Perempuan itu terkekeh geli saat Roger menciumi bahunya. Namun saat sampai leher, Anna menarik kepalanya menjauh dengan tarikan nafas berat--yang saat itu juga langsung membuat Roger meringis. "Maaf."   "Tidak apa-apa, Kak." Anna tersenyum kalem, menenangkan, dengan tangan yang mengusap pelan rahang tegas calon suaminya ini. "Masih kurang dua minggu lagi, setelah itu Kakak bebas melakukan apapun."   Anggukan pelan Roger tunjukkan sebagai bentuk kesadarannya kalau apa yang dikatakan oleh Anna adalah benar. Namun, itu masih dua minggu lagi, masih 14 hari dan masih jutaan detik berikutnya. Untuk ribuan detik yang terlewati, mereka habiskan untuk saling bungkam di atap yang dingin karena desain interiornya yang terbuka.   Roger tidak bisa tertidur sebagaimana dengan Anna yang menghabiskan waktu memandang langit dalam diam. Kalau sedari tadi Roger tidak kalah dengan bisikan-bisikan setan menyesatkan, dia pasti sudah mencium Anna.   Baiklah, biarkan Roger menjelaskan. Dia lelaki normal. Hidup sendiri di negara orang yang terkenal bebas membuatnya pasti tidak asing dengan apa itu s*x. Anna bahkan tidak terkejut kalau Roger pernah melakukannya dengan perempuan lain meskipun saat ditanyai Roger selalu menjawab tidak. But, who knows? Anna bukan Tuhan. Anna juga bukan orang yang tepat dalam menilai suatu kebenaran ataupun kebohongan yang Roger katakan lewat tatapan matanya. Katanya mata tidak bisa berbohong tapi untuk saat ini, Anna memang tidak bisa melihat apa-apa.   Bahkan, kalaupun Roger mengatakan dirinya pernah tidur dengan perempuan lain, lebih dari sekadar ciuman, Anna tidak terkejut sama sekali. Dia juga tidak akan langsung membatalkan pernikahannya begitu saja. Anna punya rencana sendiri tentang pernikahannya kelak. Entah memang semua orang tidak ada yang baik atau memang menyimpulkan tipu saja, jelas Anna tidak sebaik itu.   Kebanyakan lelaki terkadang mempertanyakan keperawanan perempuan lewat selaput darahnya yang robek saat pertama kali melakukan hubungan badan. Banyak yang beranggapan kalau tidak berdarah, bukan perawan lagi. Padahal jelas, medis sudah menjelaskan kalau tidak semua wanita akan mengalami perdarahan saat melakukan hubungan badan karena selaput daranya sobek. Pertama yang harus diketahui, tidak semua perempuan terlahir memiliki selaput dara. Kedua, bentuk selaput dara, yang tebal dan tipis juga memengaruhi. Kalau tipis tentu saja mudah robek, kalau tebal pasti membutuhkan usaha lebih keras. Bahkan ada pasangan yang melakukan hubungan badan sampai tiga kali baru mendapati darah saat berhubungan. Dan yang ketiga kecelakaan. Seperti yang disepelekan orang-orang. Kecelakaan seperti jatuh dari sepeda saja bisa membuat selaput dara sobek.   Jadi sudah seharusnya para lelaki paham akan hal ini terlebih dahulu sebelum menuduh pasangannya yang tidak-tidak.   Di sisi lain, bagaimana para perempuan bisa mengetahui kalau pasangannya sudah tidak perjaka lagi? Bahkan kalau para lelaki berbohong pun dan mengatakan kalau masih perjaka, para perempuan tidak bisa tahu tidak ada tanda fisik yang bisa mereka lihat ataupun rasakan.   Dan itu yang Anna sedang pikirkan sekarang. Entahlah, dia malah berpikiran ke arah sana. Di saat pernikahannya sudah dipercepat dan tinggal dua minggu lagi. Namun, seperti yang sudah Anna katakan, dia tidak akan membatalkan pernikahan ini apapun yang terjadi. Karena sungguh, Anna membutuhkan Roger sedikit lebih lama untuk bisa bertahan hidup di kehidupannya yang sekarang.   Waktu kembali berlalu dan mereka masih saja terdiam dengan mata yang kian terang benderang meski sayu, Roger membuka pembicaraan lagi. "Udaranya dingin, Na. Kau masuk saja, aku akan segera menyusul."   Sedari awal, mereka memang terpisahkan oleh jarak. Dan sekarang, Anna datang untuk memangkas jarak yang ada. Dia mendekat ke arah Roger dan mendekap tubuh atletis itu dari samping, lantas menyandarkan kepalanya di d**a bidang calon suaminya ini tanpa meminta izin terlebih dahulu.   Roger harus mengakui ini. Mungkin hanya pelukan sederhana, tapi lelaki itu merasakan kupu-kupu berterbangan dalam perutnya. "Kenapa, Na? Tumben manja." Lelaki itu merentangkan tangannya, lantas mendekap Anna balik dengan dagu yang menyender di puncak kepala perempuan itu. Bibirnya melengkung tipis, menunjukkan kalau sepertinya Roger senang dengan manjanya Anna.   "Aku tidak manja." Perempuan itu memberi jawaban. "Hanya sedang malas berdiri, Kak."   "Ya?" Roger menyerngit dalam. "Apa kalau kau malas makan akan meminta disuapi olehku nanti?"   "Tergantung." Bisik Anna lirih. "Aku akan melakukan apapun yang aku mau."   Helaan nafas keduanya lantas terdengar satu sama lain. Harusnya tidak ada yang mereka khawatirkan lagi karena pernikahan mereka akan segera dilaksanakan sebentar lagi. Namun tetap ada saja yang membuat pasangan calon suami istri khawatir akan hal-hal besar ataupun kecil sekalipun.   "Kau ini bagaimana? Apa kalau kau malas bernafas yang sudah menjadi kebutuhan seseorang untuk hidup, kau akan berhenti bernafas dan meminta orang lain bernafas untukmu, Na?" Roger menunggu Anna membalasnya. Sayangnya, perempuan itu diam saja sampai akhirnya Roger kembali menghela nafas pasrah dan melanjutkan permata lagi. "Aku akan sering pergi dinas. Kau harus tetap makan nanti meksipun malas. Kau juga harus bernafas seperti yang seharusnya."   Anna tersenyum mendengar perkataan Roger yang menurutnya lucu, entah lucu dari mananya, Anna sendiri yang merasakan juga tidak tahu. "Kakak jangan khawatir. Aku akan hidup dengan baik meskipun Kakak pergi nanti. Kan perginya hanya sementara, jadi tidak apa-apa."   Entah mengapa, mendadak perasaan mereka tidak enak satu sama lain, terutama Roger. Dia sedikit menarik tubuh Anna agar perempuan itu bisa berdiri di depannya sehingga mereka bisa saling tatap satu sama lain. Mata Anna yang teduh dan sayu, juga mata Roger yang tajam dan nanar dipertemukan di bawah cahaya purnama yang begitu menawan. Bintang-bintang yang bertaburan seakan menjadi lampion-lampion cahaya yang menambah sinar di muka bumi.   "I have been waiting you it, Na." Roger bergumam serak seraya menyatukan keningnya dengan kening Anna hingga mereka bisa merasakan getaran satu sama lain. Embusan nafas dan terasa berat, juga terasa saling berkejaran.   Dengan gerakan pelan, Roger mempererat rengkuhannya hingga Anna bisa mendengar detakan yang begitu cepat dan menenangkan. Perempuan itu tertawa dalam diam, lantas mendongak melihat ke arah Roger, kemudian tersenyum tipis. "Kita harus berhenti sekarang, Kak."   Hanya gumaman yang Roger berikan sebagai balasan. Lelaki itu menarik Anna dalam dekapannya lagi, lantas mencium bahu Anna yang terasa beku di bibirmu. "Kau kedinginan."   Anna menggeleng, sayangnya, Roger lebih dulu memeluknya erat sekali yang membuat Anna sampai menahan nafas bukan main. Dia bisa merasakan sesuatu yang keras di bawah sana.   "Kak?" perempuan itu berupaya mendorong tubuh Roger menjauh. Kalau Anna diam saja, bisa jadi hal-hal yang tidak diinginkan dan Roger juga tidak mau kalau hal seperti itu sampai terjadi. Anna adalah perempuan spesial dalam hidupnya. Dia juga harus memperlakukan Anna sespesial itu.   "Sebentar." Roger menarik nafas berat, mencium dalam-dalam aroma tubuh Anna sebelum akhirnya meringis dengan mata terpejam rapat. "Oh s**t!" makinya pada diri sendiri.   Anna bukan anak kecil yang tidak mengerti bahasa tubuh yang tengah Roger lakukan. Perempuan itu tahu kalau lelaki ini dalam keadaan turn on. Tapi apapun itu, Anna jelas tidak akan memberikan apa yang memang bukan milik Roger.   Sementara Roger masih menunduk dalam dengan kedua tangan yang bertumpu pada kedua bahu Anna erat, meremasnya. "Aku pamit sebentar."   Anna hanya bisa meratapi kepergian Roger dalam diam. Dia jadi ikut meringis melihat wajah Roger yang begitu tersiksa. Anna saja tidak menyangka kalau berpelukan dan sedikit ciuman seperti tadi bisa membuat adik Roger terbangun. Bagaimana kalau mereka menikah nanti yang pastinya sudah bebas melakukan apapun? Membayangkannya saja Anna merinding. Dia pasti harus menyiapkan mental dan fisiknya.   Sadar kalau pikirannya mulai kemana-mana, Anna menggeleng pelan dan kembali menikmati langit seperti hari-hari sebelumnya, seperti saat Roger tidak ada di sisinya seperti sekarang ini.    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD