Tiba di rumah.
Nysa ke luar dari mobil, sedang Aryan tidak ke luar, ia kembali menjalankan mobilnya. Aryan kembali ke kantor.
"Bagaimana?"
Andin menyambut Nysa di ruang tengah.
"Bu, Mbak Rosa artis itu mantan istri Pak Aryan, atau pacarnya?" Tanya Nysa tanpa menjawab pertanyaan Andin.
"Rosa?" Mata Andin yang menatap Nysa melebar.
"Iya." Kepala Nysa mengangguk.
"Duduk dulu." Andin menunjuk sofa.
Andin duduk, Nysa juga duduk.
"Kamu bertemu Rosa di mana?" Tanya Andin penasaran.
"Di kantor Pak Aryan," jawab Nysa.
"Apa yang dia katakan?"
Tatapan lembut Andin tertuju pada Nysa.
"Dia menghina saya. Dia bertanya saya dibayar Tuan Hanan berapa. Ternyata dia tidak sebaik yang saya pikirkan."
Nysa menghembuskan nafas, untuk mengurai rasa kecewa di dalam hatinya. Artis yang menjadi idolanya, ternyata tak sebaik di layar kaca.
"Rosa bicara apa lagi?" Andin semakin penasaran.
"Dia mengatakan, Pak Aryan itu miliknya. Karena itu saya bingung. Dia itu mantan istri, atau pacar Pak Aryan," jawab Nysa.
Andin menarik nafas, lalu ia hembuskan. Andin menyandarkan punggungnya.
"Dia mantan istri Aryan," sahut Andin lirih.
"Jadi ... jadi gosip yang beredar tentang Mbak Rosa sudah menikah itu benar?"
Mata Nysa menatap Andin dengan sorot penasaran. Kepala Andin mengangguk.
"Ya Tuhan, kenapa pernikahan mereka harus disembunyikan, Bu. Pak Aryan gagah, ganteng, kaya, sempurna, tak ada cela, meski sedikit bawel. Kenapa Mbak Rosa malu memperkenalkan Pak Aryan sebagai suaminya?" Nysa terheran-heran.
"Bukan malu. Tapi dia ingin tetap eksis. Gosip yang beredar menjadi kontroversi, menjadi sensasi. Dia bisa diundang ke acara ini, ke acara itu. Namanya terus disebut di tabloid ini, tabloid itu, di berita on line ini, berita on line itu."
Andin menarik nafas sesaat, lalu melanjutkan.
"Kalau pernikahannya dibeberkan, tentu rasa penasaran pencari berita akan cepat terpuaskan. Kalau menggantung begini, namanya bisa tetap eksis." Andin menjelaskan alasan Rosa yang tetap ingin menyembunyikan pernikahan, pasca kontrak sebagai brand ambassador berakhir.
"Bukankan Mbak Rosa sudah sangat eksis sebagai pemain sinetron. Masa harus menciptakan sensasi lagi agar jadi berita."
"Pemikiran Rosa tidak sama dengan pemikiran kita. Mereka harus putar otak, bagaimana caranya agar terus bertahan. Dan, harus tetap menjadi bahan pembicaraan."
"Demi eksistensi ya, Bu."
"Ya, begitulah. Tapi kamu jangan berkecil hati. Apapun yang Rosa katakan, statusnya sudah mantan istri. Tidak mudah memang meraih hati Aryan. Tapi, kamu harus yakin, kalau kamu pasti bisa." Andin memberi semangat pada Nysa.
"Saya akan berusaha untuk itu, Bu." Nysa berjanji pada Andin.
"Bagus! Kamu sudah makan?"
"Sudah, di kantor tadi."
"Dengan Aryan?"
"Tidak, Pak Aryan meeting, jadi dia meminta OB membelikan saya makan." Cerita Nysa.
"Apa Aryan tahu, kalau Rosa menemuimu?" tanya Andin.
"Tahu, dia marah sama saya, entah apa yang dikatakan Mbak Rosa padanya." Rasa kesal pada Rosa kembali muncul di dalam hati Nysa.
"Abaikan saja, Aryan tidak akan berani macam-nacam sama kamu. Dia takut dengan Mas Hanan." Andin memberi jaminan pada Nysa.
"Iya, Bu. Saya permisi ke kamar saya dulu, Bu."
"Iya, saya juga harus kembali ke kantor. Mas Hanan kurang enak badan, jadi tadi saya antar pulang."
"Beliau sakit? Boleh saya menemui beliau?" Tanya Nysa.
"Mas Hanan baru saja istirahat, setelah diperiksa dokter. Nanti sore saja kamu tengok dia ya." Andin tersenyum.
"Baik, Bu. Saya permisi ke kamar saya."
"Silakan, Nysa."
Nysa melangkah meninggalkan Andin dengan perasaan berkecamuk. Baru sehari di Jakarta, sudah banyak hal yang ia rasa.
'Ya Allah, aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku juga tidak tahu kenapa aku yang dipilih Tuan Hanan, untuk menaklukan hati Pak Aryan. Apa aku bisa? Sedang Mbak Rosa lebih segalanya. Bagaimana kalau aku yang tergila-gila pada Pak Aryan, sedang Pak Aryan hatinya tak tersentuh oleh perasaan cinta. Oh ... Nysa, sejak kapan kamu jadi orang pesimis. Kamu pasti bisa!'
"Optimis. Aku pasti bisa!"
*
Beberapa hari ini, Nysa tidak melihat Aryan ada di rumah itu. Ia juga tidak bertanya, karena ia tahu, kalau Aryan memiliki rumah sendiri.
Hari ini, mereka harus kembali mencoba busana pengantin, sebelum akad nikah dilakukan. Untuk akad akan dilakukan secepat yang bisa. Sedang resepsi akan dilakukan empat bulan setelah akad berlangsung.
Aryan menjemput Nysa di rumah Tuan Hanan. Sejak hari itu, mereka tak pernah bertemu. Dan, itu dua Minggu lalu.
Aryan menunggu Nysa di dalam mobil, ia tidak ke luar dari dalam mobilnya yang terparkir di halaman.
Nysa berpamitan pada Tuan Hanan, dan Andin. Lalu ia melangkah ke luar rumah sendirian. Nysa tidak lagi memakai pakaian yang ia bawa dari kampung. Andin sudah membawakan Nysa pakaian baru. Sendal, dan sepatu baru, juga tas baru. Dan, dalam beberapa waktu ini, Nysa sudah menjalani berbagai perawatan, dari ujung kaki, hingga ujung rambutnya.
Kulit Nysa yang pada dasarnya kuning langsat, menjadi terlihat cerah. Wajahnya terlihat bercahaya. Rambut panjangnya yang sudah mendapatkan perawatan terlihat semakin hitam, dan indah, persis seperti rambut wanita di iklan shampoo.
Dengan percaya diri, sesuai arahan Andin, Nysa menemui Aryan. Saat tiba di dekat mobil Aryan, pintu mobil dibukakan oleh pegawai pria di rumah Tuan Hanan. Nysa masuk ke dalam mobil. Aryan meletakan ponsel yang tadi dipegangnya. Tanpa menoleh pada Nysa, Aryan menjalankan mobilnya. Meninggalkan halaman rumah Tuan Hanan. Nysa diam saja, tatapannya dilayangkan ke luar jendela.
Ia menahan mulutnya untuk tidak bicara. Ia belajar untuk tidak terlalu ceriwis di depan Aryan. Saat di lampu merah, Aryan menolehkan kepala, merasakan sikap Nysa yang tidak seperti saat mereka berdua pergi bersama. Kening Aryan berkerut, melihat penampilan Nysa yang berbeda.
"Habis berapa duit, Mas Hanan, merubah kamu menjadi seperti ini?" Tanya Arya. Nysa menolehkan kepala, untuk menatap wajah Aryan. Kening Aryan terangkat, saat melihat perubahan nyata pada wajah Nysa, bukan hanya pada penampilan, dan kulit lengannya yang lebih putih dari sebelumnya.
"Ada apa bertanya? Mau mengganti uang yang Tuan Hanan keluarkan untuk saya?"
"Kamu sedang datang bulan ya? Ditanya baik-baik jawabanmu begitu!"
Aryan jadi kesal dengan Nysa, karena pertanyaannya tidak mendapatkan jawaban.
"Baik-baik darimana, apa Bapak tidak sadar, nada suara Bapak itu mengandung pelecehan!"
"Ya sudah kalau tidak mau menjawab, aku malas berdebat denganmu."
Aryan kembali konsentrasi menyetir, meski hatinya merasa kesal luar biasa pada Nysa. Sepanjang perjalanan, tidak ada lagi di antara mereka yang bicara.
Mereka tiba di butik Bunda Dia.
Hal yang sangat mengejutkan bagi mereka berdua adalah ....
*