Lima - Hujan

1757 Words
             Lima - Hujan                      ***         Selamat membaca.                     ***         Terkadang, apa yang kita rencanakan memang tidak sejalan dengan apa yang terjadi, tapi, bukan kah hidup sudah ada yang merencakan, dan dia adalah yang maha perencana.                     ---             Kassandra merasakan hawa yang tidak enak, ketegangan itu bukan lah kasat mata, semua mata dan mulut bebisik dan menatap Kassandra dengan aneh. Hembusan napas Kassandra pun mengisi jalannya sepanjang koridor menuju toilet sekolah barunya itu. Kassandra merasa tidak nyamanenak, ternyata hidup Kevand tak seasik yang Kassandra yakini, tak seasik yang bola matanya lihat.             Dari kejadian tadi Kassandra tahu hidup Kevand itu ribet, terlebih laki-laki itu terlalu tampan, lebih tepatnya manis menurut Kassandra. Langkah Kassandra berhenti, ia menatap cermin yang ada di depannya, mencuci tangannya di westafel dan menghembuskan napasnya untuk yang kesekian kalinya, perempuan itu mencoba untuk membuang segala perasaan yang tidak nyaman di hatinya, di dadanya.             "Yang tadi ngomong sama si cewek itu siapa?" Tanya Kassandra saat Elfia keluar dari dalam salah satu bilik toilet.             Elfia mengangkat wajahnya saat awal mula tatapan perempuan itu mengarah ke bawah. "Yang nyuruh Kevand ke ruangan OSIS tadi Mikha, yang ngatain Mikha tadi Nada temen dekatnya Kevand."             Oh, Nada temen dekatnya Kevand, Kassandra memang merasakan hal-hal aneh saat awal mula tatapan Mikha kepadanya perempuan itu takut, ia benar-benar ingin pindah ke sekolah ini dengan niatan menuntut ilmu, bukan mencari musuh. Cukup sudah kenanganan Kassandra di sekolah lama yang melukai hatinya, Kassandra harap di sekolahnya yang baru Kassandra merasakan benar-benar hidup, Kassandra ingin sekolah barunya ini berjalan dengan baik, berjalan dengan normal, terjerat masalah apa pun itu di sekolah benar-benar tidak nyaman, kita tidak akan bisa berkosentrasi dalam berlajar, terkadang, masalah yang ada memang harus diselesaikan, dan untuk saat ini Kassandra sama sekali tidak berniat untuk mencari masalah atau memulai masalah dengan sekolah barunya ini.             Bel pelajaran terakhir berbunyi nyaring, pertanda dua jam lagi Kassandra akan pulang, pertanda hari pertama Kassandra sebagai murid baru akaxn selesai, semudah ini ternyata. Kassandra kembali berjalan cepat saat Elfia teman sebangkunya berjalan terlebih dahulu, meninggalkan Kassandra di dalam toilet putri.             "El, kantin di sini selain yang tadi kita kunjungi ada lagi nggak? Terus lo ikut Ekstrakurikuler apa? Biar gue juga ikutan." Kassandra kembali mengulik informasi dengan Elfia.             Elfia menoleh kearah Kassandra lalu berucap, "Ada, di belakang, tapi gue jarang ke sana, biasanya di sana banyak orang, gue nggak suka, gue nggak ikut apa-apa."             Kassandra menoleh kearah Elfia, lalu hatinya bercicit, "memang di sekolah ini boleh ya nggak ikut Ekstrakurikuler apa-apa?" Kassandra kembali diam setelah menatao Elfia dan berbicara sendiri di dalam hatinya itu, Elfia memang pendiam ya? Soalnya dari tadi Kassandra mulu yang buka pembicaraan, kayak ngomong sama gebetan yang enggak respec sama kita.             Kassandra melihat sekitar, mendung, awan yang tadi begitu cerah benar-benar tertutup oleh awan yang berwarna hitam sekarang, air-air pun mulai berjatuhan sedikit demi sedikit, hanya gerimis, tapi itu mengundang luka yang sempat Kassandra mulai lupakan, yang sekuat tenaga Kassandra lupakan, luka itu, luka yang benar-benar perih selama hidup Kassandra dapatkan. Kassandra tersenyum getir, bahkan raut wajahnya mulai berubah saat ia melewati taman yang tidak beratap untuk menuju kelasnya, tubuh Kassandra rasanya kaku terkena air itu, bayangan itu kembali muncul, tanpa tahu bagaimana susahnya Kassandra melupakannya, tidak, Kassandra tidak ingin tubuhnya menggil kedingan seperti ini, tapi Kassandra juga tidak bisa menahan ini semua, melupakan ini semua.             Elfia terlihat menoleh saat merasakan Kassandra tak ada di sampingnya, perempuan itu pun kembali, menyadarkan Kassandra agar segera ke kelasnya.             "Oh oke," kata Kassandra perempuan itu tidak berlari pelan, perempuan itu benar-benar melangkahkan kakinya dengan lebar, agar menerobos air yang turun dari langit itu. Dengan napas yang lumayan tidak teratur Kassandra dan Elfia masuk kembali ke kelasnya, dengan rambut Kasandra terlihat basah.             "Lo cepet lari? Kenapa enggakmasuk Ekstrakurikuler lari aja?" Kata Elfia, perempuan itu menatap Kassandra dengan raut wajah yang tidak berubah sedari Kassandra pertama kali masuk dan duduk di sampingnya.             Kassandra menatap Elfia, yang bersamaan dengan Elfia masuk ke dalam kelas yang belum datang gurunnya itu, ia hanya terdiam, Kassandra hanya membetulkan detak jantungnya karena tubuhnya tengah terkena guyuran hujan yang membawa beribu kenangan buruk, menyeruak kembali ke permukaan hati Kassandra.             "Gimana?" Kata Elfia saat dirinya sudah duduk di kursinya, sedari tadi Elfia benar-benar menunggu jawaban Kassandra.             "Boleh tuh, gue juga dulu ikut kegiatan lari kok," jawab Kassandra akhirnya.             "Bagus," jawab Elfia, Elfia kembali mengambil buku yang ada di dalam tasnya, ia mendongkak ke arah depan saat suara Kevand terdengar di depan sana.             "Guys ada kabar buruk sekaligus kabar baik.” Ucap Kevand saat sudah sampai di depan kelasnya. “Ibu Tari nggak masuk, beliau sakit, tapi ada tugas, ngerangkum." Kevand di depan sana berucap, memberikan kabar buruk sekaligus kabar baik, dan Elfia sendiri tidak tahu mana kabar buruk dan kabar baik, karena bagi Elfia, dua duanya adalah kabar buruk, sama sekali tidak ada kabar baiknya.             "Yaelah."             "Haduh."             "Ada catatan? seriusan? enggak boong?" sambut yang lainnya.             "Ngerakum? ngecatat dong?" Tanya Nada yang tepat duduk di depan Kevand, karena sungguh perempuan itu benar-benar duduk di deretan barisan nomor dua dari pintu masuk, dan duduk di deretan pertama.             "Yoi," jawab Kevand, lalu laki-laki itu pun berjalan ke belakang, berjalan menuju cermin kelas berada, dan membenarkan jambulnya yang basah karena guyuran air hujan. Setelah melihat jambulnya sudah bagus kembali, ia pun berjalan ke arah kursinya, berniat untuk mengerjakan tugas dari Ibu Tari.             Ia menatap kearah Kassandra yang tengah berbagi buku dengan Elfia, lalu menarik lembut tangan Kassandra untuk berdiri, tanpa suara sebelumnya.             "Eh ayam," latah Kassandra perempuan itu menutup mulunya melihat Kevand yang tengah berada di depannya sambil menahan tawanya, tangan laki-laki itu memegang tangannya tanpa permisi, jelas saja membuat Kassandra yang lagi fokus terhadap bukunya mendadak terkejut dengan tingkah laku laki-laki itu.             Kevand terkekeh, lalu berdehem melihat ekpresi yang tidak enak dari Kassandra karena tawanya, sepertinya perempuan ini pemarah menurut Kevand, atau suka ngambek, mungkin dia akan menjadi lawan ngambek Nada, teman kecilnya. Iya! Nada, temen kecilnya itu benar-benar perempuan yang suka ngambek, jadi Kevand tidak akan masalah untuk menghadapi Kassandra yang juga suka nganbek, karena Kevand sudah terlatih menghadapi perempuan seperti iti. Kevand tersenyun lebar mendapati tatapan dari beberapa temannya yang terkejut dengan latahnya Kassandra itu. Kevand menangkup telinga Kassanda sebelah kiri, lalu membisikan sesuatu. "Lo belum ada buku peket kan? Kita ke perpus sekarang yuk, tanpa ada batahan." Kevand berbisik, dan setelahnya laki-laki itu tersenyum manis, menampilkan raut wajah yang kini mulai menghiasi hari-hari Kassandra di sekolah barunya.             Lengan kiri Kassandra kini benar-benar ditarik paksa oleh Kevand, perempuan itu pun hanya diam membiarkan Kevand dengan semaunya memperlakukan Kassandra.             Tatapan mata Mikha pun tetap mengikuti lengan Kevand yang bertautan dengan jelas dengan lengan Kassandra, perempuan itu hanya menarik napas dan mencoba mentidak pedulikan kejadian yang ada di depannya itu, Mikha mencoba iklas, pasti, Mikha pasti bisa menghadapi ini semua.             "Kev, engga ada jalan selain nerobos hujan ya?" tanya Kassandra sepanjang koridor yang mereka lewati.             "Ada, cuman lewat belakang ruangan guru, gue males, nanti kita dikira bolos." Kevand melepaskan genggaman tangannya kepada Kassandra, ia tahu betul ini masih di lingkungan sekolah, jadi rasanya tidak etis saja pegang-pegangan tangan di sekolah. Ia berlari, begitu juga dengan Kassandra perempuan itu pun kembali berlari gara-gara Kevand yang mengajaknya untuk menorobos hujan.             "Kass ... lo cepet banget larinya." Kevand berkomentar saat mereka sudah sampai di koridor kelas yang kembali beratap, menghalangi tetesan air  hujan mengenai badan mereka.             "Yakan gue suka lari," jawab Kassadra. "Oh iya, gue mau masuk Ekstrakurikuler lari dong, ketua OSIS." Kassandra berucap, sambil memamerkan senyum meledeknya kepada Kevand, Kassandra juga menekankan kata di ‘ketua OSIS.’             Kevand menganggukan kepala antusias, iya, ia selaku ketua Eksteakurikuler lari tidak akan menolak perempuan seperti Kassandra yang terbilang cukup cepat dalam larinya. "Yaudah kapan mau masuk? Besok gue kasih formulirnya, biasanya kegiatan lari itu latihannya hari rabu, terus klo rajin hari minggu biasanya kita joging di taman kota gitu."             Kassandra menganggukan kepala paham, hanya menganggukan kepala, tanpa berniat merespon apa yang dikatakan Kevand, hingga laki-laki itu sampai di depan perpustakaan dan masuk, berniat mengambil buku paket untuk Kassandra yang dipinjamkan oleh sekolah, sedangkan Kassandra kembali menatap air hujan yang turun begitu saja di depannya.             Hujan yang turun sedikit demi sedikit itu pun juga ikut turun di pipi putih Kassandra, hingga perempuan itu tak sadar ada satu tangan yang mencoba menggengam tangannya yang berada di samping tubuhnya.             "Lo lagi galau? Keinget mantan?" tanya Kevand, tanpa ekpresi yang pasti di wajahnya sambil menatap Kassandra dengan lekat.             Kassandra dengan cepat menghapus air matanya mendengar pertanyaan yang didapatkannya dari Kevand. Kasaandra menggeleng, ia memilih berjalan lebih dulu, meninggalkan Kevand di belakangnya dengan buku yang ia peluk.             "Di sekolah ini ada peraturan enggak boleh nangis Kass," tegur Kevand yang berjalan di belakang Kassandra, laki-laki itu tak mau berjalan di sisi Kassandra, karena Kevand tahu Kassandra masih belum selesai menangis, air mata perempuan itu masih saja menetes di pipinya, dan Kevand tidak ingin menggangu Kassandra saat ini, tapi Kevand juga tidak ingin meninggalkan Kassandra sendirian, membiarkan perempuan itu menangis sendirian.             Kassandra diam ia tidak mau menyahuti perkataan Kevand dengan suaranya yang masih bergetar.             "Terlebih buat cewek seperti lo, mana Kassandra yang gue kenal kemarin? Baru juga sehari masa sudah berubah jadi cengeng,” lanjut Kevand. “Tapi, apa lo memang cengeng?” Tanya Kevand memastikan.             Kassandra diam di tempat, diikuti dengan Kevand yang juga diam di tempatnya, ia melihat Kassandra yang mengangkat kepalanya menatap ke atas langit-lagit atap koridor, masih membelakangi laki-laki itu, Kassandra benar-benar mencoba mendengarkan apa yang dikatakan Kevand, ia tidak boleh menangis, tapi, hujan kali ini benar-benar menyayat hatinya, benar-benar mematahkan hatinya, membuat remuk seluruh isi di d**a Kassandra.             "Jangan nangis, apalagi buat hal yang nggak penting, jangan buang air mata lo untuk hal yang sia-sia, kalau nangis buat nangisin gue aja, lebih berfaedah yakan Tuan Putri?" Kevand kembali berucap, merasa Kassandra yang sudah lebih tenang.             Kassandra akhirnya merespon Kevand dengan terkekeh, senyum yang ingin ia lukis terlihat samar-samar di bibirnya, matanya yang memerah dan air mata yang berada di dalam bola mata itu menandakan bahwa perempuan itu menyimpan luka yang dalam mungkin amat dalam.             Kevand tersenyum lalu menganggukan kepala, meletakan telapak tangannya ke atas kepala Kassandra dan mengatakan, "Jangan nangis lagi, jangan nangis lagi, kalau nangis nangisin gue aja, nangisin gue aja." Kevand seolah membaca mantara sambil mengelus kepala Kassandra, mungkin terlihat seperti ia tengah bercanda, tapi, kali ini, Kevand benar-benar sedang berdo’a, Kevand tidak ingin melihat perempuan yang baru ia kenal itu menangis.             Kassandra semakin terkekeh dengan apa yang diperbuat laki-laki di hadapannya tanpa sadar Kassandra memohon, Kassandra berdo'a dalam hatinya, agar laki-laki ini, laki-laki yang ia kenal baru dua puluh empat jam ini, menjadi laki-laki yang selalu ada dalam tangis dan tawa Kassandra, semoga saja.                                                                                                    ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD