7

644 Words
Kamu berani bicara seperti itu lagi, aku tak akan memberi ampun!" Tatap Kak Dewa tajam, terlihat sekali tak ingin dibantah. Aku tersenyum sinis, sok berani walau sebenarnya takut setengah mati. Ia memandangku lantas meraih kertas, membacanya sambil tersenyum penuh kemenangan dan sesekali mengangguk-anggukkan kepala, membuat rambut sebahunya yang tergerai bergerak-gerak. Aku tersentak saat tiba-tiba ia meraih tanganku lalu menggenggamkan cek ke telapak tangan. "Untukmu, Baby." Aku terdiam. Menatap cek di tangan dengan pandangan tak percaya karena nominalnya begitu banyak. "Kenapa? Kamu butuh uang, kan, Baby? Berikan mamamu agar ia senang." Tatapan itu begitu merendahkan, membuat jantungku bagai diremas kuat. Sabar, Tari. Ini konsekwensi menikah beda kasta. Karena kamu menikah dengannya semata-mata demi harta. Di matanya, kamu hanya boneka. Yang akan dibuang setelah bosan. Sabar. Tangis karena ulahnya hanyalah kesia-siaan. Jangan menangis, senyum saja. Senyum, Tari. "Kenapa kamu tersenyum sendiri? Kamu suka kuberi uang begitu banyak?" Kak Dewa memandangku cukup lama, sesekali mengerutkan kening. Entah apa yang dipikirkan makhluk gila ini. Untuk membuatnya kesal, aku mengangguk. "Karena memang pernikahan kita ada semata-mata karena uang, Kak." Kamu munafik, Tari. Bukan semata-mata karena uang, tapi aku sungguh-sungguh dengan pernikahan kita. Tapi daripada diolok terus, lebih baik mengatakan ini. Lelah selalu diam, merasakan sakit hati sendirian. Kalau begini kan impas. "Asal kamu menuruti keinginanku, berapa pun uang yang kamu mau, pasti kuberikan padamu, Sayang. Dan asal kamu tahu, aku tak butuh uang itu. Yang kubutuhkan hanya ini. Lalu aku akan mendapatkan Puspita tercinta." Ditatapnya surat tanda jadi itu. Lelaki gila. Gila. Aku terus merutuk dalam hati dengan tangan terkepal di sisi tubuh. Iiiih. Ingin rasanya kutonjok-tonjok wajahnya. Tapi yang terus kulakukan hanyalah mengepalkan tangan dengan kuat hingga kukuku terasa menusuk kulit menimbulkan nyeri. "Kenapa, Baby? Kamu tampak kesal. Apa lelaki tadi menyakitimu?" Ia menatap ke arah dadaku yang membuatku melotot kesal. Kamu kelewat berani, Tari. Bagimana kalau karena ulahku, lantas ia membuat mama menderita? "Apa dia kasar saat memakaimu?" Seolah aku kain saja dipakai. Lawan, Tari! Jangan jadi lemah. Ingat pesan Rendi, kamu bukan mainan. Jangan mau tertindas. Lawan! "Lelaki yang bersamaku tadi, dia sangat baik. Memberiku tips lumayan banyak, membuatku sangat senang." Kak Dewa yang kini mulai mengemudi, menoleh. Matanya sedikit terpicing. Terserah kalau ia tak percaya. Aku hanya ingin memanas-manasi, sekaligus meluapkan kekesalan. Kalau dadaku panas ingin meledak karena sikapnya, maka ia harus merasakan hal yang sama. Maka aku pun melanjutkan, "Ia memberiku uang tunai 5 juta. Bukankah ia sangat royal, Tuan?" Aku menatapnya dengan senyum tersungging di bibir. Ia langsung menatap ke arah tanganku yang saling meremas, pertanda aku gugup. "Mana lima juta tunainya?" Aku tersentak. Benar juga. Ingin rasanya kutepuk jidat saat ia menggelengkan kepala dengan tatapan merendahkan. Sepanjang jalan menuju rumah sungguh membosanku. Puspita terus yang ia gaung-gaungkan. Aku yang bosan juga bete, dengan sengaja sesekali membekap mulut dan menguap. Begitu sampai, kami langsung turun. Langkah Kak Dewa berhenti saat melihat ayah di ambang pintu. Lelaki tua itu berkacak pinggang, menatapku cukup lama lalu dengan gerakan tak disangka-sangka mencengkeram kerah baju Kak Dewa, tangannya melayang cepat ke wajah anak satu-satunya itu. Mama berlari mendekat sambil menjerit-jerit. "Lepaskan Papa! Dewa anak kita!" "Apa yang kamu lakukan pada Tari sehingga dia berpakaian seperti ini?!" Ayah menunjuk ke arahku dengan wajah merah padam. "Tak melakukan apa-apa. Aku hanya ingin mendandaninya saja. Iya kan, Baby?" Aku tak menyahut, hanya memasang wajah sedih. "Perlakukan istrimu dengan baik, Wa. Ingat kamu, Puspita itu istri temanmu!" Tatapan ayah begitu tajam. "Aku sudah tak memikirkan Puspita. Aku sudah move on darinya. Bukankah istriku sangat cantik? Mata takkan kusia-siakan." Ingin rasanya meludah. Munafik. "Ayo sayang, lebih baik kita tidur. Bukankah kamu lelah?" tanyanya sambil merangkulku, mengajakku menaiki tangga. Kulihat ayah mendongak ke atas memperhatikan kami. Yang mau baca masa lalu Tari, kalian bisa membacanya di cerbung, Terpaksa Nikah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD