Ke Rumah Harun

2101 Words
Harun dan Nadya berusaha untuk menyadarkan Yumna. Mereka mencari minyak kayu putih atau apa pun yang bisa digunakan untuk menyadarkan gadis itu. Sepuluh menit berselang, Yumna pun akhirnya sadar. “Yumna, syukurlah kamu sudah sadar,” ucap Nadya. “Pergi kalian, tinggalkan aku di sini sendiri!” lirih Yumna. “Tapi, Nak …,” ucap Harun namun Nadya segera memegang lembut bahu suaminya, menyuruh Harun diam. “Yumna, kalau kamu mau, mari ikut dengan tante dan om ke Padang. Kami ini juga adalah keluarga kamu’kan?” ucap Nadya. “Aku tidak butuh kalian berdua, pergi!!” “Oke, baiklah … Tante akan memberi kamu waktu selama lima belas menit. Kami akan menunggu kamu di parkiran. Kalau kamu mau ikut dengan kami, maka susul kami ke sana. Yumna, kamu sudah dewasa, kamu pasti paham apa yang terbaik untuk kamu,” ucap Harun. Yumna hanya diam saja seraya membuang muka. Melihat sikap Yumna, Harun pun mengajak Nadya keluar dari masjid. Ia akan menunggu Yumna di dalam mobil. “Bang, kamu yakin Yumna akan baik-baik saja di sini? Kamu lihat sendiri tadi bagaimana perlakuan keluarganya kepadanya,” ucap Nadya sesampainya di dalam mobil. “Aku tidak tahu, tapi kita lihat saja.” Harun berusaha untuk tenang. Ia terus memerhatikan pintu masjid, berharap Yumna keluar dan menyusul dirinya. Tidak lama, Yumna pun keluar. Namun gadis itu tidak berjalan menuju mobil Harun, melainkan berjalan menuju pagar. Baru sesaat ia berdiri di sana, lalu Yumna pun berjalan mendekati mobil Harun. “Bang, Yumna ke sini,” ucap Nadya. “Iya, abang akan keluar. Kamu tunggu saja di sini.” Nadya mengangguk. Harun keluar dari mobil dan menunggu Yumna mendekat. “Bisa tolong anta raku ke rumah? Aku tidak punya uang untuk pulang. Tas, dompet dan ponselku tertinggal di rumah,” ucap Yumna. Harun mengangguk, “Tentu saja, Nak. Silahkan masuk, om akan mengantar kamu pulang.” Harun membukakan pintu penumpang bagian tengah untuk Yumna. “Terima kasih,” lirih Yumna. Yumna masuk ke dalam mobil. Nadya menyapanya dengan ramah, namun sikap Yumna masih saja dingin. Ia bahkan tidak membalas sapaan Nadya. Nadya hanya bisa menghela napas, mencoba mengerti dengan keadaan Yumna dan tidak sakit hati dengan sikap tidak sopan gadis itu. Beberapa menit berselang, mereka pun sampai di rumah Harun. Yumna keluar begitu saja dari mobil, tanpa mengucapkan terima kasih. “Yumna, tunggu!” ucap Harun. “Apa lagi, Om?” tanya Yumna seraya membalik tubuhnya. Harun mengambil selembar kertas dari dalam dompetnya, lalu memberikan kertas itu pada Yumna, “Ini kartu nama om. Om akan tunggu sampai besok siang. Kalau kamu berubah pikiran dan ingin ikut dengan om ke Padang, hubungi saja om. Besok siang, om akan kembali ke Padang.” Yumna menerima kartu nama itu, “Terima kasih sudah mengantarku,” lirih Yumna. Gadis itu pun berlalu masuk ke dalam rumahnya. Nadya dan Harun pun segera pergi dari tempat itu karena tidak ingin membuat keributan di sana. Adam pasti akan sangat marah kalau tahu Harun dan Nadya ada di sana. Detik demi detik pun berlalu. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam dan kini Harun serta Nadya sedang merenung di dalam sebuah kamar hotel. Mereka berdua sama-sama memikirkan bagaimana nasib Yumna saat ini. “Bang, apa Yumna baik-baik saja?” tanya Nadya. “Entahlah, Sayang … Abang juga kepikiran terus. Abang tidak tahu apakah jalan yang kita ambil ini adalah langkah yang benar atau salah, yang pasti Yumna sudah terluka olehnya.” “Yumna akan semakin terluka jika ia terlambat mengetahuinya.” Harun mengangguk. Namun tiba-tiba ia dikejutkan oleh dering ponsel miliknya. Ada sebuah panggilan suara dari nomor yang tidak ia kenal. Harun segera mengangkatnya. Ternyata yang menghubungi Harun adalah Yumna. Gadis itu ingin bertemu dengan Harun dan Nadya. Harun dengan senyum sumringah, menyanggupi permintaan Yumna. Mereka pun bertemu di sebuah restoran tidak jauh dari hotel tidak jauh dari tempat Yumna menginap. Harun dan Nadya sangat senang Ketika melihat Yumna dating menghampiri mereka. “Selamat malam, Om, Tante …,” sapa Yumna. Gadis itu menyalami Harun dan Nadya. “Selamat malam, Yumna. Silahkan duduk. Mau pesan apa?” tanya Harun seraya memberikan buku menu pada Yumna. “Aku minum aja, Om.” Harun mengangguk. Ia panggil seorang pramusaji lalu meminta sang pramusaji menyiapkan minuman pesanan Yumna. “Jadi bagaimana? Apa kamu bersedia ikut dengan om dan tante ke Padang?” “Iya, tapi hanya untuk sementara sampai aku dapatkan pekerjaan di sana. Aku tidak mau lagi tinggal di sini. Semua orang sudah membenciku, mereka membuangku begitu saja. Alex dan keluarganya pun sudah tidak mau lagi menerimaku. Aku seperti sampah di mata mereka semua.” Yumna menunduk, ia terisak. Nadya membelai punggung tangan Yumna, “Nak, jangan bicara seperti itu. Om dan tante ini adalah keluarga kamu juga. Kamu boleh tinggal dengan kami sampai kapan pun. Tante yakin, anak-anak tante pasti akan senang dan pasti akan menyukai kamu.” “Setelah merenung panjang, aku putuskan untuk pergi dari kota ini. Kota ini sangat buruk bagiku. Maaf kalau aku sudah merepotkan kalian berdua.” “Kami berdua tidak pernah merasa direpotkan oleh kamu, Nak. Om akan pesankan tiket pesawat untuk kamu. Besok, kita akan terbang ke Padang. Om akan carikan kamu pekerjaan di sana.” Yumna tersenyum, “Terima kasih, Om.” *** Kota Padang, Januari 2022. Pesawat yang membawa Yumna, akhirnya sampai di Bandara Internasional Minangkabau. Sudah cukup lama gadis itu tidak menginjakkan kaki di sana, walau sejatinya kampung halaman ibu dan ayah yang membesarkannya ada di kota Padang. Yumna lebih betah tinggal di Batam ketimbang tinggal di kampung sang ibu. Apa lagi semenjak kejadian pengusiran dirinya, pasti tidak akan ada lagi keluarga ibu atau keluarga ayahnya yang mau menerima gadis itu. “Kenapa, Nak?” tanya Nadya. Ia melihat langkah kaki Yumna terhenti sesaat setelah turun dari pesawat. “Tidak apa-apa, Tante. Aku hanya deg-deg’kan saja. Sudah cukup lama aku nggak pulang kampung, sekarang rasanya agak aneh.” Nadya tersenyum, “Setelah ini kamu akan terbiasa tinggal di sini lagi. Ayo jalan.” Baru saja Yumna sampai di depan gedung bandara, langkah kakinya kembali terhenti. “Ada apa lagi, Nak?” Kali ini Harun yang bertanya dengan ramah. “Om, kalau boleh aku mau cari kos-kosan saja. Aku rasanya tidak punya muka untuk tinggal di rumah kalian. Apa kata anak-anak om dan tante nantinya. Apa lagi jika mereka tahu jika aku ini adalah anak haram.” “Yumna, sudah berapa kali om katakan, jangan bicara seperti itu lagi. Lagi pula anak-anak om tidak tahu permasalahannya. Om dan tante bisa saja mengatakan kalau kamu ini anak sahabatnya tante. Tolong, Yumna. Buang jauh-jauh kata-kata buruk tadi. Kamu itu bukan anak haram.” Yumna tampak menghela napas. Di saat yang bersamaan, seorang gadis cantik yang saat ini tengah menempuh pendidikan untuk mendapat gelar dokter spesialis, berjalan mendekati Harun dan Nadya. “Mama, papa …,” ucapnya. “Jingga … Baru datang?” Nadya langsung memeluk putri ke duanya itu. “Maaf … Tadi pagi Jingga harus ke klinik dulu. Gimana urusan bisnisnya di Batam? Aman’kan?” tanya Jingga. Yumna memerhatikan gadis berjilbab cokelat s**u itu. Wajahnya sangat manis, senyumnya ikhlas dan ia tampak sangat beruntung jika dibandingkan dengan dirinya. “Alhamdulillah aman kok, Sayang … Oiya, kenalkan. Ini namanya Yumna. Dia dua tahun lebih muda dari kamu. Mulai sekarang beliau akan tinggal bersama kita. Kebetulan Yumna ini adalah anak dari sahabat mama yang tinggal di Batam. Mamanya memutuskan melanjutkan kontrak jadi TKW ke luar negeri sementara Yumna tidak punya siapa-siapa lagi selain mamanya. Jadi mama bawa saja tinggal bersama kita.” Jingga menoleh ke arah Yumna. Gadis manis itu tersenyum seraya mengulurkan tangannya, “Hai, Yumna. Kenalkan aku Jingga. Kamu cantik sekali ya … Senang berkenalan dengan kamu,” ucap Jingga. Yumna membalas uluran tangan itu, “Senang juga berkenalan dengan kamu, Kak. Maaf kalau aku sudah merepotkan keluarga kalian.” “Merepotkan? Enggak kok. Justru aku senang karena aku jadi punya teman. Rumah mama lumayan besar, masih ada dua kamar kosong lagi. Jadi satunya bisa kamu tempati.” Yumna tersenyum, “Terima kasih ….” “Sama-sama … Yuk berangkat.” Yumna pun ikut menekan langkah meninggalkan bandara menuju mobil yang tadi dikendarai Jingga. Ia sengaja memundurkan langkahnya, menatap keharmonisan dan kemesraan Jingga bersama ke dua orang tuanya. Tiba-tiba perasaan Yumna terluka. Ia membayangkan betapa bahagianya jadi Jingga. Namun pikiran itu segera ia tepis karena tidak ada gunanya juga membandingkan dirinya dengan orang lain. Sesampai di kediaman Harun, Yumna cukup tertegun. Rumah ayah biologisnya itu bertingkat dua dan lumayan besar. Halamannya pun luas. Ada mobil lain yang terparkir di garasi selain mobil yang saat ini dikendarai ole Jingga. Ternyata mereka ini orang kaya. Beruntung sekali tante Nadya. Yumna membatin. Jingga sendiri selalu menebar senyum. Ia bersikap sangat ramah pada Yumna. Bahkan ia mengantarkan sendiri gadis itu menuju sebuah kamar kosong yang sebelumnya digunakan Jingga sebagai ruang belajar. “Yumna, maaf ya … Kamarnya masih sedikit berantakan. Di sini ada dua kamar kosong. Yang satu lagi adalah kamarnya bang Biru. Kebetulan beliau sudah menikah dan sudah punya rumah sendiri. Tapi biasanya setiap Sabtu beliau menginap di sini bersama istri dan anak bayinya. Nah, kamar ini biasanya aku gunakan untuk belajar dari pada kosong saja. Mumpung sekarang kamu di sini, jadi kamar ini bisa kamu tempati. Aku akan bawa keluar barang-barangku.” “Kak, jangan repot-repot. Aku bisa kok tidur di mana saja. Lagi pula kayaknya aku nggak akan lama di sini. Kalau nanti aku sudah dapat pekerjaan di sini, aku akan cari kosan.” Jingga tersenyum, “Kamu ini bicara apa, Yumna. Siapa yang repot? Lagi pula buat apa kamu cari kosan? Rumah ini luas, jadi tinggal di sini saja bersama kami. Nah itu adik kembarku. Sebentar ya, aku panggil dulu.” Jingga memanggil Bulan dan Bintang yang baru saja pulang sekolah. “Ada apa, Kak?” tanya ke duanya. “Kenalin, ini namanya kak Yumna. Beliau ini adalah anaknya sahabat mama kita. Mulai sekarang kak Yumna akan tinggal bersama kita di sini.” “Oiya … Hai, Kak. Kenalin, aku Bulan. Ini adik aku namanya Bintang. Kami ini kembar tapi beda ya, hehehe … Semoga kak Yumna betah ya tinggal di sini.” Bulan mengulurkan tangan. Yumna membalas, “Terima kasih sudah mau menerima aku di sini. Maaf kalau sudah merepotkan kalian.” “Merepotkan? Nggak kok, justru aku senang bakalan punya kakak perempuan satu lagi.” Bulan tersenyum. Berbeda dengan Bulan, Bintang malah bersikap biasa saja. bahkan bocah SMP itu memandang Yumna dengan tatapan curiga. Bintang menarik lengan Bulan, menjauh dari kamar itu. “Kamu apa-apaan sih?” tanya Bulan. “Aku kok curiga ya?” “Curiga? Curiga apanya?” “Kamu perhatikan deh wajahnya kak Yumna itu. Sekilas mirip sama papa lo. Perhatikan deh, ada mirip-mirip bang Biru juga.” “Ih, kamu ini ngomong apaan sih, Ntang. Jangan ngada-ngada deh. Makanya kamu itu berhenti main game, biar nggak halu terus.” “Siapa yang halu? Aku serius.” “Dah ah, capek ngomong sama kamu. Mending aku langsung ke kamar saja.” Bulan pun langsung naik ke lantai dua dimana kamarnya berada, Bintang menyusul. “Yumna, kamu silahkan istirahat dulu. Kalau kamu perlu apa-apa silahkan panggil saja aku. Oiya, kamu bisa menyimpan nomor ponselku.” “Oh iya, Kak.” Yumna mengeluarkan ponselnya lalu mencatat nomor ponsel Jingga di benda pipi miliknya. “Aku pergi dulu. Kamarku ada di sana.” “Iya, Kak. Terima kasih .…” “Sama-sama … Isitrahat saja dulu.” Yumna mengangguk, sementara Jingga menekan langkah keluar dari kamar itu. Perlahan, Jingga menutup kembali pintu kamar yang kini ditempati oleh Yumna. Yumna menghela napas. Ia memerhatikan sekeliling. Kamar itu cukup luas dan lumayan bagus. Ada kamar mandi pribadi di dalam kamar. Meja belajar yang sebelumnya di pakai Jingga untuk bekerja, kini sudah kosong karena Jingga sudah memindahkan smeua barang-barangnya. Meja itu berada tepat di depan jendela kaca. Jika kita duduk menghadap meja, maka akan langsung berpapasan dengan taman belakang. Yumna mendudukkan bokongnya di tepi ranjang. Ranjang yang empuk dan pastinya sangat nyaman jika ditiduri. Mereka semua di rumah ini sangat baik padaku. Termasuk juga anak-anak tante Nadya. Tapi apa mereka masih tetap baik apabila mereka tahu siapaaku sebenarnya? Apa mereka masih tetap mau menerima jika mereka tahu kalau aku ini adalah anak dari ayah mereka dengan wanita selingkuhannya. Aahhh …. Yumna menghela napas. Pikirannya masih saja kacau karena semua kejadian buruk ini, berjalan dengan sangat cepat. Baru saja Yumna hendak membaringkan diri, tiba-tiba saja ia mendengar suara dering ponsel dari dalam tas selempang yang ia sandarkan di dinding ranjang. Yumna langsung meraih tasnya, melihat siapa yang menghubunginya. Alex? Mau apa dia? batin Yumna. Gadis itu tidak langsung mengangkat. Ia hanya mematikan nada dering dan meletakkan ponselnya di atas meja.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD