Pindah …

1113 Words
Hanya enam hari saja Yumna bertahan tinggal di rumah Harun. Gadis itu itu kini bersiap untuk pergi meninggalkan rumah Harun dan Nadya. Ia sudah mendapatkan kosan untuk dirinya. Yumna juga sudah mendapat pekerjaan sebagai staf administrasi di salah satu perusahaan ekspedisi besar di kota Padang dan besok adalah hari pertama Yumna masuk kerja. “Nak, kamu yakin akan pindah? Om tidak bermaksud memaksakan kehendak sama kamu, tapi alangkah baiknya kamu tinggal di sini bersama kami,” ucap Harun. Ia masih berusaha membujuk anak biologisnya itu untuk tidak meninggalkan rumahnya. “Maaf, Om. Yumna tidak bisa. Yumna tahu kalau om Harun dan tante Nadya sayang sama Yumna. Kak Jingga pun sangat baik pada Yumna. Akan tetapi Yumna tidak nyaman di sini. Bagaimanapun juga, Yumna itu berbeda, Om. Apa jadinya kalau anak-anak om sampai tahu siapa Yumna sebenarnya. Yumna tidak mau merusak kebahagiaan keluarga om Harun.” “Nak, apa tidak sebaiknya kamu tunggu Jingga dulu. Jingga pasti akan merasa kehilangan kalau kamu pergi begitu saja.” Yumna menggeleng, “Tidak usah, Tante. Semalam aku sudah bicara dengan kak Jingga. Kak Jingga itu sangat baik, aku nggak pantas menyusahkan kak Jingga terus.” Yumna bangkit dari ranjang setelah mengemasi semua barang-barangnya. Ia pun berjalan mendekati pintu. “Yumna, om antar ya?” “Nggak usah, Om. Yumna sudah pesan taksi kok.” Harun dan Nadya hanya bisa menghela napas. “Oke, om tidak akan memaksa kamu lagi. Tapi sebagai papa kandung kamu, om berhak tahu dimana kamu akan tinggal. Yumna, om mungkin bukan suami mama kamu, tapi om ini adalah papa kandung kamu. Om selalu bertanggung jawab selama ini. Om selalu mengirimkan biaya untuk hidup kamu pada mama kamu. Om biaya sekolah kamu hingga kuliah. Itu karena om sayang sama kamu, Nak.” Yumna yang berdiri membelakangi Nadya dan Harun, tidak kuasa menahan air matanya. Gadis itu pun memangis. “Nanti sesampainya di kosan, Yumna akan kirimkan lokasinya pada om dan tante. Terima kasih karena selama ini sudah bertanggung jawab pada Yumna. Terima kasih juga karena selama om dan tante sudah baik pada Yumna. Yumna pamit dulu, Assalamu’alaikum ….” Yumna pun melangkahkan kakinya keluar dari kamar itu. Ia sama sekali tidak menoleh ke arah Harun dan Nadya karena tidak mau ke dua orang itu melihat dirinya berurai air mata. Maafkan Yumna, Papa … Yumna tidak bermaksud jadi anak durhaka. Yumna tahu papa dan tante Nadya itu baik dan tulus sayang sama Yumna. Oleh karena itu Yumna harus pergi. Yumna tidak ingin merusak kebahagiaan papa dan tante Nadya. Yumna tidak mau jadi duri dalam kehidupan rumah tangga kalian. Semoga saja dengan kepergian Yumna ini, papa dan tante Nadya bisa hidup lebih tenang dan semakin bahagia. Yumna membatin seraya melangkahkan kakinya meninggalkan rumah Harun. Sementara di dalam kamar, Harun tidak kuasa menahan emosinya. Tangisnya pun meledak. Ia terduduk di atas ranjang seraya berkali-kali menyeka air matanya. “Bang, jangan seperti ini,” ucap Nadya berusaha membujuk sang suami. “Aku sudah berdosa … Aku sudah berdosa … Aku tidak hanya berdosa pada kamu, tapi juga pada Yumna. Andai saja waktu itu aku tidak bodoh, andai saja aku tidak memperturutkan hawa nafsu, mungkin semua ini tidak akan terjadi. Yumna tidak harus jadi korban atas kebodohan aku. Atas dosa-dosa aku,” isak Harun. “Kamu tidak boleh bicara seperti itu, Bang. Semua itu sudah takdir. Kita tidak boleh mengupat takdir. Harusnya kita itu memperbaiki diri, bukannya menyalahkan takdir dan perjalanan hidup. Kita doakan saja, semoga setelah ini Yumna bisa bahagia. Namun sebagai orang tua, kita harus tetap memantau Yumna. Jangan sampai ia terjerumus ke pergaulan yang salah.” Harun mengangguk lemah. *** “Sesuai aplikasi, Kak?” tanya sang sopir taksi pada Yumna. “Iya, Bang,” balas Yumna. Sang sopir pun mulai melajukan mobilnya, meninggalkan Kawasan perumahan tempat tinggal Harun. “Kakak habis nangis ya?” tanya sang sopir taksi. Yumna hanya diam. Ia tidak suka jika ada orang yang tidak ia kenal, kalu ingin tahu masalahnya. “Maaf kalau saya lancang menanyakannya. Tapi jujur saja, wanita secantik kakak ini nggak pantas bersedih seperti itu. Apa pun masalahnya, kakak harus sabar. Percayalah, Allah tidak akan memberikan ujian kepada hamba-Nya, kecuali hamba-Nya itu mampu untuk melewatinya. Apa pun masalah kakak, percayalah kalau Allah pasti akan bukakan jalan keluar.” “Terima kasih atas sarannya, Bang,” balas Yumna. “Kakak mau minum? Di depan sana ada yang jual minuman. Kita bisa mampir dulu sebentar untuk beli minuman.” “Tidak, terima kasih. Tolong, biarkan saja saya. Banyak orang yang tidak suka jika ada orang asing yang terlalu tahu tentang diri dan permasalannya,” ketus Yumna. “Baiklah … Maaf kalau saya lancang,” ucap sang sopir taksi. Yumna hanya diam saja. Gadis itu tetap fokus menatap jalanan kota Padang lewat kaca jendela yang ada di samping kirinya. Kota ini memang kampung halamannya, tapi ia asing berada di sini karena ia memang sangat amat jarang pulang ke sini. Ia lahir dan besar di Batam. jadi ia lebih menguasai daerah itu ketimbang kota di mana saat ini kakinya berpijak. Tidak lama, taksi online itu pun berhenti, “Sudah sampai di titikm lokasi, Kak,” ucap sang sopir taksi. Yumna memerhatikan sekitar, “Iya, memang di sini,” ucap Yumna. Yumna pun bersiap turun. Ia kemudian mengambil satu lembar uang pecahan lima puluh ribu dan satu lembar uang pecahan dua puluh ribu. Ongkos yang seharusnya ia bayar adalah enam puluh satu ribu rupiah. “Kembaliannya ambil saja, Bang,” ucap Yumna. “Terima kasih ya, Kak.” Yumna tersenyum tipis. Gadis itu pun turun dari taksi dan mulai melangkah menuju kosan barunya. Ia menarik sebuah koper dan menyandang sebuah tas ransel, tempat barang-barangnya ia simpan. Yumna menarik barang-barangnya menuju sebuah kamar. Kebetulan kosan itu memang tidak memiliki penjaga. Sang ibu kos tinggal beberapa rumah jaraknya dari kosan miliknya. Yumna menebar senyuman saja pada setiap orang yang ia temui di sana. Sesampai di dalam kamar kos, Yumna meletakkan barang-barangnya di atas lantai. Ia perhatikan sejenak kosan itu, memag jauh berberbeda dengan kondisi kamarnya di Batam, apa lagi jika dibandingkan dengan kamarnya di rumah Harun. Kamar kos itu berukuran tiga kali tiga meter. Ada sebuah kamar mandi kecil di dalamnya. Sudah disiapkan sebuah kasur busa berukuran single dan sebuah lemari plastik di dalamnya. Hanya itu, tidak ada yang lain lagi. Tidak ada meja, apa lagi nakas. Tidak ada kursi atau apa pun selain dua benda tadi. Kondisi kamar terlihat bersih. Kasurnya pun bersih. Namun Yumna tetap menyapu kamar itu sebelum ia pasang sprei pada kasur itu. Sapu sendiri juga sudah disediakan di sana. Setelah spreinya terpasang, Yumna pun langsung merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Ia berbaring sejenak untuk melepas penat. Esok, ia harus mulai masuk kerja di salah satu ekspedisi di kota Padang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD