Bab 4 Bukan Darel

982 Words
Aku melajukan motor pelan-pelan, sesekali mengusap bawah mataku yang terasa basah. Dua garis merah pada testpack yang baru saja kulihat sungguh membuatku syok. Aku memang naif, berpikir semuanya akan kembali normal jika aku bisa melupakan kejadian terkutuk itu. Padahal masa depanku sudah pasti suram. Tanpa bayi dalam perutku pun aku masih harus berusaha keras agar tidak terlalu tenggelam dalam kemarahan dan rasa penyesalanku, tapi setidaknya aku masih bisa bernapas lega karena hanya aku sendiri yang menanggung bebannya. Berbeda dengan kehamilanku sekarang, bukan hanya aku yang akan menanggung bebannya, orangtuaku juga. Mereka pasti akan menjadi bulan-bulanan tetangga di kampung, dihina, dilecehkan, bahkan mungkin dimusuhi karena putri semata wayang mereka hamil di luar nikah. Aku tidak bisa membendung air mataku, selama ini aku bisa menahan jika itu hanya menyangkut diriku. Namun tidak kalau sudah mempertaruhkan kebahagiaan orangtuaku. Hatiku semakin kesal ketika ingat perintah Pak Bastian tadi. Seharusnya sekarang aku sudah ada di kamar, berbaring sambil menangis sepuasnya, melepaskan semua rasa sedih dan penyesalan. Bukannya berusaha menahan tangis di jalan karena harus mengantar pesanan orang terlebih dahulu. Namun kemudian aku menyadari, menangis dan mengurung diri di kamar tidak akan menyelesaikan masalah. Aku harus menghadapinya, bersikap tenang agar bisa berpikir jernih, kemudian bertindak dengan tepat. Hal pertama yang harus aku lakukan setelah ini adalah, mencari Darel. Dengan tekad tidak ingin menderita, aku mempercepat laju motor agar tugasku cepat selesai. Masih separuh perjalanan ketika ponselku berdering, aku mengabaikannya tapi si penelepon tidak putus asa, terpaksa kutepikan motor dan menerima panggilan dari nomor tak dikenal. “Cepat ya, jam makan siang sudah mau selesai ini!” Aku langsung disambut dengan suara yang sama sekali tidak terdengar ramah. Suara datar dan dingin yang membuatku melongo selama beberapa detik. Dan sebelum aku sempat menjawab telepon di seberang sudah dimatikan. Motorku kembali melaju setelah sebelumnya mengangkat telepon dari Pak Bastian yang memastikan aku mengantar pesanan. Dari dia aku mengetahui jika pria bersuara datar yang tadi meneleponku adalah orang yang menjadi alasan aku berada dalam perjalanan ini. Jika suaranya saja terdengar menyebalkan, apalagi orangnya, gerutuku dalam hati. Kemudian berdoa agar aku tidak harus bertemu dengannya. Mood-ku sudah buruk, tidak perlu ditambah lagi dengan menemui orang seperti dia. Sampai di alamat tujuan, aku menarik napas berat. Gedung perkantoran yang kutuju ternyata salah satu gedung bonafide di kawasan elit. Aku heran kenapa orang itu memesan makan siang di restoran cepat saji kami jika banyak restoran mewah di sekitar tempat kerjanya. Aku melihat lagi kertas yang diberikan Pak Bastian, alamat yang kutuju ada di lantai 26. Jadi aku harus cepat sebelum pria pemarah itu meneleponku lagi. Setelah bersabar dengan pria berlemak di dalam lif, aku terdampar di sebuah lobi kantor. Resepsionis cantik tersenyum ramah begitu aku menghampirinya. Belum sempat aku bertanya, seorang pria berjalan menghampiri kami. Aku terbelalak melihatnya. “Darel,” desisku dengan tangan terkepal, dan tanpa bisa menahan diri tinjuku melayang ke rahang pria itu. Dia terkejut, matanya terbeliak menatapku, salah satu tangannya memegangi rahang yang aku yakin terasa sakit. Aku tidak merasa perlu menahan tinjuku tadi, mengerahkan semua tenaga yang kupunya. Darel pantas mendapatkannya. Mbak resepsionis yang tadi bersiap menyambutku terlihat pucat, dia buru-buru keluar dari balik mejanya, menghampiri kami dan menanyakan keadaan sang bos. Sorot matanya terlihat ngeri, mungkin takut disalahkan. “Bapak tidak apa-apa?” tanyanya panik. “Saya panggilkan satpam,” sambungnya bersiap kembali ke mejanya. Darel melarang dengan isyarat tangannya. “Nggak perlu,” katanya datar. “Biar saya yang urus masalah ini.” Hatiku agak bergetar saat melihat sorot matanya yang terkesan misterius. Aku tidak bisa menduga apa maksud di balik tatapannya, tapi itu membuatku merasa tidak nyaman. “Kamu ikut aku,” katanya padaku. Suaranya datar dan tegas. Namun itu tidak membuatku gentar, aku tetap bergeming di tempatku berdiri, menggeleng kuat. Aku tidak mau mengambil risiko, tidak ada yang tahu apa yang akan dia lakukan jika aku menuruti maunya. Reputasi Darel sudah jelas berengsek, sekali mengetahui hal tersebut sudah cukup membuatku selalu waspada akan dirinya. Dia menghela napas. “Kamu ada masalah denganku, kan? Ikut aku, kita bicarakan apa yang jadi masalahmu di ruanganku,” ujarnya berusaha sabar. “Atau kamu mau kita berbicara di sini?” Dia melanjutkan, sebelahnya alisnya terangkat saat mengajukan pertanyaan tersebut. Aku tentu saja tidak mau semua orang mengetahui aibku. Apalagi sekarang kami sudah menjadi pusat perhatian orang-orang, beberapa bahkan tidak merasa segan mengarahkan ponselnya ke arah kami.Tidak memiliki opsi lain yang lebih baik, aku mengikuti kemauannya. “Di mana ruangan Anda, Pak Darel?” desisku pelan, hanya bisa didengar olehnya. Darel mengernyit, dia tampak bingung. Akan tetapi beberapa detik kemudian ekspresinya kembali terlihat biasa. Dia berjalan mendahuluiku memasuki lift. Aku mengikutinya. Di dalam lift, dia berdiri membelakangiku. Dengan punggung tegak dan kedua tangan berada di dalam saku, dia kelihatan kaku. Lift berhenti di lantai 27, pintu terbuka dan tanpa berkata apa-apa dia keluar. Aku terus mengikutinya. Dia membawaku melewati lorong sebelum sampai pada sebuah ruangan terbuka yang berukuran lebih kecil dari lobi di lantai 26 tadi. Seorang pria muda berkaca mata yang duduk di balik meja berdiri saat melihat Darel, aku menduga dia sekretarisnya. Darel melewati pria itu begitu saja, membukakan pintu yang ada di ruangan tersebut dan mempersilakan aku masuk tanpa suara. Aku ragu-ragu. “Kamu bisa berteriak kalau merasa terancam di dalam, Ricky akan mendengarmu,” kata Darel masih dengan suaranya yang datar, sudut matanya mengarah pada si sekretaris. O,ya? Aku bukan gadis bodoh. Jika terjadi apa-apa denganku di dalam, Ricky si sekretaris itu pasti tidak akan menolongku. Memangnya dia dibayar buat melawan bosnya? Jadi ketika aku memutuskan masuk ke ruangan Darel itu bukan karena jaminan dari pria itu, melainkan agar masalahku cepat terselesaikan. Kini Darel sudah duduk di hadapanku, kedua tangannya berada di atas meja, saling menggenggam satu sama lain. Pandangannya mengarah padaku, aku masih belum bisa menembus kelamnya manik hitam pekat pria itu. Hitam pekat? Tunggu! Ada sesuatu yang salah di sini. Aku menatapnya tajam. Suaraku bergetar saat berkata, “Anda bukan Darel, kan?”   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD