Bab 5 Namanya Dathan

992 Words
“Anda bukan Darel, kan?” Sumpah, sekarang ini aku benar-benar gugup. Aku bisa merasakan keringat yang sedingin bilah pedang mengalir di punggungku, tubuhku menegak kaku seolah sentuhan itu bisa menggores kulitku. Aku ingat ketika diam-diam memerhatikan mata Darel saat kami makan di restoran, aku mengagumi warna matanya yang bukan coklat gelap seperti orang Indonesia pada umumnya, melainkan lebih terang. Dan pria yang duduk di hadapanku ini memiliki iris mata hitam nyaris pekat. Kecuali dia memakai lensa kontak, dia pasti bukan Darel. “Darel saudara kembarku,” ucapnya masih dengan nada suara datar. Meski sudah menduganya, aku tetap merasa syok. Perutku terasa diremas dan itu membuatku mual, dahiku mulai dipenuhi titik-titik keringat yang tidak ada hubungannya dengan cuaca. Rasa cemas menggelayutiku, menyadari aku baru saja melakukan kesalahan yang fatal. Aku telah meninju orang yang salah. Buru-buru aku bangun dari dudukku, salah satu tanganku menggenggam erat tali tas selempang yang tersampir di bahuku. “M-maafkan saya, saya salah orang,” kataku gagap, tak berani menatap wajah pria di depanku. “S-saya permisi dulu.” Belum sempat aku beranjak, pria itu menahanku. “Tunggu dulu! Silakan duduk lagi, walau aku bukan Darel, kamu tetap bisa mengatakan masalahmu.” “M-masalah?” tanyaku meliriknya dengan hati-hati. “Kamu nggak mungkin meninjuku kalau nggak punya masalah, kan?” “Ya, tapi masalah saya bukan dengan Anda.” “Kamu duduk saja lagi dulu.” Meski dia mengatakan kalimat itu dengan pelan, tapi nada suaranya terdengar tidak mau dibantah. Jadi aku menuruti kemauannya. Kemudian, setelah terdiam selama beberapa saat sambil mengamatiku, dia mulai bersuara, “Darel kembaranku. Masalah dia masalahku juga. Jadi kamu bisa ceritakan apa pun itu padaku.” Aku menggeleng. “Tidak mungkin,” ucapku pelan. “Kenapa?” “Ini masalah pribadi kami. Aku tidak mungkin membicarakannya dengan orang selain Darel.” Dia bersandar pada punggung kursi, kakinya tersilang dan tangannya menopang dagu dengan siku yang bertumpu pada lengan kursi. Dia mengamatiku dengan tatapannya yang dalam. “Kita pernah bertemu, kamu nggak ingat?” ujarnya santai. “Aku membantu kamu memperbaiki motormu yang mogok.” Tanpa sadar mulutku terbuka. Astaga, apa lagi ini? Jadi yang membantuku waktu itu bukan Darel? Dan aku mengucapkan terima kasih pada orang yang salah. Secara tidak langsung aku sendirilah penyebab kesialan itu terjadi. Andai aku tidak usah bersikap seperti orang yang tahu berterima kasih dan berakibat mendekati orang yang salah, kejadian buruk itu tidak akan menimpaku. Ini terasa seolah-olah aku mengalami fenomena fototaksis, seperti seekor ngengat yang menghampiri api dan terbang terlalu dekat hingga dia terbakar. “A-anda….” Suaraku tercekat. “Dathan. Namaku Dathan.” Aku tidak tahu harus merespon apa. Fakta yang baru saja kudengar sungguh mengejutkanku. Hal yang tidak bisa kuabaikan adalah rasa sesal yang terus menyeruak hingga menyesakkan d**a. Seandainya aku tahu orang yang menolongku bukan Darel, seandainya aku lebih jeli dan bisa melihat perbedaan warna mata mereka, seandainya seandainya dan seandainya yang lain yang mungkin tidak akan pernah cukup untuk membuatku merasa lebih baik. Aku sungguh menyesalkan kejadian yang menimpaku terjadi justru karena kecerobohanku sendiri. “Apa pun masalahmu dengan Darel, ada yang harus kukatakan padamu tentang dia.” Perhatianku teralih kembali pada Dathan, menunggu kata-kata yang akan dia ucapkan selanjutnya. “Darel meninggal sebulan yang lalu, dia mengalami kecelakaan di Singapura.” Aku tidak yakin dengan apa yang kudengar, tapi sepertinya alam bawah sadarku memahami lebih daripada telingaku. Otakku bekerja cepat mencerna kalimat tersebut dan efeknya langsung kurasakan. Pandangan mataku berkunang-kunang, kepalaku seolah-olah berputar sehingga membuatku pening. Ada sesuatu yang terasa menggumpal di dalam dadaku, yang bergerak cepat menghantam ulu hatiku. Gumpalan itu terus membesar, membesar dan membesar sampai dadaku terasa akan meledak. Aku kehabisan napas, kutekan dadaku untuk mengurangi rasa sesak, tapi itu tidak berfungsi. Pupil mataku melebar, panik, aku mengulurkan tangan meminta bantuan. Selebihnya aku tidak ingat apa yang kemudian terjadi. Kegelapan menyelimutiku. Saat berhasil menemukan cahaya dan mencoba melompat keluar dari gulita, aku menemukan diriku terbaring di atas sebuah sofa yang lebar dan nyaman. Seraut wajah muncul samar-samar di penglihatanku. “Darel…,” gumamku antara sadar dan tidak. “Dathan.” Si pemilik wajah bersuara. “Namaku Dathan.” Seketika mataku terbuka, ingatan beberapa menit lalu muncul tiba-tiba. Aku langsung bangun dan duduk. “S-saya mau pulang,” kataku hampir tanpa suara hingga menyerupai bisikan. Tanganku gemetar saat berusaha meraih tas milikku yang kini tergeletak di meja. Dathan membantu mengambilkan tas itu untukku. “Kalau kamu merasa nggak enak badan, kamu boleh istirahat sebentar di sini,” katanya yang langsung kutanggapi dengan gelengan. Pria itu terlihat ragu. “Kamu yakin nggak mau cerita masalahmu sama Darel denganku?” tanyanya. Di dalam sudut hatiku yang tergelap tentu saja aku ingin mengatakannya pada Dathan, aku tidak yakin bisa mengatasi kehamilan ini sendirian. Akan tetapi, dari mana aku harus memulai? Lagipula apa dia mau percaya? Pada akhirnya aku hanya bisa menggeleng lagi. Langsung berdiri dan melangkah gontai menuju pintu keluar. “Sorry.” Seruan Dathan menghentikan langkahku, aku berbalik dan berkata, “Tidak apa-apa, Pak. Apa pun yang Darel lakukan pada saya, itu bukan kesalahan Bapak.” Dathan terlihat aneh, dia mengangguk-angguk linglung. Kemudian berkata dengan ekspresi wajah yang menunjukkan perasaan tidak enak, “Boleh aku minta pesananku?” Oh, astagaaa … aku baru sadar salah satu tanganku menjinjing kembali kantong plastik yang tadi kubawa dari restoran. Dengan pipi yang terasa panas aku langsung menyodorkan kantong plastik itu padanya. “Maaf, Pak, maaf. Saya lupa sekali,” ucapku sambil refleks membungkukkan badan berkali-kali di hadapan Dathan. Meski samar, aku menangkap senyum geli terukir di bibirnya, aku yakin sekarang ini wajahku sudah sangat merah saking malunya. Tepat di waktu itu, ponselku berdering nyaring. Gugup aku mengeluarkan benda itu dari dalam tas dan menjawab panggilan yang ternyata dari Pak Bastian. “Aman, Pak. Pesanan sudah diterima oleh Pak Dathan langsung,” cerocosku menjawab pertanyaan atasanku sambil membalikkan badan dan mengeloyor melewati pintu. Keadaan tidak memungkinkan untuk berpamitan, daripada terjebak rasa malu mending pura-pura terkendali dan pergi dari ruangan Dathan. Bersambung....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD