What Happened Last Night

2998 Words
Abinaya melangkah gontai menuju kelas. Hari ini ia akan mengajar materi mental illness khususnya OCD (Obsessive Compulsive Disorder). Tiga hari yang lalu Abinaya memberikan materi tentang schizophrenia dan fobia. Ada salah satu mahasiswa yang mengusulkan padanya untuk membahas lebih dalam tentang OCD karena kakak dari mahasiswa tersebut mengidap OCD sejak remaja. Sebenarnya Abinaya tipikal dosen yang tak pernah menunjukkan kekalutan di depan mahasiswa, termasuk saat ia patah hati karena Kia, dia mampu menyembunyikannya. Meski jauh di dalam hati meraung dan menjerit, Abinaya cukup tahu diri bagaimana tetap menjaga wibawa. Biar di dalam menangis dan teriris-teriris, tapi di luar harus tetap tersenyum manis. Namun kali ini rasanya ia tak mampu untuk mengulas satu senyum pun. Mahasiswi semester akhir jurusan manajemen itu telah mengaduk-aduk perasaannya dan hingga detik ini rasa bersalah itu masih terus merongrong nuraninya. Pesan w******p yang tak terhitung jumlahnya sudah ia kirimkan pada Fara, dari ucapan maaf bergaya formal sampai gombalan receh, tak ada satupun yang dibalas. Telepon pun tak diangkat atau malah sengaja dimatikan. Entah bagaimana lagi cara untuk melembutkan hati Fara yang keras kepala itu. Saat memasuki kelas, mahasiswa sudah bersikap anteng dan sepertinya memang sudah siap menerima mata kuliah. Abinaya menyapukan pandangan ke segala sudut. “Assalamu’alaikum. Selamat pagi.” “Wa’alaikumussalam, selamat pagi Pak.” “Sesuai janji saya, saya akan menyampaikan materi tentang OCD atau Obsessive Compulsive Disorder. Ada yang sudah membaca tentang OCD? Coba saya ingin mendengar apa yang kalian tahu tentang OCD.” Abinaya mengedarkan pandangan ke semua mahasiswa. Seorang mahasiswi mengangkat tangannya, “Saya Pak.” “Silakan.” “OCD itu suatu gangguan mental di mana pengidapnya terobsesi pada pikiran yang tak masuk akal dan untuk menghilangkan kecemasan ini, dia akan melakukan tindakan kompulsif atau berulang,” jawab mahasiswi berhijab itu dengan lantang. Abinaya mengangguk, “Betul. Jadi ada obsesi akan pikiran yang tak masuk akal juga ada tindakan kompulsif. Ada yang bisa memberikan contoh.” Abinaya kembali melemparkan pertanyaan pada mahasiswanya. Dia ingin mahasiswanya aktif berdiskusi dan urun pendapat. Seorang mahasiswa yang di pertemuan sebelumnya mengusulkan pembahasan materi OCD mengangkat tangannya. “Saya coba jawab Pak.” “Silakan.” “Kebetulan kakak saya mengidap OCD sejak dia remaja. Mungkin saya akan share sedikit tentang OCD kakak saya. Kakak saya itu menderita OCD tipe kebersihan, kerapian dan juga tipe checker. Jadi dia kalau cuci tangan bisa sampai berkali-kali. Mungkin ada tujuh atau lebih, bisa sampai lima belas kali. Dia takut banget kena najis dan selalu merasa tangannya belum bersih. Dia juga takut banget sama kuman. Dan OCD-nya ini sangat menganggu kesehariannya karena waktunya seolah habis buat menjalankan rutinitas seperti ini. Dia juga terobsesi dengan kerapian. Jadi kalau menata barang itu dia bisa ngulang berkali-kali. Padahal udah rapi, cuma dia selalu mengulang. Kalau nggak diulang dia bakal merasa cemas. Terus kalau tipe checker, dia selalu menjadi orang yang paling malam tidurnya karena dia selalu mengecek pintu berulang kali. Ampe saya capai sendiri lihatnya. Dia bolak-balik turun tangga untuk mengecek pintu, apakah sudah dikunci atau belum. Terus juga ngecek kran air dan kompor juga sama, berkali-kali.” “Kok bisa gitu ya? Namanya menyiksa diri.” Tukas mahasiswa yang lain. “Terus bedanya dengan perfeksionisme berlebihan apa?” tanya mahasiswi berambut pendek. “Perbedaan yang mendasar itu ada di tindakan kompulsifnya. Kalau OCD ada tindakan berulang untuk meredakan kecemasan. Sedang perfeksionisme berlebihan, ini sama saja mengganggu tapi dia tidak melakukan tindakan berulang, tapi memang biasanya dia butuh waktu lama untuk melakukan aktivitas yang menuntut kesempurnaan, misal menata barang jadi lebih lama dan dia tak mudah percaya untuk menyerahkan pekerjaannya pada orang lain.” Abinaya menjelaskan panjang lebar. “Oya saya cukup tertarik juga untuk membahas OCD yang diderita kakak dari Haris. Soal OCD kebersihan, kerapian dan cek-mengecek itu memang seperti itu gambarannya. Memang menyiksa, tapi mereka nggak akan tenang kalau belum mengulangnya. Jadi mereka benar-benar cemas jika ritual itu tidak diulang. Kalau orang non OCD kan cukup ngecek pintu atau kompor sekali sebelum tidur, sedang yang ada di pikiran orang OCD itu, dia memiliki ketakutan berlebihan. Misal dia membayangkan akan ada kawanan rampok masuk ke rumah jika dia tidak mengecek pintu berulang kali. Katakutan ini bisa membayangkan lebih jauh lagi. Misal selain takut ada kawanan rampok yang masuk, dia juga takut perampok-perampok itu akan membunuh semua penghuni rumah,” lanjut Abinaya. Semua mahasiswa mendengar penjelasan dosen ganteng itu dengan seksama. Seorang mahasiswi berkerudung warna pink mengangkat tangannya. “Iya silakan.” “Saya ingin tanya Pak. Sebenarnya apa sih yang harus orang OCD lakukan untuk menghentikan ritual berulangnya ini? Karena ini kan sangat menyita waktu. Apa nggak bisa dikuatin tekad untuk sembuh?” Mahasiswi bernama Lola ikut bertanya. Abinaya menghela napas. “Tidak semudah yang kita bayangkan. Kita nggak pernah ada di posisi mereka karena itu dengan mudahnya kita bilang apa sulitnya bertekad untuk berhenti. Sekarang saya tanya, di sini ada yang mengidap fobia tertentu?” Seorang mahasiswi mengangkat tangannya, “Saya fobia balon, saya takut banget lihat balon.” “Okay sekarang saya tanya, kalau misal kamu diminta untuk menyentuh balon, mau nggak? kamu harus melawan ketakutan kamu akan balon dengan cara menyentuh balon.” Mahasiswi tersebut menggeleng dan bergidik, “Ih nggak mau saya Pak. Dibayar sekalipun saya nggak mau.” “Yakin? Dbayar semilyar nggak mau?” Ledek salah seorang temannya. “Pokoknya nggak mau saya,” ujar sang mahasiswi. Abinaya terkekeh, “Ya seperti itulah orang yang OCD. Ketakutan yang dia rasakan sudah dalam tahap berlebihan dan tak masuk akal seperti orang fobia. Bisa dibayangkan nggak?” Para mahasiswa mengangguk. “Berarti nggak bisa disembuhkan ya Pak?” tanya mahasiswa bernama Edwin. “Mungkin bukan disembuhkan tapi diminimalisir gejalanya. Bisa aja sembuh, tapi kalau untuk sembuh masih susah, minimal diminimalisir. Jadi semua ada pada diri kita sendiri. Emang harus ada tekad yang kuat untuk melawan obsesi itu. Misal dengan exposure therapy. Dalam terapi ini pasien dihadapkan secara bertahap pada kondisi-kondisi yang menyebabkan kecemasan. Misal dia diminta untuk tidak mencuci tangan secara sengaja setelah memegang benda tertentu. Terapi ini terus dilakukan sampai pasien bisa mengurangi kecemasannya. Atau ada juga yang mengurangi frekuensi cuci tangannya. Misal yang tadinya cuci tangan lima belas kali, dikurangi menjadi sepuluh kali, sampai akhirnya bisa di tahap cukup sekali mencuci tangan.” Mahasiswi di pojok ruangan mengangkat tangannya. “Iya silakan.” “Begini Pak, saya punya teman, dia selalu mengulang wudhunya berulang kali karena dia menganggap wudhunya batal. Pernah juga dia sholat Isya dari jam delapan malam sampai hampir Subuh nggak kelar-kelar karena dalam pikirannya, sholatnya nggak sah. Ini termasuk OCD juga kah?” Abinaya mengangguk, “itu bisa dibilang OCD ibadah, jadi dia mengulang ibadahnya berkali-kali karena ada intrusive thought, pikiran yang terus mengganggu bahwa sholatnya tidak sah. Dan biasanya orang yang mengidap OCD ibadah itu takut banget masuk neraka.” “OCD itu benar-benar rumit ya,” gumam seorang mahasiswa. “Saya jadi punya ide, gimana kalau di pertemuan berikutnya kalian persiapkan presentasi tentang mental illness? Ini untuk penilaian tugas. Kita bisa berdiskusi lebih mendalam. Kalian bentuk aja kelompoknya. Satu kelompok beranggotakan empat sampai lima orang.” “Yah tugas lagi..,” gerutu seorang mahasiswa yang dikenal malas mengerjakan tugas. “Boleh kok nggak ngerjain, tapi nggak dapat nilai.” Abinaya menanggapinya dengan santai. Mahasiswa yang lain tertawa dan mencibir ke arah mahasiswa bertubuh tambun itu. Selanjutnya Abinaya melanjutkan materi lainnya. Setiap kali mengajar, Abinaya lebih menyukai diskusi agar mahasiswa aktif dalam proses belajar mengajar. Baginya suasana pasif dalam kelas itu hanya akan menurunkan semangat dan metode mengajar yang pasif biasanya membuat mahasiswa ngantuk di kelas. Banyak mahasiswa menyukai cara Abinaya mengajar. Selain menguasai materi, dia juga begitu mengapresiasi argumen yang disampaikan mahasiswanya. Setelah waktu mengajar di kelas tersebut, Abinaya kembali ke ruangannya. Dia mengecek smartphonenya, tidak ada balasan WA dari Fara. Abinaya semakin tak karuan. Teringat perkataan Gharal bahwa untuk menghilangkan amarah Fara, dia cukup disogok hadiah. Masalahnya Abinaya tak tahu banyak tentang hal-hal yang disukai gadis cantik itu. ia bingung hadiah apa yang akan dia berikan untuk Fara. Abinaya mencoba mengirim pesan w******p kembali. Fara, please balas WA-ku. Untuk keseribu atau mungkin ratusan ribu kali, aku minta maaf. Tidak ada balasan. Abinaya semakin penasaran. Pasalnya dua centang sudah berwarna biru, artinya Fara sudah membacanya tapi tidak mau membalas. Abinaya tak menyerah. Dia mengirim pesan lagi. Fara. Apa yang mesti aku lakuin untuk mendapat maaf dari kamu? Fara... Please... Maafin aku... Fara... tolong jangan diemin aku kayak gini.. Far.. Fara kalau kamu nggak maafin aku, aku nggak bisa tenang.. Nggak enak makan juga kayaknya... Nanti aku kurus... Fara... Fara cantik.. Abinaya memijit pelipisnya. Rasanya ia kehabisan kata-kata. Begitu alunan merdu terdengar syahdu dari ponselnya, Abinaya terkesiap. Wajahnya bersemu merah. Matanya berbinar bagai melihat bintang gemerlap di angkasa. Digesernya layar smartphonenya. Satu pesan WA dari Fara, tapi sepertinya salah sambung. Boleh jam sepuluh ya, di Love Night Club. Aku dijemput ya. Abinaya mengerjap. Ia begitu penasaran, Fara sebenarnya membalas pesan ini untuk siapa. Sekarang ia tahu, malam ini Fara akan mendatangi Love Night Club. Rasanya dia tak rela membiarkan Fara bersenang-senang di club malam itu. Kekhawatiran mendera dan ia tak mengerti kenapa ia menjadi begitu peduli pada Fara. Satu pesan datang lagi masih dengan pengirim yang sama. Maaf salah kirim. Abinaya membalas. Nggak apa-apa. Meski salah kirim, aku udah seneng banget. Apalagi kalau beneran dibalas. Bisa mandi kembang tengah malam aku.. Abinaya tersenyum. Namun otaknya terus bekerja, memikirkan serangkaian rencana bagaimana agar bisa datang ke night club dan mengawasi pergerakan Fara. Smartphonenya berbunyi lagi. Mandi kembang buat apa? Lebay! Abinaya mengetik huruf demi huruf lalu membalasnya. Nggak apa-apa. Aku lebay buat kamu. Abinaya tersenyum sendiri. Rasanya sudah lama dia tak menggombal untuk perempuan. Gombal banget. Receh banget. Nggak mutu! Dari balasan Fara, Abinaya tahu, Fara masih marah padanya. Tapi dia bersyukur, Fara sudah sedikit melunak dan mau membalas pesan WA-nya. Abinaya membalas lagi. Nggak apa-apa gombalan aku nggak mutu. Tapi kalau mencintai seseorang, cintaku sangat berkualitas. Grade A no KW. Ibarat sekolah atau perguruan tinggi, sudah terakreditasi A. Satu balasan singkat datang dari Fara. Hoeeekkkkk Abinaya tertawa kecil. Kini pikirannya kembali sibuk mencari cara untuk bisa datang ke club. Dia belum pernah ke night club sebelumnya. Beruntung dia memiliki sahabat yang berbeda prinsip hidup dan juga gaya hidup tapi begitu baik dan tulus, namanya Deran. Meski ia sempat kecewa karena ia merasa sarannya untuk mencoba mencium Fara berakhir mengenaskan, tapi untuk soal satu ini, Deran pasti ahlinya. Dia biasa clubbing. Abinaya mengirim satu pesan WA untuk Deran. Ran, temeni aku ke Love Night Club ya. Fara ntar malam mau datang ke club itu. Rasanya aku nggak tenang biarin dia main ke club. Sesaat kemudian datang balasan dari pengusaha furniture itu. Beres. Love night club mah punya temen gue. Gue selalu gratis kalau datang ke sana haha. Abinaya bisa bernapas lega. Semoga saja malam ini rencananya untuk mengawasi Fara berjalan lancar tanpa bisa diketahui Fara. ****** Abinaya dan Deran memasuki Love Night Club dengan ekspresi masing-masing yang berbeda. Jika Deran terlihat santai dan tanpa beban, lain dengan Abinaya. Baru saja melangkahkan selangkah kaki, dia sudah merasa tak nyaman dengan suasana club yang begitu ramai dan bising. Musik hip hop menggaung di seantero sudut. Kepulan asap rokok membuatnya terbatuk-batuk. Belum lagi pemandangan para pengunjung yang berjoged di dance floor menambah sepat di matanya. Ia juga melihat banyak laki-laki maupun perempuan yang duduk-duduk sambil meminum alkohol. Matanya menyipit dan menatap beberapa spot untuk mencari keberadaan Fara. Ada rasa lega yang membahana, seakan meruntuhkan dinding kecemasannya ketika melihat Fara sedang berkumpul dengan teman-temannya di salah satu meja. Ia menatap Fara begitu awas. Gadis yang mengenakan dress hitam dengan rok di atas lutut tampak ceria, tertawa begitu lepas sedang tangannya menggenggam segelas minuman. Abinaya menghela napas. Sepertinya Fara begitu bahagia dengan gelak tawa yang masih bisa meluncur dari bibirnya sementara ada sebuah hati yang mendadak gersang karena perlakuannya. Fara mana tahu, Abinaya bergulat dengan segunung rasa bersalah dan mendung merajai hatinya kala dengan kejamnya Fara membiarkan pesan-pesan WA Abinaya terpampang begitu saja di layar. Tak membalas semalam suntuk, dan ketika membalasnya nada arogan serta amarah masih terasa begitu kuat. Abinaya dan Deran duduk di tempat yang agak jauh dari Fara. Abinaya begitu serius mengawasi Fara. Dalam hati ia merutuk, kok bisa gadis berambut panjang itu berhaha-hihi setelah sukses membuatnya galau setengah mati. Seorang cowok memberikan sebuah gelas berisi minuman yang Abinaya duga adalah minuman keras. Fara meneguknya. Bahkan cara meminumnya saja sudah membuatnya terlihat semakin seksi. Astaghfirullah, kenapa Fara begitu menggoda di matanya. Buru-buru Abinaya beristighfar. Sialnya dia tak bisa mengenyahkan pandangannya. Dia harus mengawasi Fara tanpa lengah sedikitpun. Entah kenapa dia khawatir memikirkan masa depan Fara jika terus-menerus berkubang di dunia malam. Night club bukan tempat yang aman untuk perempuan. Deran menyenggol lengan sahabatnya, “Fara kayaknya agak mabuk Bi. Lihat deh...” Abinaya sudah mulai tak tenang. Rasanya dia ingin menghampiri Fara. Lama-lama ada gelagat aneh dari Fara. Dia terlihat tak tenang dengan cara duduk yang sudah belingsatan. Yang membuat mata Abinaya memanas, seorang cowok memapahnya ke ruangan lain. Abinaya memiliki firasat yang tak enak. Dia beranjak mengikuti arah kemana sang cowok membawa Fara. Deran mengikutinya. Di ruangan itu, Abinaya kaget bukan main melihat si cowok berusaha mencium Fara tapi Fara memberontak dalam keadaan sudah sempoyongan. “Lepasin dia.” Abinaya menatap pemuda itu geram. “Siapa lo?” Sang pemuda tak kalah menatapnya tajam seperti singa yang hendak menerkam. “Aku pacarnya,” tegas Abinaya. Pemuda itu mengernyit. “Pergi lo dari sini. Gue bakal minta teman gue buat nglarang lo main lagi ke clubnya kalau lo berani macem-macem sama perempuan.” Deran ikut menghardik laki-laki itu. Sang pemuda tahu siapa Deran, sahabat baik pemilik club. Pemuda itu mundur. Dia tak mau berurusan dengan Deran, meski dia begitu kecewa karena misinya untuk bersenang-senang dengan Fara gagal. Pemuda itu sengaja mencampurkan obat perangsang ke dalam minuman Fara agar bisa mengajak Fara naik ke ranjang. Selentingan kabar menyebutkan Fara masih perawan. Dia ingin menjadi orang pertama yang berhasil membawa Fara ke ranjang setelah sekian banyak cowok harus beringsut mendapat amukan Fara kala mereka mencoba merayu gadis yang menjadi primadona club itu. Abinaya memapah Fara yang sudah mabuk keluar dari club. Deran menyarankan Abinaya untuk mengantar Fara pulang. Abinaya menyanggupi. Ia mendudukan Fara di jok sebelah kemudi dan memasangkan seat belt, melingkari tubuhnya. Sepanjang jalan Fara terus meracau. Beberapa kali ia memanggil nama Gharal. Kini Abinaya bingung hendak membawa Fara kemana. Rasanya tak mungkin jika dia mengantar Fara ke kostnya. Teman-teman kostnya bisa salah paham dan reputasinya sebagai dosen dipertaruhkan. Orang akan mengira dia memanfaatkan kesempatan membawa mahasiswi ke night club dan membuatnya mabuk. Selain itu, kejadian ini juga bisa saja menyulitkan keadaan Fara jika ibu kostnya yang tinggal di sebelah kost Fara tahu akan kelakuan salah satu penghuni kostnya. Abinaya memutuskan membawa Fara pulang ke apartemen. Setiba di area parkir apartemen, Abinaya memapah Fara dengan sedikit kesulitan karena Fara terus meracau dan beberapa kali berusaha mencium dirinya. Kini Abinaya tahu, sepertinya pemuda itu memasukkan sesuatu ke dalam minuman Fara. Meski Abinaya tidak punya pengalaman dengan yang namanya obat perangsang tapi salah seorang temannya yang sudah menikah pernah bercerita padanya tentang pengalamannya memberi obat perangsang pada istrinya yang tak b*******h. Ciri-ciri yang disebutkan temannya seolah ada pada perilaku Fara yang mendadak agresif. Saat tiba di kamar, tanpa Abinaya Duga, Fara mendorong tubuh Abinaya hingga terpelanting ke ranjang. Tubuh seksi Fara menindih Abinaya dan membuat Abinaya sesak napas. “Panas.. gerah....” Fara melepas dressnya menyisakan underwear. Abinaya semakin kalang kabut. Sebelum Abinaya beranjak, Fara membungkam bibirnya dengan ciuman yang begitu brutal. Abinaya terpekik. Dadanya berdebar tak menentu. Ia melepas ciumannya dan menepuk kedua pipi Fara. “Sadar Far. Kamu berada dalam pengaruh alkohol dan obat perangsang.” Fara tersenyum. Tatapannya terlihat mengabur. “Aku kangen banget sama kamu, Gha. Please... aku nggak tahan.. Rasanya panas, gerah dan aku menginginkan sentuhanmu.” Jelas sudah Fara menyebut nama Gharal. Fara membuka kancing kemeja Abinaya satu per satu. Abinaya mencoba menstabilkan napas. Bagaimanapun dia laki-laki dewasa yang normal. Diperlakukan demikian oleh Fara membuat libidonya bergejolak. Bahkan ada sesuatu yang sudah menegang. Abinaya terbuai dengan ciuman Fara. Dia membalik tubuh Fara dan membalas ciuman Fara lebih ganas. Fara menjambak rambut Abinaya pelan sementara kakinya bergerak tak beraturan. Abinaya melepas ciumannya dan menatap wajah Fara begitu menelisik. Gairah yang sudah menyala seakan meninggalkan jejak semburat merah di kedua pipi gadis itu. “Jangan berhenti nyium aku.” Fara menarik kepala Abinaya dan membenamkannya di dadanya. Tak ayal Abinaya lupa pada prinsipnya untuk tak lagi mencium perempuan. Hingga akhirnya semilir angin seakan membelainya lembut dan menyadarkannya sebelum ia berbuat lebih jauh. “Astaghfirullah.. nggak seharusnya aku berbuat seperti ini sementara Fara dalam keadaan tak sadar.” Rasa bersalah kembali menelusup ke dalam hati. Fara masih mencoba untuk terus mencium Abinaya tapi Abinaya menolak. Dia menepuk pipi Fara berkali-kali untuk menyadarkan Fara. Sesaat kemudian Fara tak sadarkan diri. Dia tertidur karena pengaruh alkohol sudah semakin kuat menghilangkan kesadarannya. Abinaya mengembuskan napas kelegaan. Dia beristighfar sekali lagi. Abinaya merasa sangat berdosa karena tak bisa mengendalikan diri. Abinaya menyelimuti tubuh Fara dengan selimut tebal miliknya. Ia tak akan membiarkan kedua matanya semakin terpesona dengan kemolekan tubuh Fara yang membangkitkan sisi liarnya sebagai laki-laki. Abinaya mengenakan kembali kemejanya lalu turun dari ranjang. Dia keluar kamar dan duduk di sofa. Abinaya mengusap wajahnya. Dia raba bibirnya yang sepertinya sedikit bengkak karena Fara menciumnya dengan menggebu-gebu. Abinaya menunduk. Rasa bersalah dan berdosa semakin menghimpit dan menyesakkan. Ya Allah aku ini dosen, tenaga pendidik, tapi aku malah berbuat m***m dengan mahasiswi yang kuliah di universitas tempat aku bekerja... Ampuni dosaku ya Allah.... Abinaya merebahkan badan dan mencoba memejamkan mata. Ia harap esok hari, tak akan ada kejadian rumit yang kembali menjerumuskannya ke kemaksiatan. ****** Fara mengerjap. Ia kucek matanya berkali-kali. Saat membuka mata, ia begitu terperangah mendapati dirinya hanya mengenakan pakaian dalam dan terjebak di ruangan asing. Fara menyingkap selimut yang menutup tubuhnya lalu turun dari ranjang. Dia menatap bayangan tubuhnya di cermin. Panik dan kecemasan akut seketika menyergap kala ia mendapati ada banyak kiss mark di leher dan dadanya. “APA YANG TERJADI SEMALAM? “ Fara menjerit histeris, “TIDAAKKKKK...!!!!” ******
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD