Aku tahu genggaman tanganku pada Kafka menguat. Aku butuh kekuatan dan dukungan dari Kafka. Hatiku berdenyut nyeri, denyutan yang kini akrab denganku. Denyutan yang selalu timbul atas satu nama, Prima.
||
||
||
"Jadi udah naik level nih?"
Kafka bertanya padaku, kami sedang mengantri untuk membeli soto mie di kantin dekat kantor. Farhan dan Tiara duduk menunggu meja, Sissy dan Teddy memesan makanan lain.
Aku melirik sinis, "gitu deh." Jawabku singkat.
"Gak main-main naiknya ya, langsung jadi pacar. Haha, kirain mau dibikin abang-adek-zone." Lanjut Kafka lagi.
Aku tidak menanggapi. Aku memesan soto mie untuk diriku sendiri, Tiara dan Kafka.
"Nanti diantar Mbak."
"Oh oke, makasi ya Bu."
Kafka berlanjut memesan minum, "teh botol dingin Kaf."
"Terus TRAP langsung lenyap, canggih banget mas Prima." Tiara masih membahas soal TRAP dengan Farhan.
"Yang penting sekarang sudah clear."
"Heum."
"Diapain itu si Ola?" Sissy merangsek kepo.
"Nah tuh diapain, sampe dia langsung delete itu web." Tiara memantik api.
"Diperkosa beneran kali sama mas Prima hihihihi." Sissy terkikik.
"Siapa, siapa?" Kafka datang dengan dua botol teh dingin.
"Lagi ngomongin Ola, diapain sama si bos ya sampe gak bisa berkutik."
Aku merasakan lirikan Kafka padaku, "ya gak tahu lah. Rahasia Perusahaan." Jawabnya kalem.
"Tumben mulut lo gak sadis sama Naya." Farhan menepuk punggung Kafka.
"Kasihan lagi broken heart. Hehee." Dia mamerkan cengiran tanpa dosa, aku melengos membuang muka ke arah lain.
Seorang perempuan cantik menggunakan blazer merah dengan stiletto hitam menghampiri meja kami.
"Kaf, gue cariin di kantor. Kalian lagi makan disini." Serunya pada Kafka dan tersenyum manis padaku dan yang lain.
Kafka berdiri, wajahnya kaget. Apakah ini pacar barunya? Dasar monyet ini.
"Ngapain lo?"
"Nyari mas Prima. Gak ada di kantor ya? Sama kalian gak?"
Mas Prima?
Kafka berdiri dan mengajak perempuan itu menjauh, tapi dia malah duduk di depanku.
"Ini Ola, Gaes!" Kafka bersuara.
Semua terdiam, tak terkecuali aku. Ola mengulurkan tangannya padaku.
"Naya." Aku memperkenalkan diri, Ola mengangkat alis bertanya pada Kafka.
"Iya adeknya Tegar."
Kafka menjawab pertanyaan tanpa kata itu. Gak heran, wajahku dan Bang Tegar seperti kembar. Bedanya dia bertubuh tinggi besar dengan otot-otot seperti binaragawan.
"Oh, aku kenal sama Tegar. Dia sehat?" Tanyanya, ramah.
"Sehat."
Ola menyalami yang lain. Bagaimana perasaanmu bertemu dengan orang yang jadi dalang dari masalah di Perusahaanmu beberapa hari lalu?
Tiara, Sissy menunjukkan ketidaksukaan mereka. Farhan dan Teddy tipe cowok cool yang terkesan tidak terpengaruh kecuali pada dua benjolan besar yang membumbung di balik blazer perempuan yang sekarang memesan minuman itu.
Kafka yang khawatir dan terus menerus menatapku canggung atau entah lah tatapan apa. Aku tersenyum, memberi isyarat bahwa aku baik-baik saja. Memang benar kan?
"Jadi mas Prima kemana Kaf? Ada yang tahu?" Tanya Ola, tanpa dosa.
Seolah kasus kemarin hanya mainan baginya.
"Ngomongnya sih ke Car Wash tadi, tapi gak tahu kalau ke tempat lain."
"Gue telepon gak dijawab-jawab, coba Kaf telepon pake nomor lo. Dijawab kali."
"Gak ada pulsa, Naya aja coba." Gak mungkin dia gak ada pulsa, monyet ini.
"Coba Nay, please."
Kenapa harus ada kata please, sih? Aku mengeluarkan ponsel dan menghubungi nomor mas Prima.
Pesanan kami datang, yang lain mulai sibuk dengan makanannya masing-masing.
"Ada apa Nay?" Deringan keenam mas Prima menjawab.
"Ada yang mau bicara Mas, sebentar." Aku memberikan ponselku pada Ola.
"Kamu dimana Mas?" Ola menjauh dari kami, entah apa yang dibicarakan.
Boleh jujur? Selera makanku hilang. Kafka menyodorkan pesananku dan menyuruhku makan. Aku hanya mengaduk-ngaduknya tanpa niat untuk memakan.
"Makan Nay. Yang lain nanti mikir lo gimana-gimana ada Ola." Kafka berbisik padaku.
"Yang lain juga tahu gue naksir mas Prima." Aku balas berbisik.
"Makan!" Kafka menatap mataku tegas. Seperti ayah saat marah, seketika aku menurutinya dan mulai menyendok makananku.
"Makasi ya Nay." Ola menyerahkan ponselku kembali.
"Gimana mas Prima?" Kafka bertanya pada Ola, dibawah meja tangannya menggenggam tanganku. Menghibur.
"Ngajak makan di luar, sebentar lagi jemput kesini. Hehe, thankyou ya semua. Gue duluan." Ola menepuk pundakku.
Aku tahu genggaman tanganku pada Kafka menguat. Aku butuh kekuatan dan dukungan dari Kafka. Hatiku berdenyut nyeri, denyutan yang kini akrab denganku. Denyutan yang selalu timbul atas satu nama, Prima.
Tak ada tanya, tak ada maaf dari mas Prima. Aku memandangi ponselku setengah berharap bahwa mas Prima akan menenangkan hatiku dan aku akan percaya padanya tanpa syarat. Tapi tidak ada tanda-tanda darinya, setidaknya untuk menyadari bahwa hatiku sakit luar biasa.
Kafka memelankan langkahnya, dan kini mensejajari langkahku. Merangkul bahuku dan menepuknya dengan lembut. Tidak ada kata-kata sok bijak atau menenangkan lainnya. Tapi ini yang kubutuhkan, aku hanya perlu sandaran dan dimengerti dalam diam.
Di depan kantor aku mendapati mas Prima yang sedang merokok dan Ola yang entah bicara apa, wajahnya memerah. Mereka menoleh melihat kedatangan kami dari makan siang. Tatapan mas Prima jatuh padaku dan lengan Kafka di bahuku. Aku melengos dan masuk ke dalam kantor melemparkan sedikit senyum pada Ola yang meminta perhatian mas Prima.
Hati kecilku menjerit senang, melihat mas Prima kehilangan konsentrasi melihat Kafka merangkulku. Kemudian aku sadar, dia kan gak punya perasaan apa-apa. Mana mungkin cemburu. Aku berlebihan.
Sampai sore Kafka bekerja berbagi meja denganku. Ia memperbarui tampilan blognya dan membantu merapikan laman CRAP. Mengajakku bercanda. Aku tahu, dia berusaha menghiburku.
Mas Prima sudah duduk di kursinya sejak jam tiga tadi dan Ola sudah pergi. Kupikir mereka akan jalan keluar, ternyata hanya bicara di depan dan pindah ke ruang meeting. Lalu, Ola pergi dengan mata sembab. Masih acuh padaku dan Kafka yang asyik haha hihi dengan Sissy dan Tiara.
Dia tidak akan cemburu, dia tidak akan marah kan?
Tiara dan Sissy sudah bersiap pulang, aku mengejar tulisan yang harus dipublish besok. Kafka sedang shalat maghrib, laptopnya dibiarkan standby di mejaku.
"Ikut Mas ke lantai tiga, kita harus bicara." Mas Prima berdiri di depanku, Tiara dan Sissy sedang melirik-lirik dan curi dengar.
"Disini aja." Jawabku, enggan beranjak dari kursi.
"Nay, ayo." Mas Prima memegang lenganku, meminta dengan tegas.
Aku berdiri dan mengikutinya naik tangga, menoleh ke Tiara dan Sissy yang bercie-cie ria dari tempatnya.
Mas Prima menutup pintu, aku menahannya. "Gak usah ditutup."
Dia mengalah dan membiarkan pintu sedikit terbuka. Mas Prima menarikku duduk di atas kasur single dan ia menggeser kursi untuknya.
"Maaf."
"Untuk apa?"
"Ola dan apapun yang dia bilang tadi."
"Dia gak bilang apa-apa."
"Kita janji untuk mencoba kan Nay? Malam ini nonton ya?"
"Nonton apa?"
"Bebas, kamu mau nonton apa?"
"Lagi gak mau nonton."
Mas Prima mengelus wajahku, "kamu mau kita melakukan apa?"
"Aku mau istirahat di rumah."
"Nay, jangan gini."
"Aku bingung."
"Bingung kenapa?"
"Kenapa Mas pikir, karena Mas pacaran dengan Naya Mas bisa lupain Ola?"
"Karena perasaan kamu saja cukup untuk kita, Nay."
Aku menggeleng, "suatu hubungan gak bisa jalan kalau perasaan yang satu gak berbalas Mas."
"Kamu mau bersabar mendampingi Mas sampai Mas hanya mencintai kamu?"
Apa-apaan ini?
"Aku gak yakin. Ola dan segala kelebihannya, gak mungkin bisa hilang dari hati dan pikiran Mas Prima begitu saja."
"Kamu minder?"
"Liat aja Ola, aku gak ada apa-apanya."
"Tolongin Mas Nay, mas gak bisa kembali dengan Ola."
"Kenapa?"
"Mas gak bisa cerita, tolong Nay."
"Backstreet?" Mas Prima mengangkat kepalanya menatapku. "Mas gak ada niat untuk cerita ke bang Tegar atau yang lain? Selain Kafka, maksudku."
"Kamu mau kita nunjukkin di depan mereka?"
Aku menggeleng, "gak usah, aku gak mau yang lain tahu."
"Oke. Sabtu ini ikut ya ke pulau seribu?"
"Oke."
"Satu lagi Nay," Mas Prima menghela napas, "yang tadi dengan Kafka, tolong jangan diulang. Mungkin Mas belum merasakan apa-apa, tapi tolong hargai Mas sebagai pacar kamu."
Aku tertawa, laki-laki dan pride-nya. "Kalau Naya minta Mas gak ketemu lagi sama Ola, bisa?"
"Ini beda."
"Kalau gitu jangan larang aku dekat dengan Kafka!"
Karena dia yang menggenggam tanganku saat orang yang kamu cinta bilang kamu ngajak dia makan, mas!
Aku berdiri dan ingin beranjak pergi, lengan mas Prima merangkulku dari belakang. Menahan langkahku.
"Sabar ya Nay, Mas akan kasih hati Mas seutuhnya untuk kamu. Mas janji."
"Kalau gak bisa menepati, sebaiknya jangan berjanji."
Aku mengulang kata-katanya saat di mobil tempo hari. Curhatan pertama mas Prima, mungkin tentang Ola. Aku merasakan kecupan di kepalaku.
"Aku antar pulang." Katanya kemudian.
Aku tahu, aku sudah kalah. Perasaanku begitu besar untuk mas Prima. Aku gak bisa nolak meskipun aku tahu sedang menghancurkan diri sendiri.
Aku turun dan menuju mejaku, merapikan tas dan mematikan komputer. Laptop dan barang-barang Kafka sudah tidak ada, kulihat mobilnya juga sudah pergi. Aku mengirim pesan.
Me : eh monyet, balik gak bilang2, gue kan mau nebeng
Mon-K : Sama mamas lo aja, pacaran sih rasa bos-karyawan gitu.
Me : Iri aja
Mon-K : is writing a message..
Kemudian offline. Laahh si monyet? Yasudahlah, mungkin sedang nyetir.
"Yuk!" Mas Prima berdiri di depanku.
Aku mengikutinya keluar dan menuju mobil Xtrail hitam yang terparkir anggun di depan kantor.
~tbc~