Bang Ricky datang pagi-pagi sekali ke rumah kami, dengan Mbak Astrid, istrinya dan kedua anak kembar mereka, Faza dan Fizi. Hari ini kami berencana untuk berziarah ke makam Bunda.
"Tanteeeeeeeeee!" Faza berlari ke arahku, rambutnya yang dikepang dua mengayun berlawanan dengan gerakan kepalanya.
"Haiii Cantik, udah sarapan belum?" Aku menangkap tubuh mungilnya, Faza mengangguk semangat.
Fizi nyengir di hadapanku, memperlihatkan giginya yang jarang. Sambil meraih tanganku untuk disungkem. Aku membawa si kembar ke meja makan, menyiapkan sarapan untuk ayah.
Tak lama Winda tiba, katanya ia ingin ikut berziarah juga dengan kami. Mengingat tak lama lagi dia akan menjadi keluarga, aku senang akhirnya akan merasakan punya saudara perempuan (bang Iky dan istrinya saat baru menikah tinggal dengan keluarga mbak Astrid). Winda dan Bang Tegar sudah janji akan tetap tinggal di rumah bersama aku dan ayah. Aku sudah membayangkan acara masak-memasak berdua dengan Winda. Yang selalu aku khayalkan jika saja Bunda masih ada, kami pasti jadi tim yang kompak di dapur.
Bunda dimakamkan di pemakaman umum Halim Perdana Kusuma, dekat dengan makam mbah kakung dari pihak Bunda. Menjelang bulan ramadhan kami akan bersama-sama menziarahi Bunda dan mbah, mengirimkan doa dan membersihkan makamnya yang ditumbuhi rumput liar.
"Iky mau lanjut ke tempat mamanya Astrid, Ayah mau ikut? Atau diantar Tegar?" Berangkat tadi, ayah ikut mobil bang Iky, sedangkan aku ikut bang Tegar.
"Iya, Ayah ikut Tegar aja. Ada janji dengan Pak Gino. Antar Ayah dan Naya, ya Gar?" Bang Tegar mengacungkan jempolnya. "Salam untuk papa dan mama ya Trid, ayah belum sempat kesana."
"Iya yah, duluan ya yah. Nay, Win. Hati-hati bawa mobilnya Gar!"
Mbak Astrid mencium tangan ayah, memelukku dan Winda, menepuk pundak bang Tegar. Aku menciumi si kembar yang menjerit-jerit takut ditinggalkan ayah bunda-nya.
Kami pun pulang, aku tidak ada rencana untuk pergi kemana-mana hari ini. Rasanya sudah lama tidak quality time dengan ayah.
"Nay, balesin wa dari Prima deh. Ada apa perlu apa dia?"
Bang Tegar mengulurkan ponselnya padaku, sementara tangan kanannya masih memegang setir. Aku meraihnya dan membuka aplikasi w******p.
Prima 78 : Bro, lu dimana? Ke ruko bisa gak, tepar nih gue.
Ya ampun, mamasku
"Bales apa nih Bang? Mas Prima sakit, minta tolong abang ke ruko."
"Waduh, abis anter kalian Abang udah janjian sama WO, jam berapa yang ketemu mbak Dewi?" Bang Tegar menoleh ke Winda, bertanya.
"Jam 11." Winda menatap dengan tatapan meminta maaf. Aku melihat jam, sudah jam 11 kurang seperempat malah.
"Turunin aku aja di kantor, kasian mas Prima sendirian. Teddy sama Farhan lagi pada pulang. Si monyet lagi di apartemen."
"Siapa monyet, Dek?" Ayah menengok, aku nyengir memasang wajah innocent dan teraniaya.
"Kafka yah, yang pembawa acara jalan-jalan itu."
"Calon mantu ayah." Bang Tegar menyahut, aku pukul pundak kanannya.
"Kok dipanggil monyet, emang mirip monyet?"
"Banget, kelakuannya."
"Ganteng kok Yah, biasa deh anak jaman sekarang panggilan sayangnya kan aneh-aneh."
"Makin ngaco Abang mah ih."
Ayah terkekeh, "ya gak apa-apa, di seriusin. Biar cepet ketemu Ayah."
"Ih Ayah jadi ikut-ikutan abang deh, gak kok Yah."
"Yaudah gak pake nangis juga kali." Bang Tegar terbahak, aku menjambak rambutnya dengan kesal.
Bang Tegar menurunkanku di pintu masuk kawasan Ruko tempat mas Prima tinggal, yang juga kantorku tentu saja. Ayah sempat meledekku tadi, cinta banget sama kantor hari minggu aja ngantor.
Aku cuma cinta sama yang tinggal di kantor kok, Yah. Batinku saja, of course!
Pintu depan tidak dikunci, kantor Notaris di sebelah kantor kami juga tutup dan sepi. Tidak ada satpam yang biasanya tidak pernah absen di tanggal merah. Aku segera menaiki tangga dan menuju ke lantai 3. Dari lantai dua aku bisa mendengar suara batuk-batuk mas Prima yang lemah, aku segera berlari ke atas.
Dan,
"Astagfirullah!"
Mas Prima sedang duduk di atas ranjang single-nya tanpa baju, hanya mengenakan celana boxer berwarna hitam. Pintu kamarnya terbuka dan tanpa sengaja aku melihatnya begitu saja.
"Aduh, maaf Nay. Aku kira Tegar, sorry. Bentar ya." Suaranya sengau, mas Prima flu. Aku membalikkan badanku, membelakanginya.
"Mas udah makan? Minum obat?" Tanyaku tanpa berbalik.
"Belum, semalam nyetok ini aja sari kacang hijau dan roti. Sama minum obat flu yang ada. Tapi begini banget ya."
"Begini gimana?"
"Gak enak. Sudah kok Nay, kamu bisa berbalik."
Fiuuuh, demi apapun ini awkward. "Namanya juga sakit Mas, mau Naya antar ke Dokter?"
"Gak usah Nay, cuma flu kok. Mas tadi mau minta Tegar temenin disini."
Ya ampun, manja banget. Sini Mas, aku yang manjain. Uluuhh.
Aku menghampiri mas Prima yang kini mengenakan kaos oblong warna abu-abu gelap dan memeriksa suhu tubuhnya. Masih tinggi. Kulihat kotak-kotak bekas sari kacang hijau kemasan, bungkus roti dan sekotak s**u yang masih penuh di meja kecil dekat tempat tidur. Aku segera mengambil kantong plastik dan merapikan semua sampah.
"Mau makan bubur?" Aku bertanya, sambil mengambil kursi di dekat pintu.
Mas Prima berbaring, "kamu sudah makan?" malah bertanya balik padaku.
"Belum masuk jam makan siang kok."
"Pesan online aja, bubur manado yang di blok sebelah buka gak kalau hari Minggu?"
"Buka, tapi sampai jam 3 sore aja. Mau itu?"
"Iya, Mas pesan dari aplikasi saja." Mas Prima mengutak-atik ponselnya. "Tegar nyuruh kamu kesini?"
"Hhm, gak sih. Cuma bang Tegar gak bisa kesini, udah janjian sama orang WO. Naya inisiatif aja, khawatir Mas Prima butuh bantuan."
"Makasi ya, hari Minggu gini masih mau dateng ke kantor."
Mas Prima tersenyum! Bukan jenis senyuman sopan seperti biasa, atau senyuman terima kasih, tapi senyuman dengan rasa lega dan binar jenaka di matanya. Ohemji, sungguh menggemaskan! Dan langka. Harusnya kuabadikan senyumnya, tapi kayaknya dia akan langsung mengusir aku deh.
"Wah harus hitung lembur, besok Naya report deh ke Tiara."
Mas Prima tertawa dengan suara yang serak. "Mas pesanin kamu sop konro, suka kan?"
"Yang terbaik!" Aku tersenyum.
Mataku melihat sekeliling kamar kecil yang dihuni mas Prima selama lima tahun ini. Khas kamar cowok, yang rapi dan multifungsi. Mas Prima mengatur kamarnya seperti kantor kecil yang sederhana. Mungkin untuk saat-saat seperti ini, saat dirinya sedang sakit tapi kerjaan overload. Laptop di samping tubuhnya menyala, pasti mas Prima sedang mengerjakan sesuatu tadi.
Lemari kayu dua sisi tanpa pintu menampakkan jejeran baju dan celana mas Prima yang tertata. Sisi sebelahnya tergantung kemeja-kemeja yang masih rapi dengan plastik laundry. Ada tv flat yang menempel di dinding yang sejajar dengan pintu. Aku baru menyadarinya.
AC yang terletak di atas pintu mati, pantas saja tadi mas Prima buka baju. Mungkin gerah, tapi gak cukup kuat untuk menyalakan pendingin ruangan.
Mas Prima sedang asyik menatap layar laptop, sambil sesekali membersit hidungnya yang kini memerah.
Sakit aja masih keliatan seksi sih Mas.
Aku menggelengkan kepala menghilangkan pikiran nistaku. Mas Prima menoleh dan tersenyum lemah, tatapan matanya bertanya. Mungkin bingung aku menggelengkan kepala tanpa sebab. Kurasakan pipiku memanas.
"Kamu gak jalan hari minggu?" Tanyanya kemudian, mungkin mengerti mengapa wajahku bersemu merah.
"Ini baru pulang ziarah dari makam Bunda."
"Iya tahu, maksud mas jalan sama teman atau pacar." Oh mas Prima tahu, mungkin bang Tegar sudah wa.
"Gak ada pacar. Temanku, ya lagi pada sibuk pacaran kayaknya."
"Lagi gak mau pacaran?"
"Eh?"
Tumben mas Prima banyak nanya, bukannya mas Prima tipe orang yang kuat berdiam diri dengan siapapun disampingnya?
"Nay?"
"Oh, gak gitu Mas. Memang belum ada pacar." Jawabku, kikuk.
"Pacaran sama Mas mau?"
"Ya?" eh, "APA????"
Aku salah dengar gak sih? Wajahku pasti bloon banget, mataku melotot sempurna menatap mas Prima. Seolah baru saja dia mengatakan suatu hal yang membuat Dunia berguncang. Dia terkekeh pelan dan terbatuk-batuk kecil. Membersihkan tenggorokannya.
"Kenapa kaget? Gak mau ya?" Tanyanya, dengan wajah pura-pura terluka. Dia pasti bercanda kan?
"Ehh, bukannya gitu mas. Hehe. Tapi kirain Mas serius." Aku ngomong apa sih.
"Memang serius."
..
..
"Nay? Kalau Mas gak salah dengar, kamu punya perasaan sama Mas. Betul?"
"Engg.."
"Mas kira gak ada salahnya kita mencoba, kamu single. Mas juga. Kenapa kita gak saling mengisi, gitu kan?"
Aku harus ngomong apa????????
"Mas.. Tapi," aku menghela napas, "Naya kira, Mas punya pacar."
Mas Prima menaikkan sebelah alisnya, "darimana kamu nyangka begitu, pernah liat Mas jalan sama perempuan?"
Sering.
"Engg, ya mungkin aja kan. Naya gak tahu banget Mas di luar kayak gimana."
Mas Prima tertawa lagi, kali ini renyah.
"Jadi, kamu mau gak?"
Aku mengerjap beberapa kali, memastikan ini bukan mimpi.
"Nay?" Mas Prima memotong jarak di antara kami, menggenggam tanganku, meremasnya pelan. "Pacaran sama Mas ya?"
Aku masih mencerna kata-kata mas Prima. Apakah aku sedang berdelusi? Mas Prima yang tidak pernah melihatku ini, memintaku jadi pacarnya? Atau mas Prima sedang mengigau, aku meraba keningnya. Panasnya masih dalam tahap wajar kok. Demam biasa, tidak menyengat.
"Ya ampun Naya, kamu kira Mas ngelindur?"
Aku menatap mata mas Prima, mencoba mencari maksud setiap kata-katanya. Tapi aku tidak menemukan apa-apa selain, sorot mata memohon. Mas Prima, memohon padaku?
Tiba-tiba, aku merasakan bibir mas Prima yang lembut mengecup bibirku pelan dan singkat. "Mas anggap kamu jawab iya." Katanya lagi, memundurkan kepalanya.
Bernapas Kanaya! Inhale, exhale.
"Jangan bilang kamu belum pernah ciuman."
Memang!
"Beneran Nay?" Kali ini mas Prima memegang lenganku, membuatku menatapnya. Wajahku panas. "Ya ampun, hahaha. Maaf Nay, abis kamu lucu sih diam begitu."
Mas Prima kerasukan apa sih, jadi bawel begini. Aku menarik lenganku dan berdiri.
"Nay, Mas serius."
"Mas ada perasaan sama Naya?"
"Perasaan kamu cukup untuk Mas, Nay."
Apa maksudnya?
"Bantu mas lepas dari bayang-bayang dia, Nay."
Aku termenung, menatap mas Prima tidak percaya. Dia mau apa? Mau aku membantunya melupakan sang mantan? Apa aku bisa?
"Naya gak yakin."
"Kamu suka kan sama Mas?"
"Tapi Mas--"
"Jawab aja Nay, liat mata Mas."
Aku menatap matanya, sorot mata itu lelah dan memelas. Mana mungkin aku tega? Tapi mas Prima tidak punya perasaan apa-apa padaku. Bisakah aku menjalaninya, sendiri?
Selama lima tahun, aku cukup puas mengagumi mas Prima sendirian. Sekarang, apa aku mampu mencintai dia sendiri? Sedangkan aku tidak akan pernah tahu, kapan mas Prima benar-benar berpaling padaku. Tidakkah ini menyakitkan?
"Aku sayang mas Prima, tapi apa itu cukup?"
"Cukup Nay, mas hanya butuh itu. Kamu mau kan bantu mas melupakan Aurora? Dan membuat mas mencintai kamu?"
Aku ragu, sumpah aku ragu. Tapi egoku mengangguk, egoku menginginkan mas Prima menjadi kekasihku. Orang yang bisa aku cintai secara terbuka.
Benar kata Kafka, cinta itu b**o. Membuatku b**o. Meski aku tahu persis pria yang sedang menatapku penuh harap ini sama sekali tidak mencintaiku, tapi aku menyanggupi permintaannya untuk menjadi kekasih yang mencintai dia sendiri saja.
"Makasi ya Nay." Mas Prima memelukku, aku merasakan suhu tubuhnya yang masih panas.
Symphony dari Clean Bandit mengalun, mas Prima melepaskanku dan meraih ponselnya.
"Pesanan kita datang."
"Aku saja yang ambil." Aku meraih tas, mencari dompet.
"Ini." Mas Prima mengulurkan dua lembar uang seratus ribuan, aku mengambilnya dan turun.
Apakah aku baru saja jadian dengan mas Prima? Pria impianku? Tapi aku gak bahagia, bukan ini mauku.
~tbc~