Mas Prima turun menggunakan baju bola dan celana jeans.
"Ikut futsal mas?" Aku menyapa, mas Prima mengangguk.
"Ikut aja Nay, nanti lo balik sama Tegar."
Kafka menyambung pembicaraan tadi, aku sempat menolak untuk ikut ke lapangan Futsal danmemilih pulang dan berbaring sambil membaca n****+ yang baru kubeli.
"Kemaleman ah, gue capek mau istirahat." Jawabku.
"Kan malem minggu, gak ada pacar juga. Yekali nanti ketemu anak-anak ada kali yang bisa dipacarin." Kafka menepuk dahinya dengan lebay, memang dia lebay sih "lupa, cuma ada mamas yang bersemayam di hati."
Kontan wajahku memanas, tanpa melihat mas Prima aku mendaratkan tepukan pedas di lengan Kafka, yang punya lengan menjerit dengan dramatis.
"Maafkan kelancangan hamba, yang mulia!" Jeritnya saat cubitanku memutar di lengan kurusnya.
Sialan Kafka dan mulut jahanamnya!
***
Pada akhirnya aku tidak bisa menolak kesempatan untuk tinggal berlama-lama dengan mas Prima. Maka ikutlah aku ke pertandingan futsal bang Tegar dan teman-temannya. Termasuk Kafka. Tapi si bocah tengil itu memilih membawa Kabayan-nya, dengan dalih akan langsung pulang ke apartement sehabis futsal nanti. Dan dengan kerling mesumnya, ia berbisik pelan padaku, cukup membuat sekujur tubuhku meremang.
"Manfaatkan waktu yang kau miliki, anak muda."
Katanya tadi, yang membuat tanganku secara otomatis menoyor kepala penuh ide-ide kotor dan pikiran m***m nan nista itu.
Dan disinilah aku sekarang, dalam benda kotak yang bergerak membelah jalanan Jakarta. Bersama pria yang paling aku impikan selama lima tahun belakangan, mas Prima. Tidak ada radio atau musik yang menjadi latar kebisuan kami kali ini. Sepertinya mas Prima tidak dalam mood ingin mendengarkan musik. Aku maklum dan memilih memainkan anakku, Pou, memberinya makan dan mengajaknya bermain.
"Ayah gimana kabarnya?"
Suara mas Prima? Iyalah siapa lagi. Aku menoleh ke arahnya, mas Prima sedang menunggu jawabanku.
"Baik, alhamdulillah." Jawabku kemudian.
Basa-basi. Mas Prima hanya sekedar basa-basi padaku, kan? Aku tidak pernah punya nyali untuk mengajaknya bicara lebih. Bersama mas Prima selalu lebih dingin, menegangkan dan canggung. Meski telah mengenalnya bertahun-tahun, entah mengapa rasa itu sulit hilang. Dan untuk alasan yang tidak dapat kumengerti, hatiku terus saja mengharapkannya. Menginginkan mas Prima. Bahagia saat di dekatnya.
Mas Prima memarkirkan mobilnya di halaman Gung's Futsal, kulihat Kafka sedang berdiri di samping Kabayan sambil memainkan ponsel.
Kabayan Kafka itu adalah motor CBR berwarna merah hitam yang terlihat sangat besar bersanding dengan Kafka yang kurus seperti lidi. Kepalanya menoleh saat menyadari kedatangan kami.
"Udah ada siapa aja?" Mas Prima menghampiri Kafka.
"Agung, Dino, Tegar tuh mobilnya." Kafka memalingkan wajahnya ke arah mobil sport berwarna hitam milik abangku.
Aku pamit dan berjalan masuk mendahului mereka yang masih sempat merokok sebelum berolah raga, aneh kan? Aku melihat Winda sedang menelpon di luar pintu masuk, ia melambaikan tangan begitu melihatku. Winda adalah tunangan bang Tegar, mereka akan menikah setelah Lebaran ini. Dan ia menolak kupanggil kakak, karena usianya hanya terpaut satu tahun di atasku.
"Sama siapa?" Winda memasukkan ponselnya ke dalam tas dan memelukku.
"Mas Prima." Jawabku dan mengajaknya masuk untuk duduk.
Semangkuk mie ayam diantarkan untuk Winda, "kamu udah makan? Mau pesen mie ayam juga?"
"Sudah kok, kamu aja. Eh aku mau minum aja deh." Kemudian aku memesan teh botol dingin.
Aku melihat mas Prima, Kafka, bang Tegar, Farhan, Teddi, Agung, Dino dan beberapa teman mereka yang aku lupa namanya berkumpul. Aku tidak tertarik mengikuti pertandingan ini, karena makhluk berjenis kelamin perempuannya hanya Winda dan aku. Jadi aku memilih bergosip ria dengan Winda, sambil membuka i********: dan sesekali memposting ke-alay-an kami.
Aku tersentak menyadari mas Prima duduk melorot di dekatku, kakinya diselonjorkan. Winda sedang ke toilet dan aku sibuk mengajak bermain Pou di ponsel saat mas Prima berjalan ke arahku.
Keringat membasahi wajah dan bajunya. Aku perhatikan cuping telinga dan wajahnya agak memerah, napasnya ngos-ngosan. Aku mengulurkan sebotol air mineral yang disediakan oleh Agung tadi.
"Makasi ya." Jawabnya dengan napas tersengal.
"Umur gak bohong ya Bro! Stamina loyo gitu, umur lo nambah banyak yak?" Bang Tegar berteriak dari lapangan, mas Prima mengumpat pelan sambil tertawa.
"Aaaakk auuusss auuussss, tenggorokan gue kebakar.. Auussss aaakkkkk."
Jeritan menyebalkan Kafka hinggap di telingaku. Bocah tengil ini sungguh ancaman terbesar dalam radius 500 meter jika aku sedang bersama mas Prima. Dengan penuh dendam aku melemparkan sebotol air mineral, sengaja biar dia tidak bisa menangkapnya.
"Pilih kasih kan, Naya. Mamas disodorinnya lembut banget pake perasaan, giliran 'Aa disambit. Gitu ih kamu mah." Ceracaunya dengan logat sunda yang kental sambil berjalan menghampiri kami.
"Tampang lo gak bisa dibaikkin." Dengusku sebal.
Winda yang baru kembali dari toilet tertawa.
"Coba kaka Winda beritahu hamba bagaimana menjinakkan anak-anak pak Abyzar."
"Berisik lo k*****t!" Aku menatapnya tajam.
"Gak konsisten lo mah, manggil gue yang bener dong. Tadi siang Monyet, sekarang k*****t. Besok kambing. Terus manggil sayang-nya kapan?"
Aku menginjak kaki Kafka keras-keras, ia mengaduh pelan sambil terkekeh. Mas Prima melemparkan botol kosong ke arahnya seraya menertawakan kami.
"Mimpi aja lo!"
"Wah kalau disuruh mimpi mah, gue bikin basah sekalian." Alisnya bergerak naik turun dengan menjengkelkan. Serta merta aku mencubit dadanya, cubitan tanpa ampun yang akan membuatnya berkata,
"Hampura Nyai, ampuni hamba yang mulia. Mulut manis hamba terlalu jujur berbicara." Cerocosnya.
Semua yang melihat adegan ini menertawakan kami, aku cemberut melepaskan cubitanku. Kafka mengaduh pelan tapi kekehan masih mengalir dari mulut laknatnya.
Setelah puas beristirahat dan ngobrol-ngobrol Bang Tegar mengajak kami pulang dan menyuruhku bersiap. Aku hendak mengambil tas saat melihat mas Prima mengaduh dan memijat keningnya pelan, yang lain tidak menyadari apa yang kuperhatikan, kukira mas Prima sedang tidak fit.
"Sakit kepala Mas?"
"Eh Nay, iya. Kebanyakan mantengin laptop kali ya." Jawabnya sambil melepaskan kacamata.
"Bisa nyetir?"
"Bisa kok, pelan-pelan." Ia tersenyum sambil meringis.
"Yauda hati-hati ya Mas."
Sumpah aku ingin bantu memijat dahinya, sekedar duduk di sampingnya atau membantunya meredakan sakit kepala itu. Aku juga mau beli obat kalau mas Prima menginginkannya, tapi lagi-lagi nyaliku ciut.
Aku pun berjalan pergi menghampiri bang Tegar dan Winda, mereka pamit pada yang lainnya.
"Udah sungkem sama mamas belom?" Kafka berdiri di belakangku.
"Kepo!"
"Nih," ia menyodorkan punggung tangannya di depan wajahku "sekarang sama 'Aa."
Kutepis tangannya kasar, "ora sudi! Weeekk." Aku meleletkan lidah ke arahnya, si monyet itu merenggut manja. Iyuuh.
"Berantem terus, pacaran lho nanti kalian." Bang Tegar mengalungkan lengannya di leherku, kami sudah diluar arena futsal menuju parkiran.
"Dih amit-amit. Doain adeknya tuh yang baik-baik, Bang. Nih, Win kasih tahu." Aku mencibir, bang Tegar meraih kepalaku dan menyurukkannya ke d**a dan bajunya yang basah oleh keringat.
"Abang ih, jorrrooookkk!" Aku berlari menghindari bang Tegar, Winda tergelak melihat tingkah pacarnya itu.
~tbc~