12. Sandiwara

1183 Words
Bara menatap Vivi dengan mata yang sedikit berkaca-kaca, seolah bertanya. ‘Benarkah ini, Vi?’ Kebenaran di hadapannya sepertinya cukup membuat pria itu bungkam, tapi matanya cukup menjelaskan. Melihat mata Bara, tentu saja Vivi langsung mendekati pria itu, “Bar, aku bisa jelasin.” Tapi tak melanjutkan ucapannya, Vivi menatap Destra penuh permohonan. Jujur, ia begitu tidak enak sekaligus malu pada Bara. Dia telah menolak pria itu. Dan apa ini? Sekarang dia ketahuan berbohong pada Bara dan keluarganya perihal keberadaan suaminya yang Dinas? Sungguh memalukan! Vivi mulai kesal. Semua masalah ini bermunculan semenjak ia berhubungan dengan Destra. Dan tidakkah Destra berkeinginan menolongnya dengan meluruskan kesalah pahaman ini? Namun tak peduli, pria yang memang dingin dan Arogan hanya diam, menunggu reaksi Bara selanjutnya. “Mas!” cicit Vivi hampir tak terdengar tapi begitu jelas di telinga Destra. Mendengar Vivi memanggilnya dengan kata romantis membuat Destra langsung luluh. “Baiklah-baiklah, karena istriku yang meminta, jadi saya ijinkan kamu berdekatan dengan istriku!” ujar Destra sontak membuat Bara tertawa sinis. “Berdekatan? Ck! Dia belum tahu saja jika aku dan Vivi bahkan sering tidur berdua di panti dulu,” batin Bara kesal. Ya, mereka memang sedekat itu dulu. Sebelum sejauh ini tentunya. “Tapi awas jika kau sampai berani menyentuhnya!” sambung Destra seraya menatap Bara tajam kemudian masuk lebih dulu ke dalam unit milik Vivi. Vivi yang tidak enak tetap mengajak Bara masuk. Ia tahu pria itu doyan makan dan gampang lapar, itu sebabnya dia berniat membuatkan cemilan tadi. Meski Vivi tidak tahu kenapa tubuh Bara masih kurus dan tidak terlalu besar seperti dulu, padahal sering makan. Vivi mempersilahkan Bara duduk untuk istirahat, sementara dirinya langsung sibuk berkecimbung di dapur setelah memakai apron. Sedang Destra? Entahlah, Vivi melihat pria itu masuk ke kamarnya tadi. Entah apa yang pria itu lakukan Vivi tidak peduli, yang terpenting Bara kakaknya lah saat ini. Bara melihat jelas gerakan Vivi yang gesit karena mereka masih dalam satu ruangan, hanya di pisah oleh meja makan dan katup masakan. Sesaat Bara kembali mengagumi teman masa kecilnya yang cengeng. Namun, suara seseorang selanjutnya membuat Bara kembali kesal. “Jangan terlalu melihat istriku, nanti kau lupa jalan pulang ke rumahmu anak muda!” cibir Destra yang baru tiba dan duduk tepat di hadapan Bara. Bara kembali berdecih. Sekilas, Destra dan Vivi memang terlihat begitu cocok. Cantik dan tampan. Meski Destra lebih dewasa tapi hal itu malah tambah membuat Destra mendominasi ketampanan dan kegagahannya. Eh tunggu, apa dia baru saja memuji kedua pasangan itu? Ck! “Oh, ya? Bukankah dirimu yang lupa, Tuan. Anda meninggalkan adikku demi pekerjaanmu.” “Apa maksudmu?” Sadar Destra dan Bara akan mulai mode perang, Vivi segera datang dan membawakan senampan makanan yang ia buat tadi. “Cemilannya sudah jadi. Makanlah, Mas, Bar!” ujar Vivi seraya ikut duduk. Destra yang tetap tidak teralihkan menatap Vivi tajam,”Apa maksud dia?” tanya Destra to the point. “Sayang, kamu kan baru pulang Dinas. Kamu lupa? Jadi maksud kakakku kamu meninggalkanku demi pekerjaanmu,” jelas Vivi sok romantis. Mendekati Destra dan mengusap wajah pria itu. Sementara Destra menautkan kedua alisnya, “Dinas?” tanyanya yang langsung mendapat cubitan dari Vivi. Vivi mencubit bosnya? Ya, karena terpojokkan mungkin Vivi sampai berani mencubit pinggang Destra yang bahkan tidak berani ia sentuh dulu seraya mengedipkan satu matanya. Mengerti ada udang di balik batu, Destra segera menjalankan perannya. “Oh itu maksudnya. Maafkan aku, tapi aku janji tidak akan meninggalkanmu lagi setelah ini,” jawab Destra seraya mengecup dahi Vivi dengan cukup lama. Bara yang melihat itu kembali berdecih. Jujur ia tidak terlalu suka dengan Destra yang menurutnya sok memperlihatkan dan memiliki. Terlihat Nora! Sementara Vivi yang baru saja dikecup diam membeku. Perlakuan Destra tadi terasa seperi tulus, bukan modus. Benarkah Destra benar-benar melakukannya dari hati? Namun sial, bisikan Destra selanjutnya membuat Vivi sadar. “Saya sudah membantumu berbohong, jadi kamu harus memberiku hadiah setelah ini, Nona kecil!” Vivi menatap tersenyum seraya menatap tajam, “Ha ha, benarkah? Apa aku bisa menjewermu seperti ini jika kau meninggalkanku lagi? Tanya Vivi seraya benar-benar menarik kuping Destra. “Enak saja bisa minta hadiah, kamu sudah mengecupku setelah seenaknya mengusirku kemarin. Dan kau minta hadiah atas itu? Jangan mimpi!” batin Vivi kuat. Sementara Destra yang kuat pura-pura mengaduh. “Aduh, sayang! Sakit, kenapa kau jahat sekali pada suami sendiri?” Vivi yang tahu Destra hanya pura-pura juga membalas perbuatan pria itu dengan pura-pura lagi, “Oh, ya? Maafkan aku. Aku kira kamu kuat. Karena jika tidak, bagaimana kau akan melindungiku dan anak kita kalau kau sendiri begitu lemah, seperti ini?” Sadar Vivi mencoba menghinanya, gigi Destra tercekat. Tapi kembali tersenyum dan memeluk gadis itu, “Ha ha sayang, kau ini bicara apa? Tentu saja aku kuat, aku hanya lemah jika di hadapanmu!” ujar Destra kembali membuat Bara tidak suka melihatnya. Muak terus melihat keromantisan mereka, Bara memutuskan untuk segera pergi setelah meneguk tehnya. “Vi, gue balik, ya. Udah keyang.” Vivi hendak menjawab, tapi Destra lebih dulu menjawabnya. “Apa maksudmu kenyang melihat keromantisan kami, kakak ipar?” Kakak ipar? Bara menatap Destra tajam. Ck! Tidak sudi ia menganggap pria itu ipar jika bukan karena Vivi. Tak menjawab Bara berjalan menuju pintu. Vivi yang melihat itu juga segera menghampirinya. “Ngga nginep aja, Bar? Jauh banget lho dari sini.” “Sorry, kita tidak menyediakan penampungan, Kakak ipar!” Destra yang duduk masih saja menimpal, membuat Bara yang kesal semakin kesal. Vivi yang mengerti kekesalan Bara segera memeluk pria itu. Deg! Jantung Destra berdegup kencang. Pria yang tadinya akan marah dan meneriaki Vivi karena Vivi berani kabur darinya itu siapa sangka malah menjadi takut sekarang. Dia takut Vivi berpaling darinya terus meninggalkannya? Entahlah. Tapi yang pasti hati Destra gusar saat ini. Apalagi saat tangan Vivi memeluk Bara begitu erat, seperti minta perlindungan. “Makasih udah anterin aku, Kak. Maafkan atas semuanya, aku harap kakak sudi ke sini lagi suatu saat nanti,” lirih Vivi dengan posisi yang masih memeluk Bara. Sementara pria itu hanya diam. Jujur dia begitu kecewa mendapati Vivi sudah menikah bahkan hamil dari pria lain. Tapi sudah ia katakan ia bisa apa. Melihat gadis itu baik-baik saja Bara sudah sangat senang. “Ya ya, lepaslah! Suamimu bisa menerkamku nanti,” cibir Bara sontak membuat Vivi melepaskan pelukannya. Memang benar, Destra menatap mereka sejak Vivi lari mendekatinya tadi. Tidak berkedip sekalipun. Bara takut? Tentu saja tidak, dia sudah terbiasa mendapat tekanan dan hinanaan. Tapi ia cukup sadar diri untuk tidak membuat Vivi bertengkar dengan suaminya hingga membuat kenyamanan gadis itu terenggut. Vivi menatap Bara tak enak, sementara Desta yang dibicarkan ikut berdiri dan menghampiri mereka. “Tenanglah, saya tahu mana kakak mana pebinor!” Sadar Bara dan Destra hanya akan kembali saling sindir, Vivi segera mendorong Bara keluar setelah mengecupi punggung tangannya. “Hati-hati, kak!” teriak Vivi. “Hm!” jawab Bara diikuti oleh suara tutupan pintu yang cukup keras. Destra mendorong pintu? Ya, sudah sejak tadi ia tahan amarahnya, dan sampai Bara keluarlah Destra baru bisa mengaplikasikan kemarahannya. “Tuan?!” Tanpa mengatakan apapun, Destra menyerang Vivi. Mencium bibir gadis itu dan mencoba melucuti bajunya dengan brutal. Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD