Hari ini Gemintang lebih bersemangat ke kantor dibandingkan hari-hari sebelumnya. Sebelum turun ke lobi apartemennya, sudah ada mobil Novan menunggunya.
“Yuk"
"Kamu semangat banget ke kantornya," tatap Novan keheranan.
"Iya kan besok weekend. Aku pengen istirahat sampe puas" jawab Gemintang dengan senyuman mengembangnya.
"Ingat kan beb. Makan malam kita."
"Iya ingat. Kamu bawel deh kayak Mami," ucap Gemintang sebal.
Sesampainya di kantor, Novan hanya mengantarkan hingga depan pintu masuk. Seperti hari-hari biasanya.
"Selamat pagi Bu Gemintang"
"Eh pagi Pak Banyu" jawab Gemintang kaget ditegur oleh Banyu. Gemintangpun seolah-olah berjalan lebih cepat ingin mendahului Banyu. Tapi langkah kaki Banyu yang panjang akhirnya bisa menyusul Gemintang hingga ke pintu lift. Lift terbuka, namun situasinya sangat mengherankan. Hanya mereka berdua di dalam lift. Suasana canggung pun mereka rasakan berdua.
"Ehm gimana, kesan kamu kerja disini?" tanya Gemintang mencoba mengatasi rasa canggungnya.
"Sejauh ini sih enjoy-enjoy aja," yawab Banyu senang.
"Oh gitu. Semangat ya kerjanya"
"Terima kasih bu," ucap Banyu antara hormat dan setengah mengejek, "Iya, ngomong-ngomong kemarin aku sempat liat Novan. Dia udah berubah banyak ya" lanjutnya lagi.
"Mungkin tergantung pasangannya kali," jawab Gemintang bercanda.
"Hahahaha gitu yah. Pantesan aku jadi jelek yah. Soalnya kelamaan jomblo"
"Udah deh jangan mancing-mancing"
"Siapa yang mincing? Orang lagi kerja kok," canda Banyu.
"Iya…iya" jawab Gemintang pasrah seolah lelah berdebat.
Bersamaan dengan itu pintu lift juga ikut terbuka. Mereka pun menuju ke ruangan mereka masing-masing.
Kak Banyu, apa masih ada aku di hatimu, batin Gemintang yang berjalan di belakang menatap punggung Banyu.
Aku akhirnya harus sadar Gemintang, semua jalan menuju kamu telah tertutup. Kalau Novan bisa membuatmu bahagia aku pasti mendukung, batin Banyu.
Perasaan yang hanya bisa dijelaskan oleh mereka berdua saja.
***
Seharian menghabiskan waktu dengan bekerja tidak terasa waktu bergulir dengan cepat.
Ah... ini udah jam makan siang, batin Gemintang sembari melihat jam tangannya.
Kok Novan gak nelpon yah, batin Gemintang lagi. Tapi kemudian ditepisnya pikirannya. Dia pun membereskan barang-barangnya dan memasukkan ke tas. Dia berencana akan menelepon Novan saat berada di lobi.
"Hai Beb"
"Hei, kamu" tatap Gemintang heran. Baru saja dia akan keluar ruangan. Tapi ternyata sudah ada Novan yang menghampirinya ke kantor.
"Tumben kamu gak nelpon aku?" tanya Gemintang keheranan.
"Gak kok, lagi pengen suprise-in kamu aja"
"Oh gitu" balas Gemintang acuh.
"Yuk" ajak Novan sembari menggenggam tangan Gemintang mesra.
"Iya" sambut Gemintang.
Mereka berjalan berdua sambil bergandengan tangan. Tak disangka mereka harus bertemu Banyu di jalanan menuju lift. Banyu dan teman-teman kantornya juga berencana makan siang di kantin.
"Hei, Banyu kan?" tanya Novan heran. Seolah-olah inilah kali pertama dia melihat Banyu.
"Hei No...van. Waduh kamu berubah banget yah. Tambah ganteng aja," puji Banyu.
"Iya, ini berkat Gemintang. Iya kan beb" jawab Novan seolah-olah ingin mengetes perasaan keduanya.
"Bener dong kata bu Gemintang. Seorang pria hebat tergantung pada wanita yang mendampinginya"
"Bener Gemintang ngomong gitu" tatap Novan tidak percaya.
Melihat suasana yang semakin canggung. Gemintang yang sadar akan situasi itu. Malah melepas genggaman tangannya. Apalagi ditambah tatapan Banyu melihat mereka bergandengan. Hati Novan sebenarnya sakit, karena dia tahu kenapa Gemintang bersikap seperti ini. Gemintang menjaga perasaan Banyu, tetapi Gemintang tidak tahu bahwa dia tidak menjaga perasaan Novan. Novan pun berpura-pura biasa saja, saat Gemintang melepas tangannya.
"Kami akan keluar makan siang. Gimana kalau gabung kita" ajak Novan kepada Banyu.
"Gak deh makasih, takut ganggu. Lagian karyawan biasa makannya di kantin kantor aja," jawab Banyu merendah.
"Gak lah. Kapan lagi kita berbincang-bincang bertiga," bujuk Novan.
"Lain kali aja bro. Okey"
"Udah deh sayang. Kamu orang gak pengen, kamu ajak. Yuk aku laper banget," potong Gemintang menatap ketus Banyu.
"B-b-baik...Beb," ada rasa bahagia tak terhingga mendengar Gemintang memanggilnya sayang. Di satu sisi, dia merasa Gemintang hanya ingin membuat Banyu cemburu. Tapi setidaknya dia tetap bahagia walau tahu Gemintang hanya berpura-pura, bukan murni ketulusan yang ditunjukkan Gemintang padanya.
***
Sabtu malam keluarga besar Gemintang dan keluarga besar Novan mengadakan acara makan malam di kediaman Novan. Novan adalah anak tunggal dari pasangan Baskoro Narendra dan Linda Harfanti. Novan yang merupakan pewaris tunggal keluarga Narendra mempunyai bisnis pertambangan. Sehingga Papanya kadangkala harus sibuk di luar kota. Novan karena tidak ingin jauh dari Gemintang memilih bekerja di kantor pusat.
"Hai…jeng apa kabar sehat?" ucap Mami Diana sembari cipika cipiki dengan Mama Linda. Diana Aminarti Mami Gemintang. Wanita sosialita seperti Mama Novan. Wanita yang sibuk dengan arisan dan kegiatan bakti sosial. Hingga kadangkala lupa dengan kondisi putrinya sendiri.
"Baik kok Jeng. Silahkan masuk" sedangkan Papi Gunawan Sasongko dan Papa Novan, berjalan berangkulan. Mereka duduk berdua menjauh membahas masalah bisnis. Adik Gemintang seperti biasa tidak ikut dalam makan malam formal seperti ini. Menurutnya acara makan malam keluarga adalah hal yang kaku. Karena prinsip jiwa bebasnya ini, sehingga dia menolak bekerja di perusahaan Papinya dan memilih bekerja sesuai passion-nya.
"Gemintang mana jeng/" tanya mama Lina.
"Katanya dia nyusul kesini. Naik mobil sendiri. Katanya mobilnya takut rusak, tiap hari anter jemput sama nak Novan"
"Hahahaha gitu yah jeng. Iya istilah anak jam sekarang apa tuh...pucin...micin...apa yah"
"Bucin…jeng. b***k cinta"
"Iya…bener"
"Ehm ngomong apa sih Mi, Ma sampe heboh gitu," curiga Novan yang berjalan menghampiri keduanya dari kamarnya di lantai atas.
"Biasa omongan orang tua"
"Gemintang mana?" tanya Novan yang tidak melihat sosok Gemintang.
"Hemm…liat tuh jeng. Yang kita omongin tadi. Gak bisa sehari aja, gak liat Gemintang," sindir mama Novan.
"Iya syukur jeng. Kalau aku jadi Gemintang bisa dicintai pria seperti nak Novan. Bahagia banget. Jangan kayak papi gitu. Aduh cueknya minta ampun," ucap mami Gemintang.
"Malam" sapa Gemintang.
"Hai sayang udah sampe nak?"
"Iya Ma, Mi," Gemintang mencium punggung tangan maminya dan mama Novan.
"Kamu gak ngebut kan Beb?" tanya Novan khawatir.
"Gaklah. Yuk, aku dah laper banget nih" ajak Gemintang ramah.
Sebagai tuan rumah Papa Novan duduk di ujung meja, bersebelahan dengan Mamanya. Sedangkan Papi dan Mami Gemintang juga duduk berdampingan, diikuti Novan dan Gemintang. Makan malam diselingi pembicaraan ringan. Apalagi saat pria berbicara hanya membahas masalah bisnis saja. Seakan tidak puas, padahal mereka sedari tadi sudah membahasnya di sofa ruang tamu.
"Jadi gimana nak Gemintang, pekerjaannya?" tanya papa Novan.
"Baik Pa, lancar"
"Kalian udah tunangan sudah berapa lama sih?"
"Tiga tahun Pa," potong Mama Novan.
"Apa gak sebaiknya kalian menikah saja. Papa yakin setelah menikah Novan juga akan mengijinkan kamu bekerja?"
"Bener Pa," dukung Mama Novan lagi.
Perasaan Gemintang sudah mulai tidak tenang, apalagi ketika pembicaraan menjurus membahas masalah pernikahan.
"Iya Mami dan Papi setuju nak. Ngapain sih ditunda-tunda" balas Mami Gemintang dibarengi anggukan Papinya. Seperti tebakan Gemintang pasti orangtuanya akan secepat itu menyetujui usulan orangtua Novan.
"Kamu Novan gimana pendapat kamu?" tanya Papa Baskoro, Papa Novan. Harapan satu-satunya Gemintang hanya pada Novan. Tempo hari dia sudah lebih dahulu mengingatkan Novan untuk menolak melangsungkan pernikahan dalam waktu dekat ini. Setidaknya dalam dua atau tiga tahun lagi.
"Aku sih, dukung apapun keputusan kalian semua. Karena Novan yakin keputusan orangtua pasti tepat," Novan sadari pasti Gemintang sangat membencinya karena memberikan jawaban seperti ini. Apalagi dia sudah berjanji untuk memberikan waktu kepada Gemintang meniti karir. Tapi melihat Banyu, Novan harus segera melakukan ini.
Seperti dikhianati oleh banyak orang dalam satu waktu. Sangat sulit untuk menebak apa yang Gemintang rasakan. Mencoba menahan bulir air matanya dan hanya mengangguk seolah-olah setuju dengan perkataan semua orang di dalam ruangan ini. Gemintang memaksakan untuk menghabiskan makan malamnya hingga selesai.
"Ma, Pa, Mi, Pi, Gemintang pamit pulang yah. Soalnya ada berkas yang Gemintang harus tanda tangani, kemarin gak sempet. Sekretaris Gemintang udah nunggu di Apartemen," bohong Gemintang sembari mencium satu-satu tangan kedua orangtuanya dan orangtua Novan.
"Aduh kita masih pengen ngobrol-ngobrol sayang"
"Lain kali aja yah Ma, banyak waktu kok" bujuk Gemintang.
"Aku anterin kamu ke depan yah Beb," usul Novan hanya dibalas tatapan tajam Gemintang.
"Kamu marah?" selidik Novan. Tentu saja melihat bagaimana ketusnya wajah Gemintang sejak tadi dari ruangan hingga menuju parkiran mobil.
"Kamu masih nanya?" tanya balik Gemintang ketus.
"Aku...gak mau kehilangan kamu Gemintang. Aku mencintaimu Gemintang Larasati sungguh"
Gimana kamu bisa kehilangan aku. Sedangkan kamu gak pernah milikin hati aku, batin Gemintang berontak.
"Aku gak suka sama cowok yang gak bisa pegang komitmen" sindir Gemintang.
"Tapi..." Novan mencoba menarik tangan Gemintang tapi secepatnya Gemintang menepisnya dan menatapnya tajam dengan mata berkaca-kaca.
"Aku masih hormati orang tuaku dan orang tuamu. Tapi kalau kamu pengen banget menikah. Menikah aja sendiri. g****k!!"
"Gemintang kamu kok ngomong gitu sih"
"Peduli" Gemintang bergegas membawa mobilnya menjauh dari hadapan Novan.
Awalnya sepanjang perjalanan Gemintang membawa kendaraannya dengan kecepatan maksimum. Tapi lama-kelamaan dia merasakan mobilnya sudah tidak bisa dipaksa untuk berjalan. Hingga mengeluarkan asap putih dari bagian mesin depan mobil. Seketika itu dia meminggirkan mobilnya.
"Aduh, kenapa lagi sih. Lo ikutan ngambek bil..." gumam Gemintang.
"Ini dimana lagi. Mencoba menebak lokasi dia berhenti." Dia baru menyadari saat membawa mobilnya. Dia hanya berkeliling tidak tentu arah. Dia bingung harus meminta tolong pada siapa. Apalagi ini sudah jam setengah sebelas malam. Menelepon Novan sama saja seperti dia memaafkan tindakannya tadi. Gemintang yang celingak-celinguk di pinggir jalan, sambil terus berpikir menatap layar ponselnya, memilih kontak yang bisa dia hubungi.
"Gemintang" panggil seseorang.
"Hei Kak Banyu" balas Gemintang saat melihat Banyu yang naik motor sudah berhenti di pinggir jalan.
"Kok kamu disini sih. Kamu gak apa-apa"
"Mobil aku berasap. Gak tau kenapa."
"Oh begitu yah."
"Lanjut aja Kak. Nanti aku bisa telpon bengkel kok"
"Beneran?" Tanya Banyu memastikan.
"Iya"
"Kalau gitu, oke"
Ternyata Banyu malah memajukan motornya ke depan mobil Gemintang dan memarkirnya.
"Kok..."
"Aku tahu kamu bohong. Aku punya kenalan teman yang punya bengkel. Aku hubungin dia ya"
"Aduh makasih yah ngerepotin"
Setelah menunggu hingga lima belas menit. Teman Banyu menghampiri mereka. Ada sedikit gangguan pada mesinnya. Apalagi kemungkinan mobil ini jarang dipakai. Dia menyarankan untuk membawa ke bengkelnya diperiksa lebih lanjut. Untungnya mobilnya bisa menyala kembali, tapi dia tidak yakin apakah ini akan bertahan hingga ke Apartemen Gemintang.
"Kalau gitu, aku anterin kamu deh" tawar Banyu.
"Apa? Tapi…" ucap Gemintang ragu.
"Ini jaket aku. Tutupin paha kamu," Gemintang malam ini memang menggunakan gaun selutut. Yang tentu saja naik di motor besar Banyu membuat pahanya bisa terekspos dengan jelas. Untung saja Banyu paham akan situasi yang dialami oleh Gemintang.
Selama perjalanan, memori masa lalu kembali terulang saat mereka SMU dulu. Saat Gemintang pernah dibonceng oleh Banyu saat pulang ke rumah. Perasaan berdebar ini masih saja ada. Menatap punggung Banyu saja seolah-olah membuat pikiran Gemintang melayang.
"Ya disini. Terima kasih ya. Maaf aku gak bisa suruh kamu mampir udah malem," Gemintang mengarahkan Banyu hingga tiba di apartemennya.
"Iya gak apa-apa kok."
"Kamu masih setia aja sih sama motor ini"
"Motor ini bukan motor yang kupakai waktu SMU dulu"
"Oh ya!?"
"Iya, aku sempat jual. Yah karena sesuatu dan lain hal"
"Terus..."
"Akhirnya setelah mampu beli motor lagi. Aku akhirnya nyari motor yang mirip sama motor aku. Karena yang kemarin beli motor aku, udah gak mau jual kembali"
"Gitu yah. Berliku-liku amat sih."
"Hahahaha…gitu deh"
"Terlalu spesial kali yah"
"Bisa dibilang begitu. Ini mengingatkan aku pada seseorang yang spesial"
"Oh yah. Oke deh. Terima kasih buat malam ini," Gemintang enggan bertanya lebih lanjut.
Apalagi takut dengan jawaban Banyu bahwa ada orang yang sangat spesial dalam hidupnya dan itu bukan dia. Hal yang sebisa mungkin untuk dia hindari.
"Iya nanti aku kasih tahu deh kamu, kalau mobilnya udah beres"
"Terima kasih. Kamu hati-hati yah"
"Iya, tapi"
"Apa?"
"Jaket aku"
"Oh iya sori," Gemintang baru sadar bahwa sedari tadi setelah turun dari motor dia hanya memegangi jaket Banyu. Dia pun mencoba bersikap biasa saja, padahal raut wajah malunya tidak bisa ditutupi.
"Kamu hati-hati di jalan ya. Jangan ngebut," pesan Gemintang.
"Iya, semoga mimpi indah" balas Banyu.
Pasti, batin Gemintang sedangkan dalam kenyataan hanya mengangguk patuh dan tersenyum.