Chapter 3: Pindah

2005 Words
Revina POV  “Coffee?” Tanya Revina sembari meletakkan cup kertas Starbucks berisi hot Americano di meja Devin. “Thanks.” Ujar si abang, pendek. Matanya masih fokus dengan sesuatu di layar laptopnya. Revina lalu duduk di sofa seberang meja kerja Devin, dan mengeluarkan Panini (sejenis sandwich) yang ia beli di Starbucks Fanindo sebelum ke kantor pagi ini. “Ada extra Panini nih. mau?” Tanya Revina iseng di sela-sela mengunyah. Devin hanya menggeleng. “Gue udah sarapan tadi di rumah.” “Tumben? Sejak kapan lo masak?” “Bukan gue yang masak.” “Jadi? Beli? Atau makan di hotel?” Revina masih penasaran. Devin mengangkat wajahnya, ekspresinya cemberut, mulai menunjukkan tanda ia tak suka ditanya lebih lanjut.  “Ck, ya udah.” Revina akhirnya menyerah, tahu tabiat si abang yang irit bicara dan galak. Ini juga berarti perasaan Devin sudah kembali normal, tidak kusut seperti sebelumnya. Sepertinya ia sudah mulai melupakan patah hatinya akibat pernikahan Dira dan Adya beberapa waktu lalu.  “Gimana perkembangan kawasan baru di Tanjung Uncang?” Revina mengalihkan pembicaraan. Perusahaan ayah mereka, Dubil, adalah kawasan industry terbesar se Batam raya, berlokasi di Muka Kuning. Setelah sukses menarik investasi dari perusahaan manufaktur terbesar Korea Selatan, Daewoo International, Dubil berencana membuka kawasan industry baru di daerah industry di Batam lainnya, yaitu di Tanjung Uncang dan Kabil. Devin yang memegang kedua proyek ini. “Masih ngurus pembebasan lahan. Kenapa?” “Lama lagi dong ya? Gue mau dong megang kantor disitu.” “Bukannya jauh dari rumah?” Tanya Devin, heran. Tidak seperti Devin yang tinggal sendiri di apartemen Panbil Residence, Revina masih tinggal bersama orang tua mereka di Batam Center. “Ya gue tinggal beli rumah deket situ.” Komentar Revina santai. Gantian, kini Devin yang memandangnya dengan tatapan penasaran. “Emang ada masalah disini?” “Nggak sih.” Revina memfokuskan pandangannya ke meja, berusaha tidak terlihat salah tingkah. Dia tentu malu bila sampai Devin tahu alasannya ingin pindah dari kantor Dubil di Muka kuning ini karena menghindari Gilang, bos Daewoo Batam yang beberapa minggu lalu menyatakan ingin mengenalnya lebih dekat. Bisa-bisa Devin menuduhnya tidak profesional. Padahal sebenarnya bukan Revina tidak profesional, ia hanya ingin menjaga jarak. Gilang sendiri tidak pernah melakukan hal yang aneh-aneh padanya, selain sesekali  mengirimi ia makanan ke kantor atau mengirimkan pesan pendek bertanya kabarnya. Saat bertemu untuk urusan kantor pun Gilang tetap berperilaku profesional. Tapi tetap saja Revina merasa canggung tiap bertemu dengannya. Ia juga tidak bisa menolak Gilang terang-terangan, karena ia sendiri kadang merasa kehilangan bila Gilang tidak mengabarinya. Lebih tepatnya, Revina bingung akan perasaannya. Apakah ia mau lebih dekat dengan si Duda tampan, atau ia hanya tidak enak karena mereka ada hubungan pekerjaan? Kebingungan ini membuat Revina berkesimpulan, akan lebih baik bila ia menjauh sekalian dari Gilang. Sayangnya, keinginannya pindah tampak tidak akan terealisasi dalam waktu dekat.  “Ya udah.” Devin hanya mengangkat bahu, acuh. Revina menghembuskan nafas lega karena Devin tidak bertanya lebih lanjut alasan kepindahannya. “Gue balik ke ruangan gue ya.” Revina lalu buru-buru membereskan makanan dan kopinya, dan beranjak ke arah pintu ruangan Devin. “Oke, nanti siang jangan lupa, meeting sama Daewoo.” Ucapan Devin membuat Revina tercekik. Baru saja ia mau menghindar, malah bertemu lagi. “Oh.. iya.” Jawabnya, pasrah.   Devin POV Devin menatap punggung Revina yang melangkah gontai keluar dari ruangannya, masih merasa aneh dengan si adik yang tiba-tiba ingin pindah ke kantor baru Dubil yang bahkan belum dibangun. Padahal Revina baru berapa bulan saja mulai bekerja di sini.  Devin lalu  menyeruput hot Americano yang dibawakan Revina tadi, dan pikirannya beralih ke pertanyaan Revina. Sarapan? Dia memang sudah sarapan.. di tempat Maya. Dalam beberapa minggu ke belakang ini setidaknya tiga kali seminggu Devin mampir untuk sarapan ke tempat tetangganya ini. Dan setiap ia datang, Maya terus berperilaku sama. Ia menerimanya dengan senyum, tapi tidak banyak bicara, dan tegas menyuruhnya keluar bila sudah selesai makan, karena ia mau tidur sehabis bekerja semalaman. Devin kadang tidak paham hubungan apa yang ia miliki dengan Maya selain sebagai tetangga, karena untuk dibilang teman pun, ia dan Maya tidak saling tahu mengenai diri masing-masing. Devin hanya beberapa kali bertanya soal pekerjaannya, dan Maya pun menjawab sekenanya. Tapi Maya sebaliknya, tidak pernah bertanya apapun soal Devin, apalagi menunjukkan ketertarikan. Ini membuatnya gemas dan penasaran dengan perempuan misterius itu, tapi setidaknya Devin jadi lupa dengan patah hatinya yang cukup parah bulan lalu. “Pak,” Taufik, sekretarisnya, tiba-tiba mengetuk pintu ruangannya, membuyarkan lamunan Devin. “Masuk.” “Mesin kopi pesanan bapak sudah datang.” “Taruh di mobil saya.” Devin menjawab pendek, kembali fokus ke laptopnya. Taufik mengangguk dan berlalu.    Maya POV Siang ini Maya terbangun akibat suara dering telpon memekik di nakasnya. “Halo?” jawabnya dengan suara serak, lupa mengecek siapa yang menelpon. “Maya, kamu kok udah lama gak ke rumah kakek?” suara kakeknya, Sudibyo, tanpa basa-basi langsung menyapanya. “Maya kan baru dua minggu lalu ke sana kek..” Masih setengah sadar, Maya menjawab. “Kakek ngapain sih telpon jam segini? Maya jadi kebangun kan.” “Mana boleh perempuan muda tidur jam segini.” Kakek Sudibyo mendengus. Maya hanya geleng-geleng sambil menguap. “Maya baru tidur berapa jam loh kek, kan kerjanya semalaman.” “Makanya pindah kerja ke tempat kakek aja, ngapain cari kerja kok jauh amat beda time zone.” “Mana cocok Maya kerja di tempat kakek, hiih.” Erang Maya, menolak kesekian kali permintaan kakeknya. “Udah ah ceramahnya nanti lagi aja.” Ia baru akan menutup telepon ketika suara sang kakek terdengar memohon. “Eh tunggu dulu, sabtu malam bisa datang kan?” “Makan malam sekaligus acara ulang tahun kakek?” Maya bertanya balik. Ia tentu tidak lupa kapan ulang tahun kakek satu-satunya yang tersisa, meskipun tandanya kalau ia datang ke acara si kakek, ia harus bertemu dengan keluarganya yang menjengkelkan. “Benar! Pakai baju resmi ya. Kali ini kakek undang cukup banyak orang. Kali aja kamu ketemu jodoh.” Suara kakeknya kini terdengar riang, sungguh berbeda dengan image-nya yang biasa tegas. Maya yang tadinya susah payah menahan kantuk sontak terkaget mendengar kata jodoh di telinganya. “Awas ya kakek kalau jodohin Maya sembarangan, Maya ogah datang lagi nanti.” Ancam Maya, sebal karena kakeknya terus mengungkit masalah jodoh. “Ya kamu kan udah tiga puluh tahun tho? Dulu nenek aja seusia kamu udah berapa anaknya.” “Hihhh kakek nih kaya gak ada kerjaan aja deh ngurusin jodoh Maya!” “Ya udah, pokoknya sabtu datang ya. Nanti kakek kirim undangan resminya.” Tutup kakek Sudibyo, membuat Maya berdecak. Kantuknya kali ini benar-benar hilang akibat telepon mendadak kakeknya. Ia lalu meregangkan badan dan berjalan ke luar kamarnya, ke arah mesin kopinya. Jam masih menunjukkan pukul empat sore. Untuk orang Indonesia normal, ini memang jam yang pas untuk beraktivitas. Tapi bagi Maya yang bekerja mengikuti zona waktu New York, Amerika Serikat, ini sama saja seperti jam empat pagi. Maya baru akan menyalakan mesin kopinya ketika teringat bahwa sudah dua hari ini mesin kopi Nestle kesayangannya rusak. Ia menghembuskan nafas pasrah dan memasak air panas, lalu mengeluarkan bungkusan kopi seduh instan Starbucks yang ia setok di lemarinya. Setelah latte hangatnya jadi, Maya duduk di sofa samping jendela dan menatap pemandangan di luar kamar apartemennya, yang mengarah ke jalan dan danau di kejauhan. Pemandangan Batam sore hari cukup membuatnya tenang. Pikirannya teringat ke dua tahun lalu, saat ia akhirnya kembali ke Batam setelah 8 tahun tinggal di Amerika. Maya yang berkuliah di Columbia University, New York, begitu lulus langsung diterima kerja sebagai copywriter di salah satu advertising agency ternama di kota itu. Ia sempat bekerja di sana selamat empat tahun, tapi ia bosan dengan kemacetan, keramaian dan biaya hidup tinggi di sana, jadi begitu kantornya menawarkan kesempatan bekerja remote alias jarak jauh bagi karyawan yang mau, tanpa pikir panjang Maya langsung mengambil kesempatan itu dan pulang ke Indonesia lalu menetap di Batam. Meski harus begadang tiap malam karena zona waktu yang berbeda, tapi Maya merasa kualitas hidupnya disini meningkat, ia tak perlu keluar rumah sering-sering dan ia bahkan bisa membeli apartemen seukuran 3 kali luas flat-nya waktu di New York dengan gajinya sendiri, tanpa bantuan keluarganya. Alasan lainnya ia pulang ke Batam tentu karena si Kakek yang memintanya, karena katanya ia kesepian. Padahal cucu si kakek bukan cuma Maya, tapi ntah kenapa selalu Maya yang dicari olehnya. Lamunan Maya sembari menatap keluar jendela tiba-tiba terhenti dengan dering telepon lain. “Mama?” Sapa Maya, heran karena ibunya, yang masih menetap di New Jersey, Amerika Serikat, menelpon jam segini. “Pagi banget telponnya.” “Iya, mama gak sengaja kebangun nih.” Jawab sang ibu ceria di ujung sambungan. “Tumben kamu udah bangun?” “Tadi kebangun karena Kakek telepon.” “Ooh. Mau undang acara ulang tahun ya pasti?” “Kok mama tau?” Ibunya terkekeh mendengar keheranan Maya. “Biarpun mama sama papamu udah pisah lama, gak mungkinlah mama lupa ulang tahun si papi mertua.” Maya hanya tersenyum dengan reaksi sang ibu. Ibu dan ayahnya memang sudah lama bercerai, sejak Maya bahkan masih balita. Dan meski si ayah langsung sibuk dengan keluarga barunya, kakek dan nenek Maya dari pihak Ayah tetap membiayai dan sering menemui Maya yang tinggal bersama ibunya sampai sang ibu menikah lagi dengan salah seorang ekspat yang bekerja di Batam, dan akhirnya ia dibawa ke Amerika saat akan masuk kuliah. Setelah tinggal di Amerika pun, sang kakek tetap rutin menghubunginya, memaksa membayarkan kuliahnya, bahkan memberinya uang saku dan memintanya kembali ke Indonesia setelah lulus kuliah. “Sebenarnya Maya males sih ma, mama tau sendirilah kalau datang kesana nanti bakal ketemu siapa.” Curhat Maya sembari meringis, malas membayangkan harus ramah tamah dengan keluarga ayahnya yang selalu saja mencari masalah dengannya setiap bertemu. “Ya kamu yang mau balik ke Batam katanya supaya deket sama kakek, masa pas ada acara nggak mau datang?” “Maunya Maya kan datang kesananya gak rame-rame pas ada keluarga yang lain.” “Yaudah ikutin aja, toh acaranya gak setiap hari.” Tandas sang Ibu, santai. “Nanti kalau kamu bête banget, kamu balik lagi aja, pindah kesini.” “Ke NY?” Maya bergidik. “Hii males ah, Ma.” “Ke rumah mama lah sini, kan sama-sama remote juga. Gak capek apa kamu, kerja beda time zone gitu?” “Hhh mama nih sama aja kaya si kakek. Padahal Maya udah terbiasa juga. Si kakek malah nyuruh Maya resign terus kerja sama dia.” “Nah, itu boleh juga. Kamu mau?” “Ya nggak lah!” Tolak Maya tegas. Ia masih sangat menyukai pekerjaan dan kantornya. “Mungkin nanti kalau udah gak kuat begadang, baru Maya balik ke sana.” “Yaudah, terserah kamu aja.” Sahut sang Mama. “Mama tutup dulu ya, mau siapin sarapan nih.” “Okay, bye Mom.” “Bye, honey.” Maya lalu meletakkan hapenya di atas meja, dan kembali menyeruput kopinya yang sudah mulai mendingin. Baru saja ia akan melanjutkan lamunannya menatap langit sore Batam yang mulai menguning, tiba-tiba bel kamarnya berbunyi. “Siapa ya?” Batin Maya pada dirinya sendiri. Saat mengintip lubang pintu, yang terlihat hanyalah kardus coklat. “Perasaan aku gak ada pesan apa-apa.” Lanjutnya, lalu membuka pintu. “Ya?” Tanya Maya sambil melongokkan kepalanya, pada sosok yang berdiri di depan pintu kamarnya dengan kardus coklat besar menutupi setengah badan hingga wajahnya. “Hai.” Sapa suara dingin di balik kardus itu. “Mas Devin?” Author's Note: Halo semua! Maaf ya yang sudah lama menunggu. Per 1 Desember 2021, cerita ini akan saya UP setiap hari! jangan lupa stay tune terus yaa. yang belum klik love cerita, jangan lupa love ya biar muncul ceritanya di halaman awal. dan yang belum follow penulis Ashadiya di platform ini, silakan follow juga. Saya juga aktif di ** dengan username @ashadiya.dreame, silakan follow juga karena saya akan post soal UP cerita dan foto-foto inspirasi karakter disitu. sampai jumpa besok semua! btw maaf ya post note author disini, kadang suka gak muncul kalau di tempat khusus author.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD