Chapter 2: Devin - Maya

1855 Words
DEVIN POV Devin terbangun dengan kondisi badan yang luar biasa tidak enak karena habis minum-minum lagi semalam. Hari ini acara pernikahan Dira dan Adya, dan ia tidak datang kesana, tentu. Hanya kedua orang tuanya yang diundang secara formal oleh kedua orang tua Adya, sementara Adya sudah pasti melarangnya hadir. Mencoba melupakan perasaannya sebenarnya pada Dira yang akan menjadi istri Adya, semalam Devin menenggak ntah berapa shot vodka dan bir. Tapi ia tidak bermain lagi dengan wanita pang-gilan, minatnya memuaskan nafsunya dengan berbagai wanita sudah hilang sejak perasaannya semakin kacau. Devin duduk dan memandang sekeliling, setelah beberapa saat ia baru tersadar kalau saat ini ia tidak berada di kamar apartemennya. Kamar ini jauh lebih feminine dibanding kamarnya. Ia duduk di atas sofa di ruang tengah dengan furniture minimalis yang bernuansa coklat. “Sudah bangun?” Seorang wanita bertanya padanya. Devin menoleh ke sumber suara. Wanita itu mengenakan sepasang celana training panjang dan hoodie lengan panjang kebesaran berwarna kuning muda, dengan rambut coklat yang digelung ke atas. Wajahnya polos tanpa make up, ia mengenakan kaca mata cukup besar dengan kantong mata panda, terlihat sedikit lelah. “Siapa?” Devin bersuara serak. Ia lalu meneguk air putih yang tampak disediakan untuknya di meja dekat sofa. “Saya tetangga, mas. Kamar saya pas di samping kamar mas.” Perempuan itu tersenyum. “Nama saya Maya.” Mas? Gumam Devin dalam hati. Sungguh panggilan yang jarang untuknya, karena dengan posisinya di Dubil, ia biasa dipanggil Pak oleh setiap orang yang bertemu dengannya. “Ini dimana?” Devin bertanya lagi, matanya menyipit kena pancaran sinar matahari yang masuk melalui jendela kamar. “Kamar saya. Tadi pagi jam setengah 3, mas ngetuk pintu kamar saya berulang kali.” Jelas Maya, berdiri di depan meja makan, tak jauh darinya. “Untung saya masih kerja, jadi bisa bukakan. Mas langsung masuk dan tidur di sofa. Sepertinya mas salah kamar, tapi mas tidak sadar.” “Oh..” Devin masih bingung mau bereaksi apa. Baru ingat ia pernah berjumpa wanita ini beberapa kali, tapi mereka tidak pernah mengobrol.  Pantas Maya begitu familiar. Devin tidak pernah memperhatikannya dengan baik, selain karena gaya berpakaiannya tidak menarik, tidak seperti mayoritas wanita di dekatnya yang selalu berpakaian minim dan ketat, juga karena belakangan pikirannya dipenuhi satu wanita yang saat ini sudah menjadi istri orang lain. “Maaf.” Akhirnya Devin bersuara lagi. Bersyukur wanita ini tidak salah paham dengan kebodohannya tadi malam, bisa dibayangkan betapa repotnya Devin kalau sampai semalam terjadi keributan saat ia tidak sadar. “Tidak apa-apa. Silakan mas kalau mau ke kamar mandi,” Maya menunjuk pintu coklat di dekat sofa itu, sementara ia menyiapkan sesuatu di dapur. Devin mengangguk dan langsung masuk ke kamar mandi, mencuci muka dan menuntaskan semua hajatnya. Saat berkaca ia akhirnya sadar betapa berantakan tampangnya. Ia masih mengenakan kemeja kerjanya berwarna putih yang sudah kusut dan keluar dari celananya, dan celana kerjanya yang terkena tumpahan minuman, menyisakan kerak. Kumis dan janggutnya yang belum sempat ia cukur pun tumbuh tak beraturan. Ia tampak seperti gelandangan, bukan direktur. Begitu keluar dari kamar mandi, ia melihat Maya sedang menyiapkan beberapa piring dan makanan di meja makan. Devin mengedarkan pandangannya, dan tanpa sengaja ia melihat medali serta foto Maya saat masih muda di dinding ruangan, memenangkan suatu pertandingan. Judo. Pantas saja dia tampak tenang meski ada lelaki asing di kamarnya. “Saya masak sup ayam nih, mas makan juga yuk?” Ia melambaikan tangan ke arah Devin, mengajaknya ikut duduk di depannya. Devin baru akan menolak ketika perutnya berbunyi, dan aroma sup tiba-tiba merasuk hidungnya. Ia lapar. “Habis mabuk pasti segar badannya kalau makan sup.” Lanjut Maya lagi. Devin akhirnya menurut. Ia lalu duduk di seberang Maya, dan melihat berbagai macam makanan di meja. Ada sup ayam dengan potongan wortel dan kentang, ada mangkok besar berisi nasi putih hangat, telur dadar isi bawang, tempe dan tahu goreng, serta sambal. Sederhana, tapi tampak begitu nikmat. “Makan yang banyak ya, mas.” Ucap Maya lagi, sembari menyuap nasi dalam mulutnya sendiri. Devin lalu mengambil nasi dalam mangkok dan menaruhnya di piringnya, serta mengambil sup ayam dan meletakkannya di mangkok terpisah yang sudah disediakan Maya. Ia mencicipi sup dengan sendoknya, dan rasanya benar-benar enak. Tenggorokannya yang tadi seperti terbakar jadi sangat membaik.  Ia lalu menyantap nasi beserta semua lauk yang tersedia, sangat lahap. Sudah lama sekali ia rasanya menyantap makanan rumahan sederhana seperti ini, karena ia tinggal sendiri di apartemen dan jarang  pulang ke rumah keluarganya. Rumahnya juga bukan rumah yang hangat, semua anggota keluarganya selalu sibuk dengan urusannya masing-masing. Berdua mereka makan dalam diam, hanya terdengar suara TV yang dinyalakan Maya. Devin makin merasa aneh dengan sikap santai Maya yang tak biasa bagi perempuan seusianya. Maya sama sekali tidak mencoba membuka obrolan, bertanya dia siapa, tidak juga menghakimi kelakuannya mabuk-mabuk semalam dan membicarakan hal basa-basi lainnya. Tapi ntah kenapa, rasanya sangat nyaman. Dia sudah lupa kapan terakhir kali ia begitu menikmati makan berdua dengan seorang wanita  dalam situasi yang  intim begini. Devin biasa menjaga gengsi dan angkuh dengan orang lain, tapi wanita ini melihatnya dalam keadaan kacau balau sehingga Devin tak lagi bisa meninggikan dirinya. Bagi Maya, ia hanya lelaki mabuk bertampang kusut yang salah masuk kamar. Sembari makan, Devin sesekali memperhatikan Maya di seberangnya. Gadis itu tampak lebih muda darinya, tidak ada yang istimewa dari paras dan gaya berpakaiannya, tapi ia benar-benar tidak terlihat canggung meski sedang bersama lelaki asing di kamarnya. Ia memperlakukan Devin seperti teman lamanya, sungguh beda dengan perlakuan wanita lain pada Devin, yang biasanya antara terpesona padanya, atau takut dan terintimidasi. Devin masih memandanginya ketika Maya menatapnya balik. “Kenapa mas, enak ya?” Tanya Maya, ekspresinya terlihat geli sembari menunjuk piring Devin yang sudah hampir kosong. Devin malu ketahuan memandanginya dan langsung melengos. Tapi ia sempat menggumamkan iya. “Kapan-kapan kalau mau makan begini lagi, datang saja mas.” Tutur wanita itu, sukses membuat Devin terpana. “Kita kan tetangga. Lebih enak makan barengan daripada sendirian, dan saya kalau masak selalu banyak.” Jelasnya lagi. Devin refleks mengangguk, lalu menyadari kebodohannya sendiri. Gue kan nggak kenal dia. “Kalau sudah selesai makan, mas balik ke kamar sendiri ya? Saya mau tidur soalnya.” Maya mengusirnya halus, sembari membawa piringnya ke tempat cuci piring. “Saya kerja remote (jarak jauh), kantor saya di New York. Jadi saya selalu bangun setiap malam. Sebentar lagi jam tidur saya.” Ia melanjutkan sembari menunjuk jam dindingnya. Ternyata sudah mau jam 9 pagi. Devin hanya mengangguk. Ia lalu menawarkan mencuci piring karena perasaan tidak enaknya timbul, tapi ditolak Maya. “Nggak usah repot-repot mas, saya takut malah piring saya yang pecah.” Ucapan jujurnya mengejutkan Devin, tapi akhirnya membuat Ia mendengus tertawa. Tawa pertamanya dalam beberapa minggu ke belakang. Sepertinya memang Devin terlihat seperti lelaki yang tidak bisa apa-apa bagi Maya. Dan memang iya, Devin tidak pernah mengerjakan urusan rumah tangga karena ada petugas house keepingnya yang datang setiap hari. Setelah Devin menghabiskan teh jahe hangat yang dibuatkannya, Maya akhirnya mengantarnya ke depan pintu kamar. “Istirahat ya Mas. Sampai ketemu lagi.” Maya berkata dengan senyum di bibirnya ketika Devin sudah keluar dari kamarnya. Ntah suaranya yang hangat, atau senyumnya yang manis, atau masakannya yang enak, atau perlakuannya yang ramah, ada sesuatu yang menimbulkan perasaan aneh pada Devin. Saat Maya akan menutup pintu kamarnya, tiba-tiba Devin bersuara. “Devin.” “Hm?” Maya memandangnya, terlihat bingung. “Nama gue, Devin.” “Ah, ya.” Maya tersenyum lagi. “Sampai ketemu lagi, mas Devin.”   Maya POV Maya mengenali Devin, lelaki yang tadi malam berusaha masuk ke kamarnya. Ia pernah beberapa kali berpapasan dengan lelaki yang tinggal di kamar sebelahnya ini. Maya mengakui Devin memang tampan, tapi ia selalu tampak serius dan angkuh, jadi Maya tak pernah mau menyapanya. Maya juga pernah beberapa kali melihat sang lelaki dengan beberapa perempuan cantik, dan Maya tahu ia bukan tipe Devin. Tak dapat dipungkiri, Maya hanya perempuan biasa, dia pun mengakui ketampanan lelaki itu, tapi ia cukup senang hanya memandanginya dalam diam. Maya tidak berniat menjalin hubungan romantis dengan lelaki manapun saat ini, masalah pribadinya terlalu pelik untuk mengundang orang lain. Karena itu, ia kaget ketika sang lelaki mengetuk pintu kamarnya. Ia tahu, lelaki ini suka mabuk dan tadi malam terlalu tidak sadar untuk melakukan hal yang aneh-aneh padanya. Jadi ia membiarkannya masuk dan tidur di sofa, sementara ia melanjutkan pekerjaannya. Lagipula Maya mantan atlet judo, ia bisa membanting Devin bila seandainya Devin berusaha menggerayanginya. Untungnya, hal itu tak terjadi. Maya cukup kaget saat Devin memperkenalkan dirinya ketika ia keluar dari kamarnya. Tapi lebih kaget karena hari setelahnya, Devin kembali datang di pagi hari untuk sarapan bersamanya. Maya memang suka memasak sendiri sarapannya, karena baginya yang jam kerjanya malam hari, sarapan adalah makanan penutup harinya. “Hai.” Sapa Devin, terlihat malu-malu. “Halo Mas! Pas banget, saya baru selesai masak. Yuk masuk,” Ajak Maya ceria. Devin lalu masuk, membawa sebuah botol yang ia berikan pada Maya. “Apa ini mas?” “Wine favorit gue, untuk membalas yang kemarin,” Devin membalas, menggaruk tengkuknya. Maya tergelak dan mengembalikan winenya. “Terima kasih mas! tapi saya tidak minum alkohol. Untuk mas saja ya,” “Oh, maaf,” Ekspresi Devin berubah tidak nyaman. “Gue kira…” “It’s okay. Saya memang tahu banyak soal meredakan hangover, tapi saya sendiri tidak minum.” Maya mengedipkan matanya, santai. Ayah tirinya yang orang Amerika dan adik-adiknya yang terkadang suka minum minuman keras memang membuatnya terbiasa dengan peminum. “Yuk makan mas, saya ambilkan dulu piringnya ya,” Maya menggestur ke arah meja makan. Hari ini dia masak sayur asem dan ayam goreng, tentu dengan sambel. Karena hari ini hari Minggu, ia tidak begadang tadi malam, tapi karena sudah terbiasa memasak pagi, jadi Maya tetap memasak makanan yang ia inginkan. Ia senang, Devin tampaknya benar-benar menyukai apa yang ia masak. Meski Devin bukan siapa-siapanya, tetap saja membahagiakan bila ada yang menyukai apa yang kita buat, dan mau makan bersama kita. Apalagi mereka berdua sama-sama tinggal sendiri. Sembari mereka makan dalam diam, seperti biasa Maya menyalakan TV untuk menonton berita internasional. Dia tidak berniat membuka percakapan dengan Devin, tahu karena Devin juga sama sepertinya, orang yang tertutup. Tapi Devin malah bertanya duluan pagi ini. “Pekerjaan lo apa?” “Copywriter,” Jawab Maya pendek. Matanya masih fokus ke TV yang sedang menayangkan berita tentang Korea Utara. “Sudah berapa lama?” Tanya Devin lagi. “Hmm… jalan 6 tahun?” Balas Maya, tidak begitu yakin. Ia sendiri lupa. “Oh..” Devin berkomentar pendek, lalu mengunyah nasi putih. “Kenapa kantornya bisa di New York?” “Lulus kuliah saya lamar kesana, diterima.” Jelas Maya pelan, lalu bangkit dan menyalakan mesin kopi kapsul dolce gusto nya. Mesin ini sangat bermanfaat dalam membuat kopi secara cepat dan nikmat. “Mas mau kopi?” “Ada espresso?” Tanya Devin. Maya mengangguk dan mengambil kapsul espresso. Setelah kopinya jadi, gantian ia memasukkan kapsul flat white untuknya ke mesin kecil itu. Ia lalu membawa kedua cangkir kopi ke atas meja makan, juga membawa tempat gula sachetan. Devin menggumamkan terima kasih dan meminum kopinya, lalu melanjutkan bertanya soal pekerjaannya. Maya hanya tersenyum. Tanpa sadar, ia makin menikmati keberadaan Devin.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD