Ryan kembali menatap lurus ke depan setelah begitu mengangumi kecantikan Bella dari arah samping. Telapak tangan wanita itu pun masih melingkar mesra di pergelangan tangannya seakan-akan mereka adalah pasangan bahagia yang tengah berbulan madu. Langkah mereka terhenti tepat di depan pintu.
Bella memutar badan lalu menatap lautan yang terlihat tenang, kedua tangannya seketika direntangkan dengan kedua mata yang terpejam seolah begitu menikmati hembusan angin yang sebenarnya terasa dingin membasuh wajahnya. Kedua sisi bibirnya pun nampak menyunggingkan senyuman, meskipun banyak luka yang ia sembunyikan dibalik senyuman yang ia perlihatkan. Sementara Ryan, telapak tangannya bergerak membuka pintu lalu menoleh dan menatap wajah Isabella.
"Silahkan masuk, Nyonya," pinta Ryan, lagi-lagi pria itu begitu mengangumi kecantikan sang artis terkenal.
"Sumpah demi apapun, udara di sini segar banget," ucap Bella kembali membuka kedua matanya menatap indahnya pemandangan di depan sana. "Apa kamu tau, Ryan. Pernikahan itu ibarat kita melihat lautan dari kejauhan, terlihat tenang dan begitu indah dipandang, tapi penuh gelombang di dalamnya. Kita tak tahu ikan besar apa yang sedang mengintai sebuah kapal, kita juga gak pernah tau sedalam apa lautan itu."
Ryan tersenyum ringan. "Itu sebabnya saya belum menikah sampai saat ini, Nyonya."
Bella seketika menoleh dan menatap wajah Ryan. "Ish! Emangnya laki-laki seperti kamu punya keinginan buat menikah juga?" celetuk Bella tersenyum miring, di matanya pria itu hanyalah mahluk yang berbeda dari kebanyakan pria yang ada di luaran sana. "Sekarang aku mau tanya sama kamu, Ryan. Eu ... cowok boti kayak kamu ini bisa sembuh gak sih? Maksud aku, apa kaum pelangi kayak kalian bisa kembali lagi ke jalan yang benar?"
Ryan seketika tersenyum cengengesan seraya menggaruk kepalanya sendiri yang sebenarnya tidak terasa gatal. "Eu ... saya gak tau, Nyonya. Lebih baik Anda masuk dan istirahat. Di sini lumayan dingin juga lho."
Bella tersenyum ringan. "Benar juga, aku emang lelah banget. Mana lapar lagi," decak Bella berbalik lalu berjalan memasuki villa bernuansa putih itu.
Isabella menatap sekeliling berada di ruangan yang tidak terlalu luas. Tidak terlalu banyak perabotan di sana karena sepertinya, villa itu hanya dijadikan sebagai tempat singgah saja. Sofa berwarna putih nampak bertengger di ruang utama, sementara bar mini nampak berada di sudut ruangan. Tangga yang menghubungkan antara lantai satu dan lantai dua pun terlihat menjuntai berada tepat di tengah-tengah ruangan.
"Hmm! Villanya lumayan juga," sahut Bella berdiri tepat di tengah-tengah ruangan.
"Kamar Anda ada di lantai dua, Nyonya. Saya yakin Anda pasti suka karena view-nya pas banget menghadap ke arah laut," ujar Ryan berjalan ke arah bar mini lalu membuka kulkas berukuran sedang. "Saya akan memasakan makanan buat Anda, saya panggil Anda kalau udah siap. Anda istirahat aja dulu."
Bella tersenyum sinis menatap wajah Ryan. "Tak bisakah kamu bersikap santai, Ryan? Gak usah terlalu formal itu deh, anggap aja aku ini teman kamu, oke?"
Ryan hanya tersenyum ringan tanpa menimpali ucapan sang majikan.
"Nah, senyuman kamu itu lho."
Ryan seketika merapatkan bibirnya kembali memasang ekspresi wajah datar.
"Tetap pertahankan senyuman kamu. Sayang sekali kamu itu pelit senyum, padahal muka kamu tambah ganteng lho kalau lagi senyum kayak gitu."
Ryan tidak menanggapi ucapan Isabella. Telapak tangannya nampak bergerak mengeluarkan beberapa bahan makanan yang berada di dalam kulkas lalu meletakkannya di atas meja.
"Aku naik dulu, ya. Kalau masakan kamu udah siap, jangan lupa panggil aku, oke?"
Ryan hanya menganggukkan kepalanya masih dengan ekspresi wajah yang sama. Sedangkan Bella mulai berjalan ke arah tangga kemudian naik ke lantai dua. Namun, wanita itu seketika menghentikan langkahnya tepat di tengah-tengah anak tangga lalu kembali menatap wajah Ryan Prayoga.
"Aku lupa tanya satu hal sama kamu, Ryan," seru Bella, membuat Ryan sontak menoleh dan menatap wajah Isabella. "Sebenarnya kamu ini siapa? Eu ... sorry, maksud aku, sebenarnya aku pengen tau siapa kamu. Maaf, maksudnya aku pengen tau identitas kamu yang sebenarnya, Ryan. Astaga! Kenapa otakku jadi loading kayak gini sih?" decak Bella seraya memukul-mukul kepalanya sendiri.
"Anda kurang istirahat, Nyonya. Naik dan istirahatlah dengan tenang, kalau tubuh Anda kurang istirahat otak Anda pun tak akan bisa berfikir dengan benar," pinta Ryan.
"Benar juga," sahut Bella. "Aku akan menanyakan hal itu nanti kalau otakku udah tenang."
Bella melanjutkan langkahnya dalam menaiki satu-persatu anak tangga. Terlalu banyak masalah yang ia hadapi akhir-akhir ini sehingga membuatnya tidak sempat menanyakan identitas Ryan yang sebenarnya. Ia bahkan tidak tahu dari mana asal pria itu, di mana Ryan tinggal pun Bella tidak sempat menanyakan hal tersebut. Namun, ia akan bertanya nanti ketika perasaanya sudah tenang dan otaknya dapat berfungsi dengan benar.
***
Satu jam kemudian tepatnya pukul 17.00, Ryan baru saja selesai menyiapkan makan malam untuk sang majikan. Spaghetti bolognese pun sudah tersaji di atas meja makan. Pria itu melepaskan celemek berwarna hitam yang semula melingkar di tubuh kekarnya.
"Argh!" Ryan seketika meringis kesakitan saat telapak tangannya menyentuh luka di tubuhnya.
Kemeja berwarna putih yang ia kenakan pun tiba-tiba saja memerah akibat darah yang berasal dari perban yang melingkar ditubuhnya. Telapak tangan seorang Ryan mulai bergerak membuka kancing kemeja tersebut lalu menatap perban yang sempat dipasangkan sembarang oleh Isabella.
"Sial, kenapa darahnya keluar lagi?" gumam Ryan seketika memejamkan kedua matanya menahan rasa nyeri. "Perbannya harus di ganti, tapi gimana caranya?"
"Kamu kenapa, Ryan?" tanya Bella berjalan menuruni satu-persatu anak tangga.
Ryan sontak merapikan kemeja yang sempat ia buka juga kembali mengaitkan kancingnya seperti semula. "Nggak ko, Nyonya. Saya gak apa-apa," jawabnya mencoba untuk bersikap biasa saja.
"Apa luka kamu sakit lagi?" tanya Bella berjalan mendekat.
"Tidak!"
"Jangan bohong, Ryan," sahut Bella seraya menatap kemeja yang melingkar di tubuh Ryan. "Kemeja kamu ada darahnya, Ryan. Sepertinya luka kamu harus benar-benar diobati."
"Tak usah, Nyonya. Saya beneran gak apa-apa ko."
Tanpa menunggu persetujuan, Bella tiba-tiba saja membuka kancing kemeja berwarna putih itu lalu membukanya kasar membuat Ryan sontak memekik kesakitan dengan kedua mata terpejam.
"Ya Tuhan, perban kamu berdarah, Ryan," decak Bella seketika membulatkan bola matanya. "Kayak gini kamu bilang gak apa-apa?"
Ryan hendak menaikan pakaian yang sempat di turunkan. "Tak usah khawatir, Nyonya. Nanti juga lukanya sembuh sendiri ko."
Bella menahan telapak tangan Ryan. Jemarinya pun kembali menurunkan pakaian yang sudah memerah itu lalu membukanya dengan sedikit paksaan.
"Aku bantu obati luka kamu, ya," ucapnya dengan dahi yang berkerut seraya menatap perban yang membalut tubuh kekar sang bodyguard. "Apa di sini ada kotak P3K?"
"Saya bilang tak usah, Nyonya."
"Kenapa? Apa kamu takut aku bertanya dari mana kamu dapat luka ini?" tanya Bella menatap tajam wajah Ryan. "Apa kamu beneran seorang gangster? Atau, kamu mafia yang punya banyak musuh? Orang biasa gak mungkin terluka kayak gini, orang normal pasti bakalan langsung ke Rumah Sakit dan mengobati lukanya biar gak infeksi. Sementara kamu, kamu lebih memilih mengobati luka kamu sendiri!"
Ryan diam seribu bahasa tanpa menimpali ucapan Isabella.
"Sekarang jawab pertanyaan aku, Ryan. Siapa kamu sebenarnya?"
Bersambung