"Adeh, mana sih si Kocheng?" Cahyo clangak clinguk mencari keberadaan Bekti. Dia menarik nafas dalam karena lelah, dan mengusap keringat di dahinya. Beberapa menit kemudian, Cahyo akhirnya melihat Bekti dari jauh. Cahyo langsung merasa lega. Tanpa pikir panjang, dia berlari sekuat tenaga ke arah Bekti yang baru saja keluar dari toilet wanita tersebut.
"Bebek!" teriak Cahyo lalu tiba-tiba memeluk Bekti. Beberapa detik kemudian, dia melepaskan pelukannya, lalu menatap Bekti lekat.
"Cing, lu gak papa? ada yang sakit? ada yang luka?" ucap Cahyo dengan wajah yang serius. Sementara itu Bekti masih bengong, belum bisa mencerna apa yang terjadi, "Kok lu biarin sih, orang ngebully elu? Sama gua galak bener kek kocheng buntîng. Dijahatin orang malah diem aja, gak ngelawan. Oon bener sih lu. Sini, liat dulu mana yang sakit?!" Cahyo memeriksa wajah, tangan dan memutar-mutar Bekti dengan panik.
"Wah, mulai gak waras nih manusia satu," batin Bekti. Tingkah Cahyo saat ini membuatnya menggelengkan kepala.
"Napa lu diam aja? kasih tau gua, mana yang sakit?!" pletak! sebuah pukulan, yang tentu saja sudah sangat familiar melayang ke kepala Cahyo, hingga membuatnya kehilangan diri sejenak.
"Dasar gîla lu. Otak lu konslet ye? minggir, gua mau pulang!" Bekti mendorong Cahyo, lalu bergegas pergi.
"Bangsul, sakit banget kepala gua. Otak gua masih aman, kan?" Cahyo mengusap-usap kepalanya, "Woy, Bebek, eh Kocheng, tunggu!"
Cahyo mengejar Bekti. Dia terus mengikuti Bekti sepanjang jalan. Bekti jalan, dia jalan. Bekti berhenti, dia ikut berhenti. Bekti jalan lagi, dia ikutan juga. Bekti kemudian berbalik tanpa aba-aba, karena kaget Cahyo jadi membatu tak bergerak dari tempatnya.
"Ngapain sih lu, ngikutin gua?" tanya Bekti dengan kesal.
"A-Anu ... Mmmm," Cahyo diam sejenak tak tau harus bicara apa, dia kemudian menatap Bekti, "Itu jaket gua kan, yang lu pake?" ucapnya sambil menunjuk jaket merah yang Bekti kenakan.
Bekti dengan kesal melepaskan jaket tersebut, lalu melemparkan jaket itu je wajah Cahyo, "Makan tuh jaket!" ucapnya dengan penuh emosi. Bekti kemudian beranjak pegi, Cahyo hampir mengikutinya, hingga tiba-tiba Bekti berbalik, dan menatap Cahyo tajam, "Eh kámprèt. Ngikutin gua lagi, gua bikin mandûl lu. Jauh-jauh dari gua! aish, ngeselin banget sih," Bekti ngeloyor pergi. Cahyo mengurungkan niatnya untuk mengikuti Bekti, takut dijadiin mandûl.
***
Bekti telah tiba di rumah setelah menghadapi kejadian tak terduga di kampus. Bekti mandi begitu lama untuk menghilangkan bau telur yang ada padanya. Dia lalu merebahkan diri ke tempat tidur dan mengambil gawainya telah berbunyi dari tadi.
"Say, aman-aman aja kan, selamet kan lu ampe rumah?" Lastri mengirim pesan.
"Alhamdulillah aman, Mak." balas Lastri dengan emotikon senyum di belakangnya.
"Maaf ya, Say. Tadi gua ninggalin elu. Bokap gua nih rempong banget minta anter mobil ke rumah,"
"Iya, Mak. Gak papa."
"Sebenarnya gua mau nanyain tentang gosip yang beredar di kampus. Tapi karena lu tadi abis dapet serangan dari para syaiton nirrojim, ya ude lu istirahat aja. Besok dah gua nanyanya."
"Makasih ya, Mak. Udah pengertian. Bekti mau tidur, capek."
"Okey dokey, say. Tidor aja. Yang nyenyak ya. Jangan pikirin orang-orang stress di kampus, apalagi Maya and the gang. Rugi dah mikirin mereka,"
"Gak kok, Mak. Bekti malah udah lupa kejadian tadi, hehehe. Ya udah Bekti tidor dulu ya, mata udah berat nih,"
"Baiklah, Ncess. Selamat tidur,"
"Oke, Emak,"
Bekti tersenyum. Dia menghela nafas sejenak lalu merebahkan dirinya ka kasur empuk dengan sprai bunga-bunga tersebut. Beberapa menit kemudian, tiba-tiba pesan baru masuk. Segera mengambil gawainya dan memeriksa.
"Cing, lu udah nyampe rumah?"
Pesan dari Cahyo membuat Bekti memonyongkan bibirnya, "Apaan sih nih si Caplang. Ikut-ikutan Mak Lastri aja," Bekti melempar gawainya lalu kembali merebahkan diri.
"Cing, kok dibaca doank, bales donk," Cahyo kembali mengirim pesan. Seperti sebelumnya Bekti membuka pesan itu. Namun, tidak membalasnya. Bekti memejamkan mata dengan tangan yang masih memegang gawai. Kantuk membuatnya malas untuk bergerak meskipun hanya menggerakkan jari untuk membalas pesan. Terlebih pesan tersebut dari Cahyo. Bekti makin tak peduli dan terus masuk ke alam mimpinya.
"Cing, Kocheng. Lu kemana, sih?"
"Cing, balas pesan gua, Woy!"
"Bekti. Lu udah makan belom?"
"Bekti,"
"Bekti,"
"Aruna Bekti binti Syaiful!"
Cahyo terus mengirimkan pesan. Namun tak ada satupun pesannya yang di balas, hingga Cahyo menyerah, dan gawai Bekti akhirnya hening setelah hampir setengah jam berdering.
To be continue