“Yang tadi itu siapa?” tanya Bara ketika Tiranti sudah masuk ke dalam mobil.
“Teman, Mas. Satu angkatan, satu kelas juga.” Yang Tiranti pikir di sini, Bara mengatakan hal tersebut karena khawatir dirinya akan meninggalkan Eyang. Padahal pada kenyataannya, Bara mengkhawatirkan dirinya sendiri. “Ini ke apartemen Mas dulu?”
“Iya, gak papa kan, Ran?”
“Gak papa, Mas.”
Baru kali ini Tiranti melihat gedung yang begitu menjulang tinggi dan memiliki halaman yang luas juga indah. Ini sangat berkelas, Tiranti menyadarinya. Dia sering mengantar Eyang ke sana sini, tapi jarang sekali mengantarkannya ke tempat yang seperti ini.
“Ini semua punya saya, Ran.”
“Hah?”
“Gedung ini, semuanya punya saya. Liat aja namanya, ada nama keluarganya.”
Tiranti melihat pada tulisan besar di atas pintu masuk yang bertuliskan Ambara Place.
“Sebenarnya ini gak seberapa, kekayaan saya masih banyak. Bukan Cuma di bidang property aja, tapi sama pariwisata sama kuliner.”
“Iya, Mas.” Lalu Tiranti harus mengatakan apa?
“Saya juga berencana bikin pyoyek gede di sini. Makannya mau menetap di Bandung. Tau taman hiburan yang lagi di bangun? Itu proyek hasil kerjasama saya.”
“Wah iya, Mas.”
Bara berencana memamerkan kekayaannya supaya membuat Tiranti merasa kagum. Bahkan ketika masuk ke apartemennya yang luas itu, Bara mengatakan, “Coba nih remote.”
Remote apa maksudnya? Baru juga dirinya masuk dan sudah diminta memegang remote? Untuk apa? Tiranti bingung bukan main.
“Coba tekan salah satunya, nanti bakalan liat keajaiban.”
Tiranti melakukannya, dia menekan salah satu hingga tirai tiba tiba tertutup. Matanya membulat kaget. “Wah, bisa gitu ya, Mas?”
“Bisa dong, semuanya di sini serba praktis. Coba yang lainnya lagi.”
Ketika menekan tombol lainnya, perapian langsung menyala. Tiranti terlalu asyik melakukannya sampai dia mencoba semuanya. Melihat itu, Bara merasa dia berhasil menarik perhatian Tiranti. Sampai Tiranti menekan salah satu tombol merah yang membuat Bara membulatkan mata.
“Tiranti jang-” namun lebih dulu ditekan hingga alarm kebakaran berbunyi dan air membasahi bagian tempat mereka berdiri.
“Aduh, Mas?! Kok hujan di sini?!”
***
“Maaf ya, Mas. Saya gak tau kalau ini buat madamin api.”
“Gak papa,” ucap Bara yang baru saja keluar kamar, dia membawakan pakaian yang pikirnya akan pas di tubuh Tiranti. “Nih, kamu pakai ini ya. saya gak punya pakaian cewek soalnya.”
“Makasih,” ucap Tiranti dengan canggung, dia diarahkan pergi ke kamar mandi yang ada di salah satu kamar di apartemen. Sengaja Bara melakukannya, supaya dia bisa menjadi pria idaman di mata Tiranti dengan semua kekayaan yang ada.
“Mamerin apa lagi ya?” tanya Bara ketika menunggu Tiranti berganti pakaian. Sampai Bara melihat buku lusuh yang tadi Tiranti bawa dari sekolah, kasihan sekali. Kenapa bukunya tidak diganti ganti? “Apa perlu gue beli toko buku ya? biar dia ngerasa bersyukur kalau nikah sama gue?” Pikiran Bara bermonolog sendiri.
“Mas, celananya gak jadi deh. Gak basah kok, Cuma bajunya aja.”
Ya Tuhan, melihat Tiranti hanya memakai kaos saja masih terlihat cantik, segar. Bukan Cantik karena skincare, tapi memang cantik alami yang membuat Bara betah melihatnya berlama lama. Begini rasanya jatuh cinta lagi ternyata.
“Simpen aja di situ, Ran.”
“Mas ke sini ada perlu apa? Ada yang perlu Tiranti bantu gak?”
“Enggak sih, Cuma mau ambil berkas aja. eh, tadi kamu ganti baju di kamar mandi kan?”
Tiranti sedikit menggeser duduknya. Kenapa alarm bahayanya selalu menyala jika dekat Bara? “Iya, Mas.”
“Nah, kamu liat push toiletnya gak?”
Tiranti menggelengkan kepalanya.
“Yahh, itu dari berlian tau, Ran. Saya beli di Meksiko, waktu itu katanya berlian itu punya kartel yang dulu melegenda di sana.”
“Wah, hebat. Hehe.” Canggung sekali berbicara dengan Bara, Tiranti harus menanggapinya dengan cara apa? Apalagi menyangkut kekayaan seperti ini?
“Kamu sendiri sekarang jurusan IPS kan? Berarti tertarik sama ekonomi kan? Jangan khawatir, Ran. Masa depan kamu cerah, soalnya saya menguasai semua bidang bisnis di Indonesia.”
“Um, sebenarnya saya tertarik sama sastra, Mas, itu salah ambil jurusan waktu itu.”
“Oh.” Bara padahal sudah menyiapkan banyak kalimat untuk mengagungkan dirinya. Namun kenyataannya dia tidak tau apa apa tentang sastra.
“Nanti kalau kuliah juga maunya jurusan sastra, Mas.”
“Oh iyaa. Kalau gitu kita ke toko buku. Mau?” tanya Bara dengan semangat.
“Eh, mau apa, Mas?”
“Ya beli buku lah, masa beras. Lagian kan kamu lagi Ujian Nasional. Pasti butuh buku buat bacaan. Ayok.”
“Gak usah, Mas.”
Tapi Bara begitu bersemangat, bahkan dia lebih dulu keluar dari apartemen dan pintu tertutup otomatis ketika Tiranti masih memakai sepatu. “Mas? Kok gak bisa dibuka?” tanya Tiranti, bahkan pintunya tidak bisa digerakan.
Bara yang sedang berjalan dikoridor itu berkata dengan semangat. “Nanti saya juga berencana bikin toko buku sih. kamu rekomendasiin buku sastra yang bagus dong, biar ada di sana nantinya.” Sampai Bara sadar kalau Tiranti tidak ada. Dia diam sejenak. “Ya ampun pasti ketinggalan,” ucapnya bergegas kembali.
Karena apartemennya yang begitu modern, ada beberapa hal yang harus menggunakan sidik jari untuk bisa keluar masuk dengan tujuan pengamanan ekstra.
***
Kali ini, Tiranti benar benar dibawa ke toko buku. Jujur saja Tiranti sedikit canggung dengan Bara, mereka tidak pernah bertemu sebelumnya. Pertemuan pertama mereka juga terbilang memalukan, ditambah lagi Tiranti selalu merasa waswas jika Bara ada di sekitarnya. Entah ketakutan yang mana yang menjadi penyebabnya tersebut.
“Kalau nanti saya buka toko buku, bakalan lebih gede dari ini. nanti kamu bantuin saya buat nyari nyari isinya ya, buku apa aja yang popular. Soalnya target saya itu ABG kayak kamu.”
“Iya, Mas.”
“Sekarang kamu pilih buku mana aja yang kamu mau.”
“Eh? Gak usah, Mas. Kan sa-”
“Pilih, Ran. Uang saya kebanyakan ini, mau diabisin dikit dikit.”
Karena tidak mau terlibat percakapan lebih lama dengan Bara, akhirnya Tiranti mengangguk. “Makasih sebelumnya ya, Mas.”
“Iya.” Tadinya Bara ingin mengikuti setiap langkah Tiranti, tapi sayangnya dia mendapatkan telpon dari sang Mama jadi meminta Tiranti duluan saja. “Hallo, Ma?”
“Mama sama Papa mau ada acara dulu. kemungkinan pulang ke rumah Eyang kamu lagi sore, atau mungkin gak akan ke sana lagi.”
“Yaudah gak papa.” Bara malah bersyukur kalau orangtuanya tidak ada di sana.
“Kamu jangan bikin masalah. Tiranti masih kecil, jangan bikin kehebohan dimana kamu gak bisa nahan nafsu terus bikin dia ketakutan.”
“Ya ampun gak gitu juga kali, Ma. Bara juga punya strategi sendiri. udah ah, Bara mau nemenin dia pilih buku lagi. Bye, Mama. I love you.” Meskipun mereka seringkali terlibat pertengkaran, tapi Bara menyukai Mamanya.
Kembali mencari Tiranti, Bara kaget mendapati perempuan itu sedang bicara dengan pria yang tadi membawa buku bersama dengannya. Kenapa pria itu dimana mana? Dan kenapa sselalu berhasil membuat Tiranti tersenyum dengan begitu manis?
Saat Bara hendak mendekat, Reno lebih dulu pergi ke arah yang lain.
“Ekhem!”
“Eh, Mas Bara.” Tiranti kaget, deheman Bara begitu menggema.
“Siapa tadi?”
“Itu temen yang tadi, Mas. Dia juga abis beli buku di sini.”
Bara malah menyesal membawa Tiranti ke sini. mood nya juga langsung turun, Bara sadar kalau Tiranti terlihat tidak nyaman kalau bersama dengannya. Jadi setelah membeli buku, Bara membawa Tiranti pulang ke rumah Eyang.
Kebetulan Eyang ada di kamarnya, jadi Bara masuk untuk pembicaraan pribadi.
“Gimana? Udah jalan sama Tiranti nya?” tanya Eyang Dira dengan tatapan lembut pada sang cucu.
“Eyang.” Bara merengek dan duduk di atas karpet, kepalanya dia rebahkan di pangkuan sang Eyang yang duduk di bibir ranjang. “Bara insecure, Bara udah tua. Mana mau Tiranti sama Bara.”
Eyang tersenyum. “Mau pake bumbu keajaiban Eyang? Biar Tiranti mau sama kamu?”
“Gimana caranya Eyang?” mengadahkan kepala menatap sang Eyang dengan mata berkaca kaca.
“Ada deh nanti. Asal Bara janji bakalan bahagiain Tiranti ya.”
Bara mengangguk. Jatuh cinta pada pandangan pertama itu benar adanya, dan keinginan Bara memiliki Tiranti begitu menggebu. “Pake jurus keajaiban Eyang. Tolong. Kayak tadi nyampe Papa sama Mama setuju kalau Bara sama Tiranti.”
Eyang Dira terkekeh. “Sebenarnya Eyang ngancem Papa kamu, kalau dia terus maksa kamu nikah sama orang yang gak dicintai, Eyang bakalan hapus dia dari daftar warisan Eyang.”
“Kalau Papa caranya kayak gitu, terus Tiranti gimana? Dia mah gak perlu harta Eyang.”
“Bara tenang aja ya.” eyang Dira mengelus kepala sang cucu.