Untuk kebahagiaan

1473 Words
Eyang Dira bilang, dia yang akan mengambil alih semuanya. Jadi, Bara bisa sedikit tenang meskipun dia tidak bisa melepaskan pandangan dari Tiranti yang sekarang sedang menyiapkan makan malam. Ngomong ngomong sekretaris Bara sedang pergi ke Jakarta untuk membawakan barang baarang Bara dan dipindahkan ke apartemen, jadi dia sekarang bisa leluasa di sini. pekerjaan? Bara mempercayaakan semuanya pada pria yang selalu menjadi tangan kanannya. Merasa diperhatikan, Tiranti menjadi tidak nyaman juga. Apa ada yang salah dengannya? “Mbak, Tiranti mau bikin pudding buat Eyang, ini udah selesai kok.” “Iya, bikin aja, Ran.” Dengan memperhatikan Tiranti, Bara melihat bagaimana perempuan itu sangat menyayangi Eyang Dira, seorang pekerja keras. Pokoknya semua karakter lembut yang ada di dalam diri Tiranti itu sangat dipuja oleh Bara. Namun, focus Bara harus teralihkan ketika melihat mobil memasuki pekarangan, itu kedua orangtuanya. “Mbak, ada yang salah ya sama Tiranti?” “Lah, enggak. Emangnya kenapa?” tanya Bibi pembantu yang ada di sana. “Nggak, ngerasa aneh aja dari tadi Mas Bara liatin mulu.” “Jangan ge’er kamu, mana mungkin Mas Bara liatin kamu terus. Atau mungkin dia masih dendam karena kemaren yang jatuh itu.” “Apa iya ya?” tanya Tiranti khawatir. “Mending kamu bikin sesuatu buat Mas Bara, biar beliau gak marah lagi.” “Mau bikin pudding deh, khusus buat dia,” ucap Tiranti, khawatir nanti masa depannya tidak akan cerah jika mengusik cucu kesayangan Eyang Dira. Sementara itu, Bara keluar menemui orangtuanya dengan kening yang berkerut. Kenapa mereka kembali ke sini? dengan tatapan yang tajam saja sudah membuat Bara merasakan akan ada hal negative yang disampaikan oleh kedua orangtuanya. “Diandra minta tunangannya dimajukan. Kamu harus bisa nikahi Tiranti sebelum dia masuk kuliah ya, Bar. Kalau enggak, kamu sama Liodra aja.” “Kok balik lagi ke cewek itu sih, Ma? Kan udah deal gak akan ada sangkut paut apa apa lagi.” “Iya, tapi kan tau pamali kalau nikah langkahin kakak apalagi kamu keadaannya kamu itu normal.” “Ma, jangan percaya yang begituan. Orang di barat aja banyak tuh yang nikahnya duluan adiknya. Bara gak mau ah. Kalau Bara dipaksa nikah sama Liodra, nanti minta Eyang buat gak kasih warisan sama Papa,” ucap Bara mengancam pria yang ada di samping Mamanya. Ibu Ziya menatap kecewa sang anak. “Mama tadi abis ngomong sama temen Mama, anaknya yang pertama itu dilangkahin nikahnya, terus mereka bangkrut.” “Pah ajarin Mama tuh, jangan percaya tahayul,” ucap Bara masih keukeuh. “Yaudah kalau Bara emang mau Mama sakit gak papa. biarin Diandra nikah duluan aja,” ucapnya memegang dadaanya sendiri dan berbalik menatap sang suami. “Ayo, Pah. Kita pulang.” Mamanya memang selalu menggunakan alasan sakit untuk menaklukan Bara. Jika alasan itu sudah keluar, maka Mamanya memang sudah tidak punya cara lagi membuatnya tertekan. Bara buru buru masuk kembali ke dalam rumah dengan wajahnya yang datar. Ketika bertatapan dengan Tiranti, Bara segera berpaling karena tidak mau merasa sedih. Dia masuk ke kamar Eyang Dira lagi. Sedetik setelah pintu tertutup. “Kenapa, cucu eyang?” Wajah Bara langsung berubah memelas. “Masa Mama ngancam Bara, Eyang. Gak suka,” ucapnya mendekati sang Eyang yang sedang membaca dan kembali mengeluh. “Atuh sabar, Bara. Kan Eyang juga lagi berusaha ini. meuni harus sagala sekarang atuh.” *** Tiranti merasa kalau Bara masih menyimpan marah padanya, tatapan saja mengerikan tadi. Jadi dia membuat pudding cokelat dengan bentuk bunga sebagai ganti rugi pada Bara. Melihat pria itu keluar dari kamar Eyang, Tiranti segera mendekat. “Mas Bara,” panggilnya. “Iya?” bara menoleh dan nada suara yang jadi lebih lembut. Mendengarnya saja membuat Tiranti jadi merasa aneh kembali. “Ini buat Mas Bara, terima kasih udah dibeliin buku. Tiranti juga mau minta maaf soal yang ketimpuk waktu itu.” Bara diam sejenak sebelum akhirnya dia tertawa. “Ya ampun, Ran. Saya gak masalah kok, itukan kecelakaan. Tapi makasih ya.” Bara menerima box tersebut dengan senyumanya yang manis. “Hebat banget kamu, serba bisa.” “Silahkan dinikmati ya, Mas,” ucap Tiranti melangkah kembali ke dapur. Karena Bara ingin pamer, dia masuk kembali ke kamar Eyang dan mengatakan, “Eyang lihat, Bara dibikinin pudding sama Tiranti. Beuh, mana puddingnya bagus banget lagi. Cokelat plus ada vla nya. Kayaknya dia juga mulai teratarik ya, Eyang? Sama Bara?” Belum juga Eyang menjawab, lebih dulu pintu kamar diketuk. “Masuk,” ucap Eyang Dira. Tiranti masuk dengan nampan di tangannya. “Ini pudding punya Eyang.” “Wahh, makasih ya, Ran.” Eyang menerimanya. “Kamu makan malam duluan sana, terus langsung belajar. Buat masalah dapur biar sama si Mbak aja.” “Nanti malem kan harus pijitin Eyang.” “Gak papa, kan ada Bara. Jadi kamu focus aja belajar ya.” “Iya, Eyang.” Tiranti kemudian keluar dan menutup pintu. Bara langsung memeriksa pudding milik sang Eyang, merasa tidak adil. “Kok punya Eyang warna warni sih? kenapa punya Bara cokelat aja?” “Ya itu tandanya dia lebih suka sama Eyang, bukan sama kamu,” ucap Eyang Dira menyindir sang cucu. “Sana kamu makan malam, temenin Tiranti.” “Gak mau ah, nanti malah kalap terus pengen meluk dia. Di sini aja sama Eyang.” Bara memakan puddingnya di sana, mengajak sang Eyang berbincang juga seputar bisnis yang akan dia lakukan di Bandung. “Nanti mah kalau udah nikah sama Tiranti, focus aja bentuk keluarga sama dia. Paham?” “Paham dong, Eyang. Masa iya nganggurin cewek secantik Tiranti.” Bara bahkan sudah membayangkan betapa indah hidupnya jika memiliki istri seperti Tiranti nantinya. Merasa sudah lama berbincang di sana, bahkan matahari sudah tenggelam. “Eyang, ayok makan malam.” “Sana duluan aja. eyang masih kenyang makan ini.” *** Tiranti terbangun ketika dirinya mendengar suara mobil, dia tertidur saat belajar. Melihat jam yang sudah menunjukan pukul 11 malam, Tiranti bertanya tanya siapa yang bertamu malam malam? Apa keluarga Eyang Dira lagi? Saat keluar kamar, Tiranti melihat Bibi pembantu yang keluar kamar Eyang dengan membawa koper. Tau apa yang terjadi, Tiranti langsung mendekat. “Mbak, Eyang masuk rumah sakit lagi?” “Iya, udah gak papa kok. Di sana ada Tuan Bara yang jagain.” “Tiranti mau ikut, Mbak.” “Tapi kamu kan besok ujian.” “Besok pulang pagi pagi. Ya, Mbak? Please.” Matanya berkaca kaca, khawatir bukan main terhadap Eyang. “Yaudah ayok cepat.” Tiranti sendiri marah marah karena tidak diberitahu tentang keadaan Eyang yang dibawa ke rumah sakit. “Kan kamu lagi mau ujian, Eyang Dira juga masih dalam keadaan sadar waktu dibawa ke rumah sakit kok. Beliau Cuma sesek aja.” Tapi tetap saja, Tiranti merasa khawatir. Eyang Dira adalah sosok yang menolongnya saat kecil. Mengadopsinya ketika kedua orangtuanya meninggal, bahkan Tiranti tidak mengingat mereka. dan Eyang Dira datang bagaikan pelita di hidupnya, memberi kasih sayang dan juga menjamin semuanya. Jadi wajar, begitu masuk ke ruangan inap, Tiranti langsung menangis melihat Eyang Dira yang masih terjaga. “Eyang….,” ucapnya mendekat pada sosok itu. “Loh, ngaapain ke sini, Ran? Kan besok kamu ada ujian. Pulang.” “Eyang kenapa? sesek lagi?” Tiranti mengabaikan Bara yang ada di sofa, dia mendekati Eyang yang sedang berbaring. Menggenggam tangan keriputnya dan mencium berulang kali. “Eyang?” “Gak papa, Eyang Cuma pusing biasa kok. Kamu juga paham kalau Eyang sering keluar rumah sakit.” “Maaf, tadi Tiranti ketiduran.” “Gak papa, toh gak parah. Eyang Cuma sesek doang.” Mengelus rambut panjang Tiranti. “Pulang, besok kamu ujian.” “Nanti dulu, mau di sini dulu nemenin sampai Eyang tidur.” duduk di kursi yang ada di samping ranjang. “Nyaman gak tidurnya? Eyang mau dibuatin kantung air anget gak?” “Enggak.” “Terus Eyang mau apa?” tanya Tiranti, biasanya Eyang Dira rewel ketika sedang sedang sakit. “Eyang?” “Eyang mau minta tolong sama kamu.” “Minta tolong apa?” “Eyang takut gak panjang umur.” “Kok Eyang ngomongnya gitu sih?” tanya Tiranti kaget. “Eyang mau apa memangnya? Dipijat mau?” “Eyang sayang banget sama cucu Eyang, Bara itu cucu kesayangannya Eyang. Sampai saat ini, dia belum menikah dan Eyang mau liat dia menikah sebelum meninggal.” Tiranti jadi diam, lalu apa hubungan dengannya? Harus mencarikan pasangan untuk majikannya? “Kamu dibesarkan sama Eyang, jadi Eyang percaya kalau kamu adalah wanita yang tepat buat cucu kesayangan Eyang itu. kamu mau, jadi mempelai wanita Bara?” Tiranti kaget bukan main, dia menatap Bara yang segera memalingkan wajahnya. “Ternyata ini maksudnya keajaiban yang dibilang, Eyang,” ucap Bara dalam hati. “Menikah? Emangnya…. Harus Tiranti?” “Bara itu belum menemukan wanita yang cocok, dan Eyang rasa kamu yang paling cocok sama dia, Tiranti. Eyang mau kamu jaga cucu kesayangan Eyang. Ya? kamu mau kan?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD