Rasaya melihat Rubi tak percaya, "Kau baru saja mengatakan Aleene beruntung karena mendapatkan Randi?"
Rubi mengangguk dengan cepat, sahabatnya itu menutup matanya menikmati pijatan yang dilakukan terapis di tempat spa langganan mereka. "Benar, kau tak tahu betapa Randi populer di kalangan wanita? Benar saja, kau terlalu lama tinggal di Belanda, Ra."
"Apa yang dilihat para wanita itu dari laki-laki seperti Randi?"
"Rasaya, perusahaan ayahmu begitu besar, tidak mungkin media tidak melirik wakil CEO muda yang tampan seperti Randi. Meskipun Randi baru menjadi wakil CEO, dia menjadi orang teratas di daftar eksekutif muda dan tampan di negara ini. Sebaiknya kau mulai membaca berita agar tak malu di hadapan Randi."
Rasaya membuka ponselnya, mengetik nama Randi di pencarian web. Benar kata Rubi, nama laki-laki itu sering muncul di beberapa media mayor - mulai dari media yang sering membahas tentang ekonomi, bisnis, selebriti, maupun pemerintahan, baik dari media nasional maupun global.
Kebanyakan membahas tentang Randi yang menginisiasi Rezardhi Chemical Group menjadi perusahaan tanpa emisi karbon pada tahun 2050. Rezardhi Chemical tengah mengembangkan proyek pembangkit listrik dari energi terbarukan, seperti hidrogen dan angin. Ada berita yang menyebutkan mereka akan memulai pengembangan proyek tenaga angin lepas pantai pada akhir 2020. Ada juga yang mengatakan bahwa Reno Rezardhi akan segera memberikan jabatan CEO Rezardhi pada anak angkatnya yang memiliki kecerdasan berlian. Masih banyak berita lain yang menyertakan nama Randi Pramudya Biantara, Rasaya tidak mampu membacanya satu-persatu.
Dengan kesal, perempuan itu melempar ponselnya ke meja di sampingnya. Rasaya teringat perkataan Randi ketika ia menyuruhnya meninggalkan jabatannya. Randi bilang ia sedang mengerjakan sesuatu, tapi Rasaya tidak menyangka laki-laki itu sedang melakukan proyek sebesar ini.
"Sudah paham kenapa aku mengatakan Aleene begitu beruntung mendapatkan Randi?" tanya Rubi ketika melihat wajah kesal Rasaya.
"Kau tak tahu berengseknya laki-laki itu, Bi. Yang benar saja, Aleene masih berumur delapan belas tahun. Jika kau menjadi aku, apa kau akan merelakan adikmu yang masih muda pacaran dengan laki-laki di atas tiga puluh tahun?"
Rubi menghembuskan napasnya berat, seperti sedang berpikir keras, "Kalau aku jadi kau, aku juga tidak akan setuju. Aku akan memaksa adikku untuk tetap sekolah dan tidak menikah di usia muda. Aku akan menakutinya bagaimana mengerikannya menjadi ibu muda." Rubi melihat Rasaya dengan senyum lebar. Lesung pipi kanannya terlihat jelas, menambah kecantikan perempuan itu. "Tapi lain lagi jika laki-laki itu adalah Randi. Meskipun aku akan iri kepada adikku, kupikir aku tidak akan menolak laki-laki itu menjadi keluargaku, Ra."
Rasaya menegakkan badannya, menyuruh terapis di depannya menyudahi pijatannya. Perempuan itu dengan kesal memasuki bak mandi berisi air panas, merasakan hangatnya air menyelimuti kulit polosnya.
"Kau sama saja dengan keluargaku. Apa aku satu-satunya orang di dunia ini yang tidak melihat semua kelebihan laki-laki itu? Yang aku tahu, aku sangat membenci laki-laki itu dari kecil."
"Ketika kau membenci seseorang, kau tidak akan melihat setitik pun kebaikan dari mereka, Rasaya. Seperti ketika kau mencintai seseorang, kau tidak akan melihat setitik pun keburukan dari mereka," kata Rubi sambil masuk ke bak mandinya, mengguyur tubuhnya dengan air hangat yang dipenuhi kelopak bunga dan rempah-rempahan itu.
"Aku tak tahu bagaimana cara memisahkan mereka berdua," lirih Rasaya lebih untuk dirinya sendiri.
"Apa mereka sungguh saling mencintai?"
Rasaya mengangguk, mengingat kembali senyum Aleene ketika Randi menyentuh puncak kepalanya kemarin, "Aku rasa begitu."
"Kalau memang mereka saling mencinta, kau tahu bukan, jika kau ingin memisahkan mereka, kau tidak hanya menyakiti Randi, tapi juga menyakiti adikmu sendiri?" Rubi menatap sahabatnya itu dengan kasihan. Rubi mengerti kenapa Rasaya begitu membenci Randi. Meskipun Randi adalah laki-laki yang sangat baik, tapi kalau ia menjadi Rasaya, mungkin Rubi juga tidak akan suka dengan laki-laki itu. "Apapun cara yang kau lakukan, mereka berdua akan sama-sama terluka, Ra. Kau tidak bisa hanya menyakiti Randi tanpa melukai adikmu."
Perkataan Rubi membuat Rasaya berpikir keras. Benar, apapun cara yang ia lakukan nanti, Aleene akan terluka dengan apa yang ia lakukan. Bagaimana bisa ia memisahkan mereka tanpa melukai Aleene, jika berpisah dengan Randi saja sudah membuat adiknya itu sedih? Berat rasanya melihat Aleene merasakan hal yang sama dengannya saat Araf memutuskannya.
"Kau yakin dengan keputusanmu untuk memisahkan mereka?"
Rasaya mengangguk, "Meskipun Aleene akan membenciku, aku akan tetap memisahkan mereka. Suatu saat nanti, Aleene akan berterima kasih padaku karena menyelamatkannya dari Randi."
Mereka keluar dari tempat spa satu jam kemudian. Rubi segera pergi meninggalkan Rasaya karena perempuan itu ada jadwal penerbangan. Rasaya tidak membawa mobil. Perempuan itu berdiri di depan spa sendirian, berniat menghubungi Pak Supardi untuk menjemputnya. Namun, Pak Supardi bilang ia sedang menjemput Aleene pulang sekolah. Rasaya bingung, jam pulang sekolah Aleene tepat saat jam makan siang di kantor, biasanya Randi yang menjemput adiknya itu. Rasaya menanyakan keberadaan Randi pada Pak Supardi dan sopirnya itu mengatakan bahwa pukul satu siang nanti ada pertemuan penting di kantor yang harus dihadiri Randi. Dan Randi baru saja berangkat dari rumah.
Rasaya melihat jam tangannya, sepuluh menit lagi tepat pukul satu siang. Rasaya segera menghubungi Randi, senyum licik terukir dengan jahat di bibir indahnya.
"Jemput aku sekarang! Aku akan mengirim lokasiku padamu," perintah Rasaya pada orang di seberang teleponnya.
Rasaya mendengar Randi menghela napas, "Tidak bisa, Rasaya. Aku sedang sibuk."
"Jadi, kau tidak bisa menjemputku? Kau pikir siapa bisa menolak permintaanku, Ran? Kau pikir kau bisa memperlakukanku seperti ini?"
"Rasaya, bisakah kau tidak mempermainkanku sekali ini saja?" balas laki-laki itu.
Rasaya tersenyum jahat, begitu menikmati apa yang ia lakukan sekarang. "Siapa yang mempermainkanmu? Aku ada di tempat spa sendirian. Tidak ada yang menjemputku. Pak Supardi sedang menjemput Aleene. Sekolah Aleene sangat jauh dari sini. Apa kau tak bisa meluangkan waktumu untukku sebentar?"
"Rasaya, kau bisa memesan taksi untuk pulang ke rumah."
Senyum Rasaya meredup, melihat Randi tidak terjatuh pada rencana kecilnya, "Bilang saja kau tidak mau menjemputku, Berengsek. Lakukan apa yang kau inginkan, aku tidak akan mengganggumu lagi."
Rasaya dapat mendengar Randi memukul setir mobilnya, "Baik. Baiklah- Aku akan menjemputmu. Sekarang katakan dimana kau berada!"
Rasaya tersenyum penuh kemenangan, menyebutkan lokasinya berada, "Kalau kau tidak sampai di sini dalam waktu lima belas menit, aku akan pulang jalan kaki."
Tepat sepuluh menit kemudian, mobil Randi sudah berada di depan spa. Laki-laki itu menurunkan jendela mobil dan menyuruh Rasaya masuk. Randi memakai jas hitam resmi seperti terakhir kali ia melihat laki-laki itu di kantor. Rasaya masih belum terbiasa dengan penampilan Randi yang seperti itu. Apalagi dengan kacamata yang kini hingga di hidungnya. Meskipun ia membenci laki-laki itu, tapi Rasaya tak pernah bisa memungkiri pesona Randi. Mungkin itulah yang membuat Aleene begitu memuja laki-laki di sampingnya ini.
Randi mengendarai mobilnya seperti orang gila. Beberapa kali Rasaya membentaknya, memaki-makinya, dan menyumpahinya karena laki-laki itu mengendarai mobilnya seperti dikejar kematian. Rasaya menahan napasnya berkali-kali, cukup menyesal menyuruh Randi menjemputnya. Laki-laki itu masih diam tak berbicara, bibirnya terkatup rapat, seperti tidak menganggap Rasaya ada di sampingnya. Matanya fokus menatap jalanan. Rasaya begitu kesal melihat laki-laki itu tidak membalas perkataannya.
"Aku bilang antar aku pulang! Siapa yang menyuruhmu membawaku ke kantor?" tanya Rasaya yang sekian kalinya. Rasaya memegang kepalanya yang mulai pusing karena kecepatan berkendara Randi. "Kau sungguh menyebalkan! Antar aku pulang sekarang, Randi!"
Randi melepas kacamata hitamnya, lalu melihat kaca mobil, merapikan rambutnya yang agak berantakan. "Kau tidak tahu apa yang aku tinggalkan untuk menjemputmu, Ra," ucap laki-laki itu datar, lalu membuka mobilnya dan keluar meninggalkan Rasaya.
Rasaya mengikuti langkah besar laki-laki itu. Terkejut ketika mengetahui kantornya sudah ramai dengan wartawan yang membawa berbagai kamera canggih. Jumlah wartawan sekarang lebih banyak dari yang terakhir kali. Rasaya melihat Randi setengah berlari menaiki tangga, Rasaya melirik lift yang sudah penuh oleh para wartawan, lalu menyusul Randi menaiki tangga darurat. Demi apapun, lantai lima cukup tinggi untuk Rasaya naiki. Dengan susah payah, Rasaya sampai di lantai lima. Rasaya berhenti di depan pintu tangga, melihat Randi membungkuk pada ayahnya beberapa kali - seperti meminta maaf karena datang terlambat.
Beberapa orang perempuan berseragam hitam merapikan rambut dan pakaian Randi. Salah satu memasang mikrofon di kemeja Randi. Ayahnya menepuk pundak Randi ringan, lalu laki-laki itu masuk ke aula besar di kantor itu, diikuti oleh Reno di belakangnya. Beberapa karyawan yang mengenal Rasaya menunduk hormat pada perempuan itu. Membuka pintu untuk Rasaya ketika melihat perempuan itu ingin masuk.
Ruangan berkapasitas lima ratus orang itu sudah penuh. Wartawan yang tadi di lantai satu sudah berada di bagian kanan ruangan itu, mengambil foto dua orang di atas panggung yang kini sedang bersalaman. Tak salah lagi, perusahaan ayahnya menerima Piagam Penghargaan Industri Hijau yang diberikan langsung oleh Menteri Perindustrian. Randi dan seorang pria tua berambut agak putih yang Rasaya duga seorang menteri itu menjabat tangan Randi sambil melihat puluhan wartawan yang kini sudah berdiri mendekati panggung. Setelah beberapa menit, pria berkemeja batik itu turun dari panggung lalu menjabat tangan ayahnya di kursi depan. Rasaya dapat melihat ayahnya dan menteri itu berbicara cukup lama, sedangkan Randi sudah berpidato di panggung, di depan para wartawan dan karyawan dengan penuh percaya diri.
Rasaya tidak bisa menangkap apa yang Randi katakan, perempuan itu hanya menatap kosong pada laki-laki di depan itu. Bingung kepada dirinya sendiri kenapa ia tidak bisa memalingkan wajahnya dari Randi, tapi tetap tak bisa mendengar apa yang laki-laki itu katakan. Rasaya hanya bisa melihat betapa Rasaya ingin berada di tempat Randi sekarang. Rasaya ingin ayahnya melihatnya dengan bangga seperti sekarang - saat ayahnya menatap Randi dengan senyum mengembang dan tatapan berbinar. Ayahnya tidak pernah melihat Rasaya dengan bangga seperti itu.
Akhir-akhir ini ayahnya sering melihat Rasaya dengan amarah dan kekecewaan, seperti sekarang - saat acara sudah selesai - dengan mata tajam dan bibir terkatup rapat pria paruh baya itu berjalan ke arahnya. Tanda bahwa Rasaya melakukan kesalahan besar. Ayahnya menghampiri Rasaya yang sudah terduduk di kursi bagian belakang ketika Randi menyelesaikan pidatonya. Tepuk tangan bergema di ruangan itu, tapi Rasaya tak mendengar apapun selain kata-kata ayahnya yang terasa penuh amarah.
"Ikut Ayah sekarang!" kata Reno sambil menarik tangan Rasaya meninggalkan aula.
Reno membawa Rasaya menuju lorong di ujung ruangan yang sepi. Rasaya melihat Randi mengikuti mereka. Berdiri di depannya cukup jauh, membelakangi ayahnya saat ini.
"Kau tau apa yang baru saja kau lakukan, Rasaya?" tanya Reno dengan nada tenang tapi menakutkan. Melihat Rasaya hanya diam, Reno melanjutkan, "Kau baru saja melakukan kesalahan besar, Rasaya. Bagaimana bisa kau menyuruh Randi menjemputmu sedangkan dia ada pertemuan penting di kantor? Kau menodai reputasi Randi karena membuat Randi terlambat dua puluh menit. Dua puluh menit, Rasaya. Kau membuat seorang menteri di negera ini menunggu Randi selama dua puluh menit."
Rasaya menelan ludahnya, kesedihan melihat Randi berada di panggung tadi belum hilang, sekarang ayahnya memarahinya karena laki-laki itu. "Kalau ada orang yang pantas disalahkan, itu adalah Randi. Seharusnya Ayah tanya kepada laki-laki itu terlebih dahulu kenapa ia mau menjemputku? Kenapa memilih untuk menjemputku dan terlambat datang ke sini? Kenapa Ayah menyalahkanku yang tidak tahu apa-apa? Aku tidak tahu ada pertemuan di kantor sialan ini."
"Kau tahu! Ayah tahu kau sengaja membuat Randi terlambat. Kau selalu pulang sendiri selama ini, kenapa kau tiba-tiba menyuruh Randi menjemput?"
"Ayah, aku tidak tahu bahwa pertemuan penting itu melibatkan seorang menteri. Kalau memang sepenting itu, bukankah Randi yang harusnya disalahkan karena memilih menjemputku? Kenapa kau selalu menyalahkanku? Kenapa?"
Rasaya menggigit bibirnya, memang ia sengaja melakukannya. Rasaya sengaja melakukan itu untuk membuat Randi tidak datang ke pertemuan penting itu. Rasaya melakukan dengan sengaja. Tapi Rasaya tidak tahu bahwa kemarahan Reno padanya akan terasa sakit seperti ini. Kenapa laki-laki itu memilih menjemputnya? Apa yang sebenarnya Randi pikirkan ketika datang menjemputnya? Apa laki-laki tahu jika akhirnya ayahnya akan memarahinya seperti ini? Apa karena itu Randi meninggalkan pertemuan penting itu dan datang menemuinya?
"Mulai sekarang, Ayah akan menempatkanmu menjadi sekretaris Randi. Supaya kau paham bagaimana sibuknya Randi. Supaya kau tak lagi menyuruh Randi sesukamu. Supaya kau sering bersama Randi dan melihat bahwa Randi tidak seburuk yang kau pikirkan, Rasaya," kata Reno.
"Ayah!" teriak Rasaya.
Rasaya menggeleng kuat, ia tidak ingin menjadi sekretaris siapapun, apalagi seorang Randi Pramudya Biantara, laki-laki itu pasti akan memperlakukannya seperti pembantu untuk membalas dendam.
"Tidak bisa, keputusan ayah sudah bulat. Mulai besok kau bekerja sebagai sekretaris Randi. Ayah akan meletakkan meja kerja barumu di kantor Randi besok."
Rasaya memegang tangan ayahnya yang hendak pergi, perempuan itu memohon dengan mata bulatnya, "Ayah..."
Tapi saat ayahnya memutuskan sesuatu, hanya takdir yang bisa mengubahnya.