Hira menunggu di rumah, ia mencoba meminta bantuan teman-temannya dan teman suaminya saat mereka tinggal di Jerman. Tapi sudah hukum alam teman ada saat kita senang, saat kita butuh mereka akan hilang bagai ditelan bumi. Itulah yang dirasakan Hira saat itu, mereka semua beralasan tidak punya uang.
Ia merasa sangat lelah setelah menelepon semua orang. Hira tidak mau memberitahu kedua orang tuanya, ia tidak mau mereka sakit.
Dokter cantik itu tidak tahan lagi ia merebahkan tubuhnya di sofa, “aku gak kuat lagi.”
Ia tertidur karena kelelahan, terbangun saat ponselnya berdering, mengangkat sembari menatap jam dinding ternyata sudah sore. Hira menatap layar ponselnya , Sean menelepon.
Hira berdiri sambil menempelkan ponsel di daun telinganya, “halo sayang.”
“Selamat sore Bu.”
Hira menatap layar ponselnya lagi, tapi benar kalau ponsel itu nomor sang suami, tapi kenapa suara perempuan?
“Iya, selamat sore.”
“Apa ini keluarga Pak Sean?”
“Iya,benar.”
Wanita itu menjelaskan Sean mengalami kecelakaan mobil, saat itu dalam penanganan dokter di rumah sakit. Hira sangat syok. Ia terdiam bagai patung.
“Bu! Apakah ibu masih di sana?” panggil seorang suster yang menelepon.
Detik kemudian Hira berteriak histeris di dera kepanikan, masalah yang satu belum dapat jalan keluar tiba-tiba ia dihadapkan pada masalah yang jauh lebih besar. Suaminya mengalami kecelakaan dan saat itu sedang koma di rumah sakit.
Hira bergegas ke rumah sakit. Malam itu juga Sean akan dioperasi benturan keras di kepala membahayakan nyawanya, kecelakaan dan membutuhkan biaya yang sangat besar untuk operasi.
Hira tidak tahu harus berbuat apa untuk menyelamatkan suami tercinta dan abangnya, Ia duduk menangis dengan bigung di bangku rumah sakit, tidak mau menelepon Bundanya karena wanita itu sudah sakit-sakitan. Malam itu juga harus ada uang untuk menyelamatkan nyawa dua orang sekaligus, Hira tidak tahu harus berbuat apa. Tiba-tiba ia mengingat ucapan Adnan. Ia mengusap air matanya dengan kasar lalu menghentikan sebuah taxi ia mendatangi Villa yang sebelumnya ia sebut sebagai tempat terkutuk, bahkan ia berjanji tidak akan menginjak kaki di sana. Namun sekarang ia menelan ludahnya sendiri, malam sudah larut, tapi ia tidak peduli ia hanya ingin orang-orang tercintanya bisa selamat.
*
Dengan tangan gemetar Hira menekan bel, tidak butuh waktu lama seorang pria bertubuh tinggi besar berdiri tepat di depannya.
“Masuklah,” ucapnya dengan nada datar, suara itu terdengar begitu horor di telinga Hira,tetapi ia tidak peduli lagi, ia mengekor di belakang pria tersebut.
“Apa yang kamu inginkan, Hira?” tanya pria yang mengenakan piyama tidur, menatap wanita cantik di depannya.
“A-a-aku ingin meminjam uang,” ucap Hira terbata-bata.
“Baiklah berapa yang kamu inginkan?” Hira mendongak kaget, ia tidak menyangka kalau ia dengan mudah mendapatkan uang.
“Se-sepuluh ,mi-miliar,” ucap Hira masih dengan suara tergagap.
“Baiklah akan saya berikan.”
Hira seakan-akan sedang bermimpi dengan apa yang didengar, “Apa aku boleh mendapatkannya?”
“Tentu saja, tetapi dengan satu syarat kamu menikah denganku.”
“Apa?” Hira kaget setengah mati. “aku sudah menikah, aku meminjam uang ingin menyelamatkan nyawa suamiku dan kakak laki-lakiku.”
“Aku tidak bertanya untuk apa uang yang kamu pinjam, aku hanya ingin menikmati tubuh kapanpun aku mau.”
“Aku bukan barang yang bisa kamu beli.”
Adnan tidak memperdulikan tatapan kebencian dari Hira. “tergantung kamu bagaimana menilai dirimu, jika kamu menilai dirimu barang maka itulah yang terjadi, pilihan ada ditanganmu, jika kamu mau terima jika kamu menolak maka pulanglah,” ujar Adnan dengan tenang.
Hira masih berdiri seperti patung, ia bertarung dengan pikirannya sendiri, apakah dia akan membuang harga dirinya dan menyelamatkan suami dan kakak laki-lakinya atau ia akan pergi namun kehilangan suami dan kakaknya. Ia menarik napas dengan susah payah.
“Tidak bisakah kamu menolongku sebagai teman lama?” tanya Hira dengan suara lirih.
Tangan Adnan terdiam saat ia menuangkan wiski ke dalam gelas kecil, “kita bukan teman lama lagi saat kamu menghianatiku tiga tahun lalu Hira.”
“Aku tidak menghianatimu,” bantah Hira ia menatap wajah Adnan.
“Selain berbohong kamu juga sudah pikun,” tuduh Adnan, ia duduk di sofa menyandarkan tubuh kekarnya di sandaran sofa.
“Aku tidak melakukannya.”
“Lalu kenapa kamu menghilang saat kamu berjanji akan menikah denganku?”
Hira meremas ujung blues yang dipakai Adnan, tiga tahun yang lalu ia memang tidak mau menikah dengan Adnan karena ia sangat membenci lelaki itu.
“A-aku hanya ingin mencari ketenangan.”
Adnan mengangkat sebelah alisnya mendengar jawaban Hira, matanya menatap wanita cantik itu dengan tatapan mendominasi, Hira merasa terpojok dengan tatapan pria bertampang dingin di depannya. Berdiri di depan pria yang bukan suaminya satu hal yang menakutkan bagi Hira, ditambah lagi pria tampan di depannya menatapnya dengan tatapan dingin, ia terlihat seperti jelmaan iblis yang berwajah tampan.
“Tentukan pilihanmu nona manis, mataku sudah mulai mengantuk. Aku tidak akan memaksamu kamu yang datang ke rumahku,” ujar Adnan.
Tubuh Hira semakin bergetar, “aku akan melayanimu.”
“Kamu akan menjual tubuhmu demi suamimu?” tanya Adnan dengan tatapan sinis.
“Iya.”
Jawaban itu sukses membuat Adnan kesal, aku tidak butuh pelayanan dari kamu. Saya bisa mendapatkan kehangatan dari seratus wanita tercantik di negeri ini kalau aku mau, aku tidak butuh layanan dari wanita yang bersuami yang aku inginkan tubuhmu seutuhnya jadi milikku.”
Hira merasa ada ribuan batu yang menghantam dadanya. “Aku sudah menikah, bagaimana mungkin menikah dengan kamu lagi?”
“Ceraikan suami dan menikah denganku.”
“Kamu gila! Pernikahan bukan mainan,” sentak Hira dengan marah.
“Kamu pasti tahu kalau uang yang bertahta di dunia ini, tanpa uang kamu tidak akan bisa berbuat apa-apa tetapi memiliki uang banyak akan membuatmu mendapatkan semua yang kamu inginkan dan aku pemilik uang itu, Sean tidak akan bisa memberikan semua itu padamu.”
Ingin rasanya Hira mengambil pedang lalu menebas lidah pria di depannya agar ia tidak bicara sombong lagi. Hira tidak tahan lagi mendengar kesombongan Adnan ia berbalik badan berniat pergi, tetapi sebuah pesan masuk ke ponselnya.
[Kalau sampai besok pagi kamu tidak bisa memberikan separuh dari uangnya saya akan mengirim satu tangan kanan kakakmu] ancaman mengerikan itu membuat Hira tidak bisa melangkah, ia terdiam membelakangi Adnan. Lelaki itu masih menatapnya dari belakang.
Hira berbalik badan, “Baiklah,” ucapnya menyerah.
“Baik apa?” Adnan masih mempermainkan perasaan Hira.
“Ayo kita menikah.”
“Ok.”
“Lalu apa kamu bisa memberikan uang muka nya sebagian?” tawar Hira hilang sudah harga dirinya.
“Ada uang ada barang, ada uang muka berarti harus ada layanan. Kalau kamu mau tidur bersamaku malam ini, maka aku akan memberikannya.”
Lagi-lagi Hira merasa dadanya dihantam batu besar, ia tidak bisa menolak lagi. “Baik,” ucapnya dengan suara bergetar.
Bersambung