Aku meremas tangan untuk mengurai gugup. Tak mungkin aku berlari dalam kondisi seperti ini. Sungguh, aku takut Arjuna akan melakukan hal buruk kepadaku.
“Niha,” panggilnya. Kali ini lebih lembut.
“I-iya.”
“Maaf tidak jadi membawamu ke rumah sakit. Ini rumah tukang urut langganan papa saya. Kemarin adik saya cedera bahu karena jatuh dari motor, saya disuruh antar ke sini. Katanya, adik saya sudah kedua kalinya datang. Dan katanya cepat pulih sakitnya. Di sini insyaallah lebih cepat sembuh tanpa operasi kalau cederanya tidak berat. Kalau kakimu, sepertinya masih bisa diatasi di sini,” jelasnya.
Kuberanikan diri menatap ke arahnya. Dia tersenyum dan mengangguk. “Percayalah sama saya. Saya tidak akan macam-macam. Kalau sampai macam-macam laporkan ke Pak Hendrawan tadi. Atau lapor polisi. Silakan. Ini kartu nama saya.”
Pria itu mengeluarkan dompet, lantas memberikan satu kartu kepadaku.
Arjuna Dwino Hendrawan, 28 tahun. Manajer operasional Hotel Grand Himalaya dan beberapa nama hotel lain.
“Simpan kartu nama itu. Siapa tahu suatu saat dibutuhkan.”
Aku pun menerimanya.
Aneh, nggak, sih? Sekelas pria kaya yang ke mana-mana mengendarai mobil bagus, tetapi lebih memilih tukang urut?
“Bagaimana? Masih ragu?” Dia kembali bertanya.
Aku terpejam sejenak, lantas menggeleng. “Kalau Pak Arjuna pergi dari acara tadi, bagaimana kalau dicari?”
Aku sengaja mengalihkan bahasan.
“Enggak akan. Saya sudah terbiasa kabur-kaburan. Lagian, saya bukan anak kecil yang akan dicari orang tua saya. Dan lagi, acara itu membosankan.” Dia tertawa.
“Mari. Saya tadi sudah menghubungi orangnya via W* anaknya. Katanya kebetulan tukang urutnya ada. Sebentar, biar saya bantu keluar.” Arjun keluar dari mobil terlebih dulu, baru berjalan ke arah pintu mobil di sampingku.
“Ayo, saya bantu keluar,” ajaknya. Mau tidak mau, aku menurut saat tangannya memapah tubuhku. Dari jarak sedekat ini, aroma parfumnya mampu menggelitik indra penciuman.
Ayolah, Niha, jangan baper seperti ini. Entah apa yang terjadi dalam diriku sejak tadi. Suka sekali menghidu aroma parfum pria. Tadi Mas Aqsal, sekarag Arjuna.
**
“Aaa! Tolong ...!" Aku menjerit saat dua buah tangan memijat, sesekali menekan kakiku.
Tukang urut itu seperti tidak bereaksi dengan betapa hebohnya diri ini. Dia terus memijat, sesekali menarik kakiku tanpa disangka-sangka. Entah seperti apa kabar kaki ini setelah ini. Kembali baikkah? Atau justru patah?
“Pak, sudah. Rasanya sakit banget,” ibaku pada pria paruh baya yang tengah sibuk dengan kakiku itu. Tak ada kesan tangguh saat ini. Seperti anak kecil, aku menangis sesenggukan.
“Sebentar lagi, Neng. Setelah ini, saya jamin Neng langsung bisa lari tanpa merasakan sakit lagi,” ucapnya.
Satu tarikan agak kuat, membuat bunyi gemeletuk di kakiku.
“Ampun, Pak. Ampun.” Aku terus menangis.
Kulirik Arjuna yang berdiri di sampingku. Dia seperti menahan senyum sambil melihat ke arah ponsel.
Ya ampun, di saat aku kesakitan, dia malah asyik menertawakan kesakitanku.
Atau jangan-jangan dia merekamku?
Lagi, bunyi gemeletuk terdengar dari kakiku yang ditarik. Aku kembali berteriak heboh. Kali ini, tangan Arjuna yang ada di sebelahku menjadi sasaran. Lengan jasnya aku remas kuat untuk mengurai rasa sakit.
“Pak, kalau kaki saya patah, Bapak harus tanggung jawab. Kita tukeran kaki,” ujarku masih keadaan menangis.
Arjuna dan tukang pijat itu malah tertawa terbahak-bahak. Aku yang masih tersedu-sedu, melirik tak suka ke arah mereka.
Tukang pijat itu masih memijat kakiku, tetapi kali ini rasanya sudah lebih nyaman.
“Tidak parah, hanya sedikit salah urat. Tapi insyaallah setelah ini akan membaik. Sebentar, saya ambil perban dulu buat membalut biar tidak geser lagi.” Tukang pijat itu lantas berlalu meninggalkanku dan Arjuna.
“Tenang, kalau sampai kakimu patah, saya siap menjadi kakimu,” timpal Arjun sambil terkekeh.
Hey, apa maksudnya?
Aku melotot.
“Saya bercanda, Niha.”
Ah, syukurlah.
“Tapi tenang, seperti kata tukang pijatnya tadi. Kakimu pasti segera membaik. Asal jangan banyak gerak dan aktivitas berat dulu.”
“Pak, terima kasih.”
“Iya, sama-sama. Niha, boleh minta nomor ponsel kamu?”
**
“Kamu mau saya antar pulang?” tanya Arjuna saat acara pemijatan penuh drama selesai. Kami saat ini sedang berada di teras rumah tukang pijat.
Kakiku alhamdulillah tidak jadi patah, rasa sakitnya pun kini juga agak hilang. Nyaman saat dibuat berjalan dengan bantuan kruk, meski masih ada rasa ngilu. Aku akui, tadi aku sempat suuzan pada tukang pijat itu. Sekarang aku memuji, dia sangat keren.
“Antar kembali ke tempat acara tadi saja, Pak. Takut nanti Mas Aqsal mencari,” jawabku. Arjuna mengangguk. Kami pun lantas masuk mobil.
“Ini ada charger, coba isi daya ponselmu. Semoga cocok.” Arjuna memberikan alat pengisi daya ponsel kepadaku.
Saat aku pasang, ternyata cocok.
“Kalau sudah bisa dinyalakan, saya ingin tahu nomormu.”
Aku mengangguk canggung. Dengan dalih tidak hafal nomor ponsel, aku belum memberikan apa yang dimintanya. Kami baru kenal dan bagaimanapun juga, aku wanita bersuami. Tidak baik memberikan nomor ponsel sembarangan kepada orang lain. Namun, pria ini tetap kukuh meminta.
Kami kembali mengobrolkan banyak hal hingga tidak terasa sampai di hotel tempat acara tadi.
Saat tiba, suasana sudah agak sepi. Aku langsung turun dari mobil, tak lupa kuucapkan terima kasih pada Arjuna.
“Ayo saya antar pulang saja. Belum tentu saudaramu masih ada di sini.”
“Tidak usah, Pak. Terima kasih. Tidak mungkin dia meninggalkan saya di sini sendirian. Biar saya cari dulu. Sekali lagi, terima kasih banyak.”
Aku membuka pintu.
“Niha.”
“Ya.”
“Jangan memanggil saya pak. Panggil kak, kang, bang, atau mas saja seperti kamu memanggil Aqsal.”
Aku hanya tersenyum. Kalau dia tidak menolongku barusan, mungkin aku akan melotot ke arahnya. Sikapnya sungguh sangat membuatku tidak nyaman. Anggukan kecil kuberikan agar dia puas.
Langkah kaki kuayun terseok-seok, mencari sosok Mas Aqsal ke sana kemari. Mulai dari ruangan pesta hingga halaman, semua aku sisir. Tak lupa bertanya pada orang-orang yang berpapasan. Nihil, mereka semua menjawab tidak tahu dan pria itu tidak tertangkap mata.
Hatiku sakit lagi, merasa diabaikan dan benar-benar tak dianggap.
Gontai, aku berjalan meninggalkan area pesta, menuju parkiran. Mobil Mas Aqsal tidak ada.
“Astagfirullah. Dia benar-benar pria kejam.”
Aku menuju pos satpam untuk meminjam ponsel pada satpam karena tadi ponselku mati. Mengeluarkannya pun percuma. Pria yang tidak lagi muda itu dengan senang hati meminjamkan.
Tak membuang waktu lama, aku menghubungi Asti. Hanya nomor gadis itu yang kuhafal di luar kepala selain nomorku sendiri. Namun, beberapa kali mengirim pesan dan meneleponnya melalui W*, tidak ada respons.
Dari kejauhan, aku melihat Arjuna berjalan ke pos ini.
“Pak, saya mohon. Kalau nanti Pak Arjuna tanya tentang saya, bilang saya sudah pulang, ya,” mohonku pada satpam itu. Dengan ekspresi bingung, pria itu mengangguk.
Aku pun berjalan mengendap-endap keluar pos dan bersembunyi di balik tembok. Demi apa pun, aku tak ingin merepotkan Arjuna lagi.
“Pak, lihat wanita memakai gamis kuning, cantik, berhijab, kira-kira tingginya segini, berjalan pake kruk, keluar dari sini?” Suara itu terdengar telinga. Sepertinya suara Arjuna.
Cantik katanya? Ah, sayang yang memuji bukan Mas Aqsal.
“Oh, i-iya, Pak. Baru saja keluar, mungkin pulang,” jawab satpam tadi. Pak, maaf, gara-gara aku Bapak harus berbohong.
“Pulangnya sama siapa? Naik apa?” cecar Arjun lagi.
“Wah, kurang tahu saya.”
“Ya sudah, terima kasih.”
Setelah tidak ada lagi suara percakapan, aku keluar dari persembunyian. Kuhampiri satpam tadi.
“Pak, terima kasih atas bantuannya. Maaf merepotkan,” ucapku.
“Iya, sama-sama, Neng. Tapi kenapa menghindar dari Tuan Juna?”
“Oh, i-itu, karena tidak enak sama beliau,” jawabku gagap. “Apa sudah ada balasan dari teman saya tadi?” tanyaku lagi, mengalihkan bahasan.
Satpam itu mengeluarkan ponsel dari sakunya. Setelah melihatnya beberapa saat, beliau menggeleng.
Bahuku terkulai. Ke mana, Asti? Tidak biasanya gadis itu jauh dari ponselnya.
“Minta tolong sekali lagi bisa, Pak? Tolong pesankan saya ojek online saja,” ujarku lirih, merasa tidak enak.
Alhamdulillah satpam itu sepertinya orang baik. Beliau mengangguk. Melihat bapak ini, aku jadi teringat almarhum Bapak. Aku tiba-tiba merindukannya.
“Sudah saya pesankan, Neng.” Ucapan satpam itu menarikku dari lamunan.
“Terima kasih, terima kasih banyak, Pak Heru,” ucapku sambil melihat name tag di dadanya. Beliau mengangguk.
Beberapa saat kemudian, ojek yang dipesan datang. Namun, saat hendak naik ke sepeda motor tersebut, lenganku terasa ditahan seseorang.
Jangan-jangan Mas Aqsal?