9. Aku Kesakitan

1245 Words
Aku masih bergeming saat Arjuna menawarkan bantuan. Pria itu terlihat mengoperasikan ponselnya. Sementara aku masih duduk bersimpuh di atas pavingblock. Tidak ingin suasana makin canggung, aku kembali mengesot, menahan sakit agar bisa sampai di bangku yang dari tadi aku incar. Biarlah aku menunggu sampai Mas Aqsal datang menjemput. Semoga dia tak sejahat itu meninggalkanku sendirian di sini. Baru sedikit digerakkan, kakiku terasa makin sakit. Aku mendesis. “Auh.” “Hey, cukup diam, jangan bergerak. Itu hanya akan membuat kakimu tambah parah!” teriak Arjun saat dia selesai dengan ponselnya. Dia mendekat dan berjongkok di hadapanku. Aku pun menghentikan aksi. Ya Allah, aku malu sudah menangis di depan orang asing. “Jangan takut sama saya. Saya tahu batasan. Tunggu sebentar lagi. Saya sedang menyuruh seseorang membawa mobil kemari. Kita obati kakimu,” lanjutnya. “Jangan, Pak. Nanti merepotkan. Bapak ke dalam saja karena acara pasti belum selesai.” Pria itu terkekeh. “Siapa namamu tadi? Biar saya ingat-ingat. Niha, iya, Niha. Dengar, saya tidak bisa meninggalkan seorang wanita malam-malam seperti ini sendirian, dalam kondisi kesakitan pula. Saya bukan pria se-tak acuh itu.” Ada yang sejuk di hati ini kala dia berkata demikian. Arjuna benar-benar menghargai wanita. Tidak seperti Mas Aqsal. Ah, semoga saja dia benar-benar pria baik. “Iya, saya paham. Hanya saja saya masih menunggu Mas Aqsal. Mungkin dia sedang mengambil mobil,” ujarku lirih. Aku berharap demikian. Mas Aqsal pergi untuk mengambil mobil dan nanti akan kembali menghampiriku. “Baiklah. Kita tunggu di sini dulu. Kalau saudaramu itu datang, syukur. Kalau tidak, saya akan tetap mengajakmu untuk mengobati kakimu ini.” Ada yang tersentil lagi di hatiku. Bahkan Mas Aqsal tak pernah memperlakukanku sesopan ini. Ya Allah, salahkah jika aku membandingkan suami sendiri dengan pria lain? Ayolah Niha, dia ini pria asing dan baru dikenal. Apa iya bisa langsung memutuskan dia baik? Aku pun beristigfar dalam hati. Aku hanya bisa mengangguk, sesekali mengelap air mata dan air hidung dengan ujung pasmina. Tidak lama kemudian sebuah mobil menghampiri kami dan berhenti tepat di sebelahku. Arjun berdiri dan berbicara sebentar dengan orang yang membawa mobil tersebut. “Terima kasih. Bilang ke papa, mobilnya saya bawa. Nanti, papa kamu antar pakai mobil saya. Ini kuncinya.” Arjuna terlihat memberikan kunci kepada pria tadi. “Siap, Tuan!” “Kalau papa sampai tanya ke mana saya pergi, bilang ada urusan darurat.” “Baik, Tuan.” Kemudian orang itu berlalu. Dia sempat melihatku. “Kira-kira berapa lama kita akan menunggu Aqsal?” tanya Arjuna. Aku diam, lantas melihat arloji. Dari posisiku saat ini sampai di tempat acara, mungkin berjalan tidak sampai sepuluh menit. Kalau Mas Aqsal benar-benar kembali, seperempat jam kira-kira cukup untuk sampai sini lagi. “Lima belas menit, Pak.” “Oke, kita tunggu.” Pria berpenampilan resmi itu jongkok di sampingku. Pandangannya sesekali melihat ke arah kakiku yang sakit. “Sakit banget pasti.” Aku mengangguk. “Pak, tidak usah menunggu saya. Pak Arjuna bisa pergi saja. Maaf, bukan mengusir. Tapi saya takut kalau merepotkan.” “Tapi saya merasa tidak sedang direpotkan. Maksud saya begini. Saat tahu ada wanita butuh bantuan, saya berkewajiban membantu. Jadi, saya belum lega kalau wanita itu belum tertolong. Setelah dipastikan kondisinya baik, baru saya akan pergi.” Makin aku menolak, pria ini makin menunjukkan kepeduliannya. Mas Aqsal? Mana pernah melakukan ini? Yang ada terus menyalahkanku karena menganggap aku ceroboh. “Pak Arjuna orang yang sangat baik. Maaf kalau saya merepotkan.” “Astaga, Niha. Sudah berapa kali kamu bilang maaf.” Dia tertawa. Terlihat tampan sekali. Astagfirullah. Aku langsung menundukkan pandangan. “Kamu jangan punya pikiran macam-macam sama saya. Saya melakukan ini karena berharap jika adik atau kakak perempuan saya sedang dalam masalah, ada orang yang membantu juga.” “Pak Arjuna punya adik?” “Punyalah. Saya anak tengah atau anak kedua. Kakak dan adik saya perempuan.” “Waw. Kalau dalam istilah Jawa, namanya pancuran kapit sendang.” “Apa itu?” “Anak lelaki yang diapit dua anak perempuan.” “Kamu asli Jawa?” Aku mengangguk. “Iya. Saya blasteran Jawa Timur dan Jawa Barat. Sepertiga hidup saya di Jatim, sepertiga di Jabar. Dan terakhir ini di Jakarta sini.” Arjuna tertawa. Kami pun mengobrolkan hal random sampai-sampai aku lupa kalau kakiku sedang sakit. Seperti itulah hidupku. Kecil di Jabar, remaja di Jatim, dan kemudian bekerja di Jakarta. Aku ikut merantau ke Jakarta karena awalnya mengikuti keluarga Asti yang kasihan kepadaku sebab hidupku sangat kacau setelah ditinggal orang tua plus hutang kala itu. “Sudah seperempat jam. Yakin mau menunggu Aqsal?” Arjuna melihat jam tangan. Bahuku terkulai. Aku melihat ke arah pintu, tidak ada tanda-tanda Mas Aqsal terlihat. “Kamu hafal nomor telepon Aqsal? Biar saya telepon dia. Soalnya saya nggak punya kontaknya." "Enggak." "Lalu bagaimana? Masih mau menunggu?” Kali ini, aku menggeleng. “Tidak usah. Saya minta tolong Pak Arjuna saja untuk mengantar saya pulang. Atau kalau Pak Arjuna sibuk, saya minta tolong dipesankan ojek online." “Baiklah, ayo, saya bantu berdiri. Masuk mobil saya,” titahnya. Aku menggeleng dan mencoba menjangkau pintu mobil sendiri. “Jangan keras kepala. Saya tahu kamu wanita terjaga, tapi anggap ini karena darurat.” “Tapi.” “Saya tidak akan macam-macam. Mari saya bantu,” ujarnya sambil mengangsurkan tangan. Dengan sedikit canggung, kuterima tangan itu. Dia membantuku berdiri dan masuk ke mobilnya. Astagfirullah, Ya Allah, Engkau Maha Tahu. Ini keadaan darurat. Tak ada niat berkhalwat dengan pria bukan mahram ini, tetapi ini terpaksa karena suamiku, justru mengabaikan diri ini yang tengah meregang rasa sakit. Arjuna lantas duduk di sampingku, di depan kemudi. Dia lalu menyalakan mobil dan kami meluncur meninggalkan tempat acara. “Kalau boleh tahu, kamu saudara Aqsal dari pihak siapanya? Mamanya atau papanya?” tanya Arjuna saat di perjalanan. Aku terdiam, bingung harus menjawab apa. Seperti inilah kebohongan. Satu kebohongan yang diciptakan Mas Aqsal dan wanita tadi, aku harus ikut berbohong. “Da-dari pihak mamanya.” “Oh. Kamu tinggal di mana? Dekat dengan rumah Aqsal?” Mati aku. “Eh, itu, anu.” Aku menggaruk kepala yang tidak gatal. Arjuna terkekeh. “Nggak usah grogi gitu.” Aku tersenyum kikuk. “Saya juga baru beberapa hari ini tiba dari Balikpapan. Saya tinggal di sana selama ini. Di sana, saya mengelola hotel papa. Datang ke sini juga karena menghadiri acara papa tadi. Tapi sepertinya mulai sekarang ....” Pria itu menggantung ucapannya. “Mulai sekarang apa?” “Ah, bukan apa-apa. Dulu, saya berpikir Jakarta itu terlalu bising dan menyesakkan. Makanya saya memilih mengelola bisnis papa yang di luar pulau. Tapi mungkin mulai sekarang akan saya oper. Saya di sini, papa dan mama biar di sana yang udaranya masih sehat. Kasihan, sudah tua. Dan sepertinya mulai sekarang pemikiran saya tentang kota ini akan berubah.” Arjuna melihatku sambil tersenyum. Aku mengangguk-angguk, membalas senyumnya. “Sepertinya Pak Arjuna ini tipe orang yang sangat menyayangi orang tuanya.” “Enggak juga. Kami juga sering berbeda pendapat bahkan sampai bertengkar.” “Itu masih wajar, sih. Kalau saya sudah yatim piatu, Pak.” “Innalillahi wa inna ilaihi rojiuun. Saya turut berduka cita.” Kami terus bercakap-cakap. Pria ini enak diajak mengobrol, humble, dan ramah. Itu kesan pertamaku untuknya. ** Arjun ternyata tidak membawaku pulang. Dia juga tidak membawaku ke rumah sakit, melainkan ke sebuah rumah. Di depan sebuah sederhana, mobil berhenti. Ketakutan mulai menjalari pikiran. Apakah pria ini berniat jahat padaku saat kondisiku sedang kesakitan seperti ini? “Turun,” ujarnya dingin. Apa yang akan dilakukannya kepadaku? Apa dia akan berbuat buruk?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD