BAB 15-16

1096 Words
BAB 15 Citra pun terpaksa menyetujuinya untuk menghormati para tamu yang sudah datang. Dua jam berlalu. Para tamu sudah pulang ke rumah masing-masing. Kini tinggallah keluarga Dokter Ardian dan Bu Ratna, tapi Bu Ratna tidak bisa tinggal lebih lama lagi karena ia datang dengan mobil sewaan beserta sopirnya. “Yan, bisa jelaskan tentang semua ini?” tanya Pak Aryo. Sedari tadi ia juga ingin mendengarkan penjelasan dari Dokter Ardian, tapi ia tahan dan bersabar menunggu para tamu undangan pulang. “Ardian lelah, Pa. Ardian janji akan menjelaskan semuanya, tapi tidak sekarang,” balas Dokter Ardian lalu naik ke atas di mana kamarnya berada. Sedangkan Citra sudah naik ke atas terlebih dahulu untuk menidurkan Nizam yang rewel karena mengantuk. Pak Aryo pun mendesah pelan. Setelah itu ia pun memutuskan pulang ke rumahnya untuk beristirahat. Setelah Nizam tertidur, Citra mencubit pipi dan punggung tangannya sendiri. Ia mengira ini semua hanyalah mimpi. Namun, setelah ia mencubit pipi dan punggung tangannya, rasa sakit pun ia rasakan. “Ini nyata, ini bukan mimpi,” gumam Citra masih belum bisa percaya. Setelah itu ia turun dari tempat tidur dan duduk di meja rias untuk menghapus riasan di wajahnya. *** Malam hari Citra baru saja selesai menunaikan salat Isya’ setelah menidurkan Nizam. Tidak lama kemudian terdengar suara pintu kamarnya diketuk. Citra pun segera melepas mukenanya dan menyimpannya. Setelah itu ia membuka pintu kamarnya. “Ini, surat nikah milikmu,” ucap Dokter Ardian seraya menyerahkan buku nikah untuk Citra. Citra pun menerimanya dengan ragu tanpa berkata apa pun. “Boleh saya masuk?” tanya Dokter Ardian. Meskipun sekarang Citra sudah menjadi istrinya, Dokter Ardian masih belum berani asal menyelonong masuk ke dalam kamar Citra. “Silakan, Dok!” sahut Citra lalu mempersilakan Dokter Ardian masuk ke dalam kamarnya. Ia mengira Dokter Ardian akan menjelaskan apa yang terjadi hari ini. Namun, setelah melihat Nizam yang sudah tertidur, Dokter Ardian pun segera keluar dari dalam kamarnya. “Dokter!” panggil Citra dengan sedikit ragu. Dokter Ardian pun menoleh dan menatap mata Citra. Ia mendesah pelan lalu masuk ke dalam kamar Citra kembali. “Kemarilah!” ajak Dokter Ardian setelah membuka pintu balkon kamar Citra. Citra pun patuh dan mengikuti Dokter Ardian menuju balkon. Mereka duduk bersebelahan di kursi yang ada di balkon sambil menatap bintang yang ada di langit. “Sebelumnya, saya minta maaf karena tidak memberitahu kamu di awal, tapi yang jelas Bu Ratna sudah memberikan izin dan restunya untuk saya menikahi kamu,” tutur Dokter Ardian memulai pembicaraannya. Citra mendengarkan dengan menundukkan kepalanya. “Beberapa bulan yang lalu, kedua orang tua saya memaksa saya untuk menikah lagi demi Nizam. Mereka pun memilih Widia sebagai calon istri saya karena Widia adik kandung almarhumah istri saya,” lanjut Dokter Ardian memulai penjelasannya. “Saya tidak masalah mau menikah dengan siapapun, yang penting wanita itu baik, bisa menyayangi dan menjaga anak saya seperti anak kandungnya sendiri. Bagi saya itu sudah cukup,” imbuh Dokter Ardian. “Untuk memantapkan hati saya, beberapa bulan terakhir, saya memperhatikan apa yang dilakukan Widia saat saya tidak ada di rumah. Dari situ saya tahu, bahwa ia tidak benar-benar menyayangi Nizam. Dia hanya baik di depan saya saja,” sambung Dokter Ardian. “Bagaimana Dokter bisa tahu? Kan Dokter tidak ada di rumah,” sahut Citra seraya menatap Dokter Ardian yang ada di sampingnya. *** BAB 16 “Di setiap sudut rumah ini, sudah saya pasang kamera CCTV. Jadi saya melihatnya dari sana,” jawab Dokter Ardian. Ketika mendengar ‘Di setiap sudut rumah ada kamera CCTV’, Citra pun membelalakkan matanya dan segera masuk ke dalam kamar untuk melihat apakah di dalam kamarnya juga ada kamera tersebut. Ia pun terkejut saat melihat di pojok atas kamarnya ada kamera kecil menyala berwarna merah. Ia tidak pernah memperhatikan bagian atas kamarnya. “Dokter juga mengintip saya ketika berganti pakaian?” tanya Citra setelah kembali ke balkon seraya menyilangkan tangan di depan dadanya. Dokter Ardian tersenyum dan menepuk kursi yang ada di sampingnya supaya Citra kembali duduk di sampingnya. “Tidak. Khusus bagian itu saya lewati,” jawab Dokter Ardian dengan tenang. Namun, Citra tidak percaya begitu saja. “Yang benar?” tanya Citra lagi untuk memastikan seraya menatap Dokter Ardian. “Iya, Cit. Lagipula saya dokter kandungan. Melihat hal seperti itu sudah seperti makanan saya setiap hari,” balas Dokter Ardian. Citra pun membenarkan penuturan Dokter Ardian lalu kembali duduk di samping Dokter Ardian. “Kamu ingat nggak waktu kita ke makam Nadia bersama Nizam dua bulan yang lalu? Saya bertanya pada Nadia ‘Apa kamu setuju kalau aku menikah dengan dia?’. Yang saya maksud ‘Dia’ itu adalah kamu. Nadia pun menjawabnya melalui mimpi saya. Dari situ saya mantap untuk menikahi kamu dari pada Widia,” lanjut Dokter Ardian. “Setelah itu saya pun mencari alamat rumah kamu melalui surat lamaran kerja yang kamu serahkan pada rumah sakit. Saya datang ke rumah kamu dan menemui Ibu kamu karena saya baru tahu kalau Bapak kamu sudah tiada. Ibu kamu pun setuju dan merestui setelah saya menjelaskan maksud dan tujuan saya. Beliau banyak membantu saat pengurusan pernikahan ini karena saya melakukannya tanpa sepengetahuan siapapun,” imbuh Dokter Ardian. “Maaf, jika saya terkesan memanfaatkan kamu, tapi saya melakukan ini supaya saya tidak dipaksa untuk menikah lagi. Kita tidak perlu tidur bersama jika kamu keberatan. Masalah uang, saya akan transfer ke Ibu kamu dan rekening kamu setiap bulannya,” ujar Dokter Ardian seraya bangkit dari duduknya. “Tidurlah, ini sudah larut malam,” pamit Dokter Ardian lalu keluar dari dalam kamar Citra. Citra masih terdiam duduk di kursinya dan masih mencerna setiap kata-kata yang diucapkan Dokter Ardian. Setelah Dokter Ardian pergi, Citra masuk ke dalam kamarnya dan mengambil buku nikah yang tadi diserahkan Dokter Ardian di atas meja. Ia pun membuka buku itu untuk melihat isinya. “Jadi, Dokter Ardian masih berusia tiga puluh satu tahun,” gumam Citra setelah mengetahui tahun lahir Dokter Ardian. Sementara itu, Widia di dalam kamarnya sedang menatap langit-langit kamarnya dan terlintas kejadian tadi siang di benaknya. “Dasar jalang!” umpat Widia dengan geram seraya membuang bantal ke sembarang arah. Widia merasa sangat malu dengan kejadian tadi siang yang menimpa dirinya. Harusnya sekarang ia sudah menjadi istri dari Dokter Ardian Raditya, tapi semua itu gagal karena kehadiran Citra. Padahal semua itu bukan salah Citra. “Pantas saja dia memakai kebaya mendiang Kak Nadia. Ternyata ada maksud tersembunyi dibalik itu semua. Jangan harap kamu bisa bahagia di atas kematian kakakku dan penderitaanku,” gumam Widia dengan menyeringai jahat. *** Keesokan harinya Citra baru saja selesai mandi pagi. Ia keluar dari dalam kamar mandi hanya menggunakan handuk yang melilit di tubuhnya seperti biasanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD