PART. 6 CINTA TULUS ITU TAK ADA

1025 Words
Bella masuk ke kamar yang disediakan untuknya. Kamar yang sangat besar dengan interior mewah. Nenek Rani mengatakan, mulai besok akan datang seorang guru, yang akan mengajarinya menyanyi, dan menari. "Bella!" Suara Edward dari luar pintu kamarnya. Bella membuka pintu kamar, Edward masuk lalu menutup pintu. "Bella, kamu tidak harus melakukan apa yang diinginkan nenek, jika kamu merasa tidak nyaman." Edward menatap Bella, dengan pandangan yang sulit untuk Bella artikan, tapi entah mengapa, Bella merasa ada yang bergetar di hatinya, saat tatapan mata mereka bertemu. Bella melihat ada ketulusan di dalam pancaran mata Edward. . "Tidak apa-apa, Edward. Aku akan melakukan apa yang Nenek inginkan. Anggap saja aku sedang menambah wawasan tentang budaya negeri ini," jawab Bella. "Kenapa kamu mau melakukannya?" "Aku sudah bilang, aku tidak akan setengah-setengah dalam membantumu, kecuali kamu ingin aku berhenti membantumu." "Tentu saja tidak, Bella, aku tetap memerlukan bantuanmu, untuk lepas dari jerat Malika." Nada bicara Edward terdengar geram saat menyebut nama Malika. Bella tertawa pelan. "Kenapa kamu tertawa, Bella?" Edward menatap Bella. Jelas sekali kalau Edward tidak suka ditertawakan. "Maaf, Edward, tapi aku kira kamu sudah begitu banyak menghadapi wanita dengan berbagai usia, status sosial, dan berbagai macam tipe, dan tingkah polahnya. Namun kenapa kamu seperti mati kutu dihadapan Malika?" Bella menatap ke dalam mata Edward. "Jadi kamu mentertawakan aku, Bella. Kamu tidak tahu seperti apa Malika. Aku mengenalnya dari dia kecil, Bella Aku tahu benar, dia bisa melakukan apa saja agar orang bisa mengikuti maunya." Nada suara Edward meninggi. "Oh, ya! Harusnya Malika cocok denganmu, karena mungkin saja dia akan mampu menyetir kamu, agar arah hidupmu menjadi benar, Edward." "Apa? Jadi kamu menganggap hidupku tidak benar! Begitu, Bella?" Edward menatap tajam Bella. Suasana mulai memanas. "Ya, setidaknya berganti-ganti pasangan, cinta satu malam, berkelana dari satu ranjang ke ranjang yang lain. Lalu menghamburkan uang demi kesenangan, itu bukan hal yang baik menurutku, Edward." "Oh ... jadi begitu penilaianmu terhadapku. Kamu harus tahu, Bella, para wanita itulah yang menyodorkan dirinya untuk aku tiduri! Tentang menghamburkan uang demi kesenangan, aku sudah bekerja sangat keras setiap harinya, seperti yang kamu lihat. Jadi wajar saja kan kalau aku ingin sedikit bersenang-senang dengan uang hasil kerja kerasku." Edward membela diri dari kritikan dan pandangan buruk Bella terhadapnya. Bella mengangkat bahunya. "Hhhh ... terserah padamu, Edward, itu urusanmu, aku tidak berhak mengatur kamu. Apa ada lagi yang ingin kamu katakan, Edward?" Edward tidak menjawab, tapi ia melangkah mendekati Bella. "Aku hanya ingin mengingatkan, bersikap lah mesra di depan semua orang, agar kita lebih meyakinkan dalam peran kita sebagai kekasih, Bella." Satu tangan Edward meraih pinggang Bella, yang satu lagi meraih dagu Bella. Lagi-lagi Bella merasa bagai ABG yang belum pernah disentuh, ia merasa kakinya lemas karena lututnya yang mulai gemetar. Lututnya semakin gemetar, saat bibir Edward mencium bibirnya. Tangan Edward yang tadi di dagunya, kini berpindah ke tengkuknya. Bella tahu, tak mudah menghindari pesona seorang Edward Khastana, tapi terlalu bodoh jika menyodorkan hati atas nama cinta. Bagi Edward, cinta hanya omong kosong belaka. Hal yang aneh menurut Bella dengan anggapan Edward itu. Edward dibesarkan dalam keluarga yang penuh cinta, tapi kenapa Edward tak percaya cinta tulus itu ada. Lamunan Bella berakhir, saat lidah Edward menari-nari di dalam rongga mulutnya, Bella merasa merinding seluruh tubuhnya, mata Bella terpejam sepenuhnya. Bella hanya bisa mendesah di dalam hati, karena Eward tak memberinya kesempatan sedikitpun untuk mengeluarkan suara dari mulutnya. Ciuman mereka semakin panas, Edward menekan tubuh Bella agar punggungcBella menempel rapat di dinding. Edward melepaskan ciuman, lalu mengangkat kepala. Matanya menatap lekat wajah Bella, Edward seperti mengingat-ingat mirip siapa Bella. Bella membuka mata. Mata mereka bertemu, Bella ingin melepaskan diri dari Edward, tapi Edward tak mau melepaskannya. Edward kembali mencium bibir Bella, membuatnya merinding lagi. Kali ini Bella melingkarkan satu tangan di leher Edward, sementara tangan yang lain mengelus lembut punggung Edward. Edward melepaskan ciuman sesaat, lalu kembali lagi mencium bibir Bella. Bella merasa bibirnya membesar, terasa bengkak, lidahnyapun terasa letih, karena Edward mengisap lidahnya cukup kuat. Edward sekali lagi melepaskan ciuman, diseka bibir Bella dengan jarinya. "Kita akan jadi pasangan paling disorot sebentar lagi, Bella. Bersiaplah untuk hidup dengan intaian kamera para pencari berita, meski hanya untuk enam bulan saja," kata Edward mengingatkan. Bella sudah membuka mulutnya ingin bicara, ketika pintu kamar diketuk, dan ada suara memanggil mereka berdua. "Kak Bella, apa Kak Ed ada di dalam?" Itu suara Rania. "Iya." Bella menjawab pertanyaan Rania. "Kak Ed, dan Kak Bella, waktunya makan siang!" Edward meraih tangan Bella, lalu melangkah menuju pintu, dibuka pintu kamar. "Ya, terima kasih, Sayang." Edward menjawil hidung adiknya seraya tersenyum. "Kembali kasih, Kakak," sahut Rania. Edward dan Bella menuju ruang makan besar keluarga Khastana. Meja makan berbentuk oval, dan sangat panjang itu dikelilingi keluarga besar Khastana. Berbagai hidangan tersusun rapi di atas meja makan. Para pelayan berseragam seperti pelayan restoran mewah, berjejer rapi untuk melayani semuanya. Bella yakin, pelayan di rumah ini tidak bisa dihitung dengan jari dari kedua tangan, dan kedua kakinya. Edward menarik satu kursi untuk Bella, saat mereka tiba di ruang makan yang luar biasa luasnya. Sungguh, meski Bella artis tersohor, tapi ia tidak membiasakan diri untuk hidup bermewah-mewah, sampai sepuluh tahun karirnya, ia sukses tidak terlalu mengumbar kehidupan pribadinya. Penggemarnya, dan masyarakat luas sepertinya cukup puas dengan karya yang dihasilkan, jadi tidak mengulik kehidupan pribadinya terlalu dalam. Bella besar, dan terkenal serta bisa terus eksis, benar-benar karena karya-karyanya, dan prestasinya, bukan karena sensasi dari kehidupan pribadinya. Hal itulah yang membuatnya merasa cukup terkejut, melihat suasana dikeluarga Edward. Rumah mereka tidak lagi bisa disebut hanya sekadar rumah, tapi seperti istana dengan pilar-pilar besar, dan semua isinya yang serba mewah, serba indah, dan pastinya serba mahal. Suasana makan malam di meja yang dikira Bella bakal sunyi sepi, dan hanya ada denting piring yang beradu dengan sendok, dan garpu ternyata salah. Semua sibuk makan sambil bicara dengan bahasa mereka. Kak Aisha yang merupakan sepupu Edward (neneknya, dan kakek Edward bersaudara) yang saat ini duduk di sebelah Bella, menawari Bella untuk menambah makanan di piringnya, dengan bahasa mereka. Bella menolak dengan bahasa mereka juga. Jawaban Bella itu spontan tanpa dipikirkan dampaknya. Itu membuat semua mata menatap terkejut ke arah Bella. Edward ikut menoleh ke arah Bella. "Kamu bisa bahasa kami, Bella?" tanya Nenek. *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD