PART. 7 TAKUT CINTA

1118 Words
Bella menatap Edward, ia bingung harus menjawab apa. "Aku yang mengajarinya, Nenek, dia belajar dengan cepatkan, dan aku yakin, dia juga akan belajar dengan cepat untuk menyanyi, dan menari," jawab Edward cepat, meski ia sendiri juga terkejut, dan penasaran, dari mana Bella bisa bahasa mereka. Tapi, Edward tidak ingin Bella terus dicecar berbagai pertanyaan oleh neneknya, yang pasti tidak akan langsung puas dengan satu jawaban Bella. "Hmmm ... jadi kamu sudah mengajarinya bahasa kita, Ed. Berapa banyak kata yang sudah kamu ajarkan padanya?" tanya Nenek pada Edward. Nenek selalu begitu. Nenek selalu ingin mengulik semua sampai rasa penasarannya hilang. Semua itu karena Nenek mantan orang pers. Nenek dulu seorang wartawati yang sangat terkenal. Pertemuannya dengan Kakek Edward pun, karena saat itu Nenek mendapat tugas dari tempatnya bekerja, untuk mewawancarai kakek yang merupakan pewaris nama besar Khastana. Edward, dan Bella saling pandang, bibir Edward menyunggingkan senyuman, tangannya meraih jemari Bella yang ada di atas meja. Edward mengecup jari Bella mesra. "Sekarang belum begitu banyak yang aku ajarkan, Nenek. Tapi tenang saja, Bella akan belajar dengan cepat, iya kan, Sayang?" Edward mengangkat kedua alisnya saat memandang Bella. Bella mengangguk, dan balas menatap Edward dengan pandangan mesra. Malika mengibaskan tangan di depan wajahnya, pemandangan di seberang meja, sungguh membakar hatinya. Malika mencintai Edward dari masa remaja, berbagai cara sudah dilakukan untuk meluluhkan hati Edward, tapi Edward hanya menganggapnya sebagai adik saja. Edward selalu berkata, ia tidak berniat untuk terikat dalam bentuk apapun, dan dengan wanita manapun. Tapi, tiba-tiba Edaward membawa seorang wanita yang diperkenalkan sebagai calon istrinya, sungguh menyakitkan bagi Malika. Bella menarik nafas lega karena terselamatkan di meja makan. Namun Bella tahu, Edward pasti akan menuntut jawaban dan ia harus mempersiapkan jawaban yang tepat untuk Edward. Melihat tingkah Malika, Bella tidak merasa terganggu sedikitpun. Bagi Bella, Malika hanya gadis manja yang masih bergantung pada orang tua. Malika tipe wanita yang lebih mengandalkan penampilan daripada kecerdasannya. Selesai makan, Bella kembali ke kamar. Bella baru saja ingin merebahkan tubuh lelahnya, usai makan siang tadi, ketika Nania memanggilnya. Nania dan Rania seumuran dengan keponakan mereka Aina dan Aima, dua gadis kembar putri Kak Aisha dan Kak Ranvi. Keempat gadis itu sama cantik dan sama ramahnya. Bella membuka pintu kamarnya. "Ya, Nania, ada apa?" tanya Bella pelan. "Bu Jayti yang akan mengajari Kakak menari sudah datang," kata Nania. Bella mengernyitkan keningnya. 'Bukannya belajar menari baru dimulai besok kata Nenek, kenapa Gurunya datang sekarang,' batin Bella. "Nenek tidak sabar ingin melihat kakak belajar menari, karenanya Nenek memanggil Bu Jayti sekarang, Kak, Kak Edward sudah protes ke Nenek, kasian Kakak belum sempat istirahat, tapi Nenek memaksa, maafkan Nenek ya, Kak." Nania berkata seakan ia tahu isi benak Bella. Bella tersenyum. "Tidak apa-apa, ayo kita temui mereka," ajak Bella. Bagi Bella, hal ini tidak seberapa dibandingkan perjalanan tour ke berbagai negara yang sangat melelahkan. Bu Jayti, dan Bella saling memperkenalkan diri. Bella mulai belajar menari dengan ditonton keluarga besar Edward. Meski Bella sudah terbiasa tampil dihadapan jutaan penggemarnya, tapi ditonton oleh keluarga besar Khastana membuatnya merasa sangat gugup, mengalahkan rasa gugup saat harus tampil dihadapan kepala negara, yang sering mengundangnya bernyanyi di istana kenegaraan. Nenek memandang takjub pada Bella. Edward benar, Bella belajar dengan cepat. Nenek tersenyum puas. "Baru hari pertama, kamu sudah membuatku terpesona, Bella. Aku harap besok kamu bisa belajar dengan cepat juga." Nenek menepuk lengan Bella. Melihat Nenek seperti ini, pasti tidak akan ada yang percaya, kalau nenek baru pulang dari rumah sakit hari ini. Edward ikut tersenyum senang, pilihannya pada Bella untuk menjadikannya sebagai istri sandiwara, ternyata tidak salah. Untungnya saat itu Malika, dan orang tuanya sudah pulang ke rumah mereka sendiri, sehingga tidak perlu mendengar banyak pujian yang dialamatkan pada Bella. Semakin Bella disukai, rasa benci Malika pada Bella pasti akan semakin menjadi. --- Usai makan malam, Bella masuk ke dalam kamarnya. Bella bersyukur Edward tidak ada bertanya tentang darimana ia bisa belajar bahasa negara Edward. Bella membuka pintu yang menuju ke teras kamarnya. Ada taman yang indah, dan asri di teras kamar. Bella mulai mempraktekan tarian yang diajarkan Bu Jayti tadi. Ia sebenarnya pernah belajar tarian ini, tapi karena sudah lama tidak menarikannya jadi agak canggung sedikit. Bella belajar dengan sepenuh hati, bukan sekadar karena ingin menenangkan hati nenek Edward. Bella tak menyadari, kalau Edward bisa melihat, dari kamarnya yang tepat berada di sebelah kamar Bella. Saat Bella berputar, ia baru sadar, kalau Edward sudah berada tepat di hadapannya. Bella baru menyadari, teras kamar Edward terhubung dengan teras kamarnya. "Belajar dengan keras, eeh. Kamu takut dikalahkan Malika ya?" tanya Edward menggoda. "Tidak akan ada yang menang, atau kalah. Ini bukan sebuah pertarungan," jawab Bella. "Bagimu begitu, tapi tidak bagi Malika pastinya." "Aku tidak habis mengerti, kenapa kamu menolak Malika? Dia cantik, dia kaya, dia berpendidikan tinggi, kalau dia sedikit manja, aku kira itu hal wajar saja." "Aku sudah pernah berkata padamu kan, Bella. Aku tidak mau mengikat diriku dalam satu hubungan, dengan orang yang sama seumur hidupku. Itu pasti akan sangat membosankan bagiku," sahut Edward. "Kamu tidak percaya pada cinta, Edward?" tanya Bella dengan pandangan dalam ke bola mata Edward. Edward balas menatap mata Bella. "Aku pernah percaya pada cinta, Bella, tapi sayangnya cinta tidak mempercayaiku." "Maksudmu?" "Cinta antara wanita, dan pria, itu hanya mendatangkan penderitaan, Bella. Cinta seperti itu akan bisa mengikat kita hingga kita tak bisa bernafas, kehilangan akal sehat, dan bisa membuat kita gila." Bella tertawa. "Aku baru tahu, ternyata seorang Edward Khastana takut pada kekuatan cinta," kata Bella bernada mengejek Edward. Edward menatap Bella dengan rasa marah. "Jangan menertawakan aku, Bella!" "Kenapa? Kamu itu secara fisik sangat sempurna, Edward. Tapi kenapa hatimu begitu rapuh. Jika dengan cinta saja kamu merasa takut, lalu bagaimana kalau kamu dihadapkan pada kehidupan yang penuh tekanan? Oh ya, aku lupa, kamu dilahirkan dengan darah biru di tubuhmu. Kamu tidak pernah kekurangan, kamu tidak pernah tahu rasanya kelaparan, ya kan, Edward," ucap Bella tanpa rasa takut. "Jangan menghinaku, Bella!" "Aku tidak menghinamu, Edward, itu sebuah kenyataan. Kenyataan yang harusnya membuatmu bangga, iya kan." "Berhenti mengejekku, Bella!" sergah Edward dengan nada tinggi, matanya tajam menatap ke arah Bella. Bella sadar kalau kata-katanya sudah kelewatan. "Maafkan aku, Edward, aku kembali ke kamarku sekarang." Bella ingin masuk ke dalam kamarnya, tapi tangan Edward menahan lengannya. Ditarik lengan Bella, hingga Bella berada dalam pelukannya. "Beritahu aku, Bella, cinta itu seperti apa? Apakah cinta, saat lututmu gemetar tiap aku sentuh? Apakah cinta, saat tubuhmu merinding saat aku cium? Apakah cinta, saat kamu membalas ciumanku? Katakan, Bella!?" "Cinta bukan hanya soal itu, Edward, cinta adalah tentang rasa!" Wajah Bella mendongak. Tatapan mata Bella ke dalam bola mata Edward. "Aku tidak peduli tentang cinta, Bella, aku hanya menginginkan kesenangan!" Edward menundukan wajahnya, bibirnya hampir menyentuh bibir Bella, tapi kali ini Bella memalingkan wajahnya, sehingga bibir Edward mendarat di pipinya. *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD