Dosa Terindah - 15

1568 Words
Semua perkataan Siska ternyata bukan hanya omong kosong ataupun bualan belaka. Pagi ini Ara dikejutkan oleh kedatangan sang mama mertua yang langsung saja menyerahkan setumpuk list kegiatan yang akan dijalani Ara setiap harinya. Apakah Ara seorang anak kecil yang masih harus diatur? Apakah rumah ini sebuah sekolah dengan segudang peraturan dan kegiatan yang melelahkan? Ara menelan ludah, lalu beralih menatap Rahid yang hanya tersenyum tipis. “Kamu harus menjalankan semua itu dengan baik! Jangan sampai berbuat ulah lagi, kamu mengerti?” tanya Rahid. Ara hanya tersenyum canggung, lalu beralih menatap sang mama mertua. “J-jadi aku harus mengikuti semua schedule ini, Ma?” “Iya sayang... pokoknya Mama sudah memilihkan tempat dan guru terbaik untuk semua kelas privat yang akan kamu ikuti itu,” jelas sang mama mertua. Ara tersenyum cemas. Dia benar-benar masih kaget dengan kehidupan yang seperti ini. Sebelumnya Ara memang sudah terbiasa dengan didikan dan kedisiplinan yang keras dari kedua orang tuanya, namun Ara tidak menyangka bahwa keluarga Rahid lebih dari pada keluarganya. Padahal di awal Ara menyangka keluarga besar Rahid adalah kumpulan orang-orang yang berjiwa bebas. Mereka terlihat friendly dan ramah. Namun kenyataan yang dihadapi Ara saat ini sungguh mengejutkannya. “Ya sudah... Mama pergi dulu ya. Pokoknya mulai besok, kamu sudah mulai menjalani semua kegiatan itu. Mama yakin kamu pasti akan menyukainya.” Sang mama mertua pun segera keluar dari kamar Ara dan Rahid. “Rahid... a-aku bener-bener nggak bisa melakukan semua ini,” ucap Ara kemudian setelah dia merasa sang mama mertua sudah pergi cukup jauh. Jemari Rahid yang sedang memasang dasinya mendadak terhenti. Dia menatap Ara dari pantulan cermin besar di depannya. “Apa maksud kamu berbicara seperti itu?” Ara menelan ludah. “Les merangkai bunga? Les memasak? Kelas tata krama?” a-aku tidak mengerti dengan semua itu... aku bahkan tidak pernah menyukai bunga sedari kecil.” “Berarti mulai sekarang kamu harus menyukainya,” sergah Rahid. Ara menatap nanar. Dia kembali bertanya-tanya pada dirinya sendiri bagaimana bisa dia menerima Rahid sebagai suaminya. Pernikahan mereka bahkan belum genap satu bulan, namun Ara sudah merasakan sedikit sesal yang selalu mengusik pikirannya. Sejauh ini Ara sudah bisa mengenal sosok Rahid lebih jauh lagi. Rahid adalah tipikal orang yang sensitif dan sangat mudah tersinggung, apalagi jika itu menyangkut tentang nama keluarga besarnya. Terkadang dia menjelma sebagai sosok suami yang lembut dan penuh perhatian. Namun tak jarang dia bersikap dingin dan membuat Ara merasa bahwa Rahid adalah orang asing yang tidak dia kenal. “Lakukan saja semua itu dengan baik. Toh, itu semua juga demi kebaikan kamu! Mama melakukan itu semua agar kamu benar-benar menjadi sosok menantu yang sempurna. Jangan sampai nanti kamu malah menjadi seperti Res....” Rahid menghentikan kalimatnya. Ara pun langsung berdiri dan mendekai Rahid, lalu menatapnya dengan raut wajah penuh tanda tanya. “Sebenarnya apa yang terjadi dengan Resty?” Rahid berdehem, lalu kembali merapikan ikatan dasinya. “Sudahlah... kamu tidak perlu tahu hal itu dan jangan pernah mencari tahu tentang itu!” Deg. Ara menatap nanar, sedangkan Rahid segera meraih jas dan tas miliknya, lalu segera pergi dari kamar itu. “Semua ini benar-benar gila,” desis Ara.  Ara kembali melihat kertas yang berisi daftar kegiatan itu. Minggu 1. Kelas merangkai bunga 10.00 – 12.00 di Flowers Caution 2. Kelas etika 16.00- 18.00 di rumah bersama mentor. Senin 1. Kelas memasak di rumah 13.00 – 15.00 Selasa. 1. Kelas menjahit 10.00 – 12.00 2. Private bahasa perancis 14.00 – 16.00 Rabu. 1. Kunjungan ke kantor pusat Triyatno.Tbk Kamis. 1. Kelas paduan suara 10.00 -12.00 bersama Mbak Berta. 2. Arisan bersama squat sosialita 19.00 – 21.00. Jumat. 1.Pengajian bersama anggota arisan squat sosialita 19.00 – 20.00. Sabtu 1. Kegiatan bersama keluarga besar. Ara mendesah panjang. Bahkan membaca deretan jadwal itu saja sudah membuatnya lelah. Apakah dia memang harus mengikuti semua itu? Ara tertunduk lemas. Semua ini bahkan lebih mengerikan dari didikan kedua orang tuanya. Sedetik kemudian air mata Ara langsung tergenang. Dia ingin menangis tapi berusaha keras untuk menahannya. Ara pun beralih menatap handphone-nya. Ingin rasanya dia menelpon papa atau mamanya. Ingin rasanya dia mengadukan itu semua, namun Ara tahu semua itu percuma. Apalagi terakhir kali Ara juga sudah terlibat cekcok bersama sang papa. Satu-satunya yang bisa menjadi harapan Ara sebagai tempat mengadu hanyalah Rahid, namun sosok suaminya itu juga tidak bisa diandalkan. Ara pun termenung memikirkan tentang Rahid. Sejatinya Rahid tidak pernah mempertimbangkan perasaannya dalam hal apapun. Bahkan dalam urusan ranjang sekalipun. Akhir-akhir ini Ara bahkan tidak menikmati sama sekali aktivitas seksual itu. Rahid melakukan sesuai keinginannya saja. Dia melakukan semua yang ‘menyenangkan’ menurut versinya saja. Bagi Ara semua itu terasa sangat melelahkan. Kadang dia hanya tertegun saat melakukan itu. Kadang dia hanya berharap semua itu cepat selesai. Tidak ada lagi kenikmatan. Tidak ada kasih sayang yang dirasakan Ara saat Rahid melakukannya. Seegois itulah ternyata Rahid sang suami. Dia bahkan tidak pernah bertanya apakah ara menyukainya atau tidak dan selalu melakukan sesuka hatinya. _ Siang ini Ara berinisiatif ingin memasak sayur untuk tambahan menu makan siang. Menu sayur yang dipilih Ara cukup sederhana. Hanya tumisan sayur kangkung yang ditambahi sedikit irisan bawang merah, bawang putih dan irisan cabe yang kemudian diberi sedikit garam dan penyedap. Ketika sedang asyik memasak, tiba-tiba sang mama mertua datang memasuki dapur dan tersenyum senang sambil mengendus aroma sayur buatan Ara. “Kamu masak apa?’ tanya sang mama mertua. Ara tersenyum malu. “Cuma masak sayur aja kok, Ma.” Sang mama langsung menengok ke dalam kuali dengan binar takjub. “Wah sepertinya enak nih... kamu masak sayur kangkung ternyata. Mama juga suka sayur kangkung. Nanti Mama akan mencicipinya. Kita makan siang bareng, ya nanti.” Ara pun tersenyun senang. Pujian itu sedikit membuatnya merasa tenang. Siapa tahu nanti dia bisa menyampaikan rasa keberatannya pada sang mama mengenai segudang jadwal yang tidak disukainya itu. “Orang rumah pada beraktivitas semua, jadi nanti paling cuma mama dan kamu yang akan makan siang di rumah,” ujar sang mama lagi. “Aku juga di rumah dooooong!” teriak Siska yang juga muncul di ujung sana. Siska langsung mendekat sambil tersenyum ramah, lalu ikut menengok ke kuali yang masih mengepulkan asap itu. “Kamu bisa masak, Ra? wah Kakak bener-bener ngerasa malu sama kamu. Sampai saat ini Kakak sudah banyak mengikuti les memasak dengan guru yang sudah bergonta-ganti, tapi sampai sekarang masih saja belum ahli memasak.” Siska tersenyum malu. “Iya lho... nanti kamu itu kelas memasaknya bareng Ara, jadi kalian bisa belajar bersama dan mempraktekkannya di rumah,” sahut sang mama. Siska pun tampak antusias. “Beneran, Ma? Jadi Ara akan mengikuti kelas yang sama dengan aku?” “Iya,” jawab sang mama. Siska langsung meraih kedua tangan Ara dan mengguncang-guncangnya dengan penuh semangat. “Aku nggak sabar pengen les bareng kamu!” Ara tersenyum senang. “Aku juga senang karena mengikuti kelas bareng Kak Siska.” Siska dan sang mama mertua kembali memuji-muji kemampuan ara memasak. Mereka berdua tidak sabar ingin mencicipi sayuran buatan Ara. Suasana dapur itu pun menjadi heboh. Ara juga tidak terlalu merasa sedih sekali sekarang. Dia mencoba berpikir positif. Mungkin memang inilah cara sang mama mertua untuk membentuknya menjadi perempuan yang lebih baik. Suara gelak tawa masih terdengar pelan. Sampai kemudian tiba-tiba suara tawa itu mereda saat sosok Resty muncul di dapur itu. Deg. Sang mama mertua hanya menghela napas, kemudian tersenyum menatap Ara. “Nanti kalau sudah matang, kamu panggil Mama aja, ya... sekarang Mama mau ke kebun belakang dulu melihat para pekerja yang sedang merenovasi taman.” “Iya, Ma,” jawab Ara. Siska yang tadi tertawa keras juga mendadak diam. Dia terlihat sedikit risih karena kehadiran Resty yang saat ini sedang membuka kulkas untuk mengambil beberapa cemilan yang ada di sana. “Aku ke kamar dulu ya, Ra... mau nyiapin pakaian sekolah Alea buat besok.” Siska pun juga bergegas pergi dari dapur itu. Ara hanya mengangguk pelan. Suasana dapur itu mendadak terasa horor saat sang mama mertua dan Siska sudah pergi dari sana. Sesekali Ara melirik Resty dari sudut matanya. Entah apa yang sedang dilakukan perempuan aneh itu. Dia hanya menatap kulkas yang terbuka tanpa melakukan apa-apa. Ara pun menatap heran. Deg. Ara terkejut saat Resty tiba-tiba menatap ke arahnya. Penampilan Resty bahkan terlihat seperti orang gila. Rambut panjangnya terlihat kusut dan menutupi wajahnya. Apa dia baru bangun jam segini? Ara merasa semakin risih saat Resty menatap kuali sayurnya dalam waktu yang cukup lama. “Kenapa dia melihat seperti itu?” batin Ara. Ara berpura-pura cuek dan kembali mengaduk-aduk sayurnya. Waktu pun berlalu. Tidak ada lagi suara-suara yang terdengar. Apa Resty sudah pergi dari sana? “AAA...!!!” Ara sontak berteriak saat menoleh ke belakang. Spatula yang dipegangnya bahkan jatuh ke lantai. Ara terkejut melihat sosok Resty yang ternyata sudah berdiri di belakangnya, entah sejak kapan. Ara pun menatapnya dengan d**a yang masih berdebar kencang. “A-ada apa?” tanya Ara. Resty tidak menjawab. Dia menatap Ara sebentar, beralih emnatap sayur di kuali itu, lalu tersenyum sinis. Sedetik kemudian dia pun pergi dari sana tanpa membawa apa-apa. “Apa-apaa sih dia? kenapa dia melihat seperti itu? dan untuk apa dia membuka kulkas jika tidak mengambil apa-apa?” tanya Ara. Tak lama kemudian, sayur itu pun matang. Ara tersenyum puas saat menuangkan sayur buatannya itu ke dalam mangkok. Dia sudah tidak sabar mendengar review dari mama mertua dan Siska nanti. Ara berharap mereka berdua akan menyukainya. “Oke semua selesai,” bisik Ara. Ara pun lalu mengendus pakaiannya sendiri. Bajunya kini sudah ebrbau asap dan juga bau bumbu dapur. “Lebih baik aku mengganti baju dulu,” ucap Ara. Ara pun melenggang pergi menuju kamarnya sambil bersenandung pelan. Sepeninggal Ara, sepasang kaki pun terlihat kembali memasuki dapur. Dia melangkah pelan, mendekati sayur buatan Ara yang terletak di meja. Sosok itu tersenyum dengan sorot mata jahatnya. Dia melihat keadaan di sekitarnya sekali lagi, kemudian mengangguk pelan. Perlahan dia mengambil botol berisi garam, lalu menuangkannya ke dalam sayur itu dengan sangat banyak. “Aku sudah katakan... rumah ini akan menjadi neraka untuk kamu Ara....” desisnya pelan. _ Bersambung... HALO GUYS... KITA BARU MASUK DI AWAL CERITA YA... NEXT KITA AKAN MULAI MASUK PADA KONFLIK KISAH INI. AKAN ADA BANYAK TEKA-TEKI JUGA... JADI KALIAN PERHATIKAN BAIK-BAIK YA! SIAPA TAHU KALIAN NANTI BISA MENEBAKNYA. SEMOGA KALIAN MENYUKAI CERITA SEDERHANA INI. LOVE YOU. YONG JIAN.      
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD