Pemakaman berlangsung dengan cucuran air mata dari keluarga, bahkan wargapun ada yang ikut menangis juga. Kepergian orang baik akan selalu menyisakan rasa kehilangan yang mendalam, tidak hanya bagi keluarga, tapi juga bagi orang yang mengenal dan pernah merasakan kebaikan almarhum.
Saat warga yang ikut ke pemakaman sudah pulang.
Tari masih tersedu dalam pelukan Raka. Begitupun Salsa dalam pelukan Hafiz, sedang Hafid memeluk neneknya. Sementara Surya tengah berjongkok di dekat nisan Abinya. Surya tampak cukup tegar menerima kepergian Abinya.
Keluarga Raka juga masih di pemakaman. Cantika berada dalam gendongan Raffa, meski usianya sudah 60 an, tapi Raffa masih mampu menggendong Cantika si Little Princessnya. Mia, Rika, Zaldi dan putra mereka Riza berdiri bersisian. Sedang Ridwan tampak berdiri di dekat Soleh.
"Sudah saatnya kita pulang" ujar Surya yang bangkit dari berjongkoknya.
Diraih Aminya ke dalam dekapannya.
"Jangan menangis lagi Ami, ikhlaskan kepergian Abi"
"Ami ikhlas Surya, tapi air mata ini seperti tidak mau berhenti mengalir"
"Kita pulang" Surya membawa Aminya melangkah meninggalkan pusara Abinya. Langkah mereka diikuti oleh yang lainnya.
"Kek" Cantika berbisik di telinga Raffa.
"Ya sayang"
"Kalau ada yang meninggal, kenapa olang-olang menangis kek?"
"Mereka sedih ditinggal pergi, karena yang meninggal tidak akan hidup lagi"
"Oooh..jadi kakek buyut tidak balik lagi ya"
"Iya sayang"
"Kek"
"Ya"
"Kakek bawa oleh-oleh buat Cantika sama dedek Alka tidak?"
"Ehmm maaf ya sayang, kakek tidak sempat beli oleh-oleh, karena perginya mendadak, nanti oleh-olehnya kakek kirim saja ya, Cantika ingin dibelikan apa?"
"Mukena gambal stlawbelly kek"
"Bukannya Cantika sudah punya mukena strawberry yang waktu itu dibelikan nenek"
"Heum, tapi mukenanya sudah nggak ada"
"Sudah nggak ada bagaimana sayang"
"Ehmm boleh dicelitain nggak ya?" Cantika meletakan jari telunjuk di dagunya. Bola matanya berputar seakan ia tengah berpikir keras.
"Memang kenapa Cantika nggak boleh cerita?"
"Kata Abba kalau belbuat baik nggak boleh celita-celita, bial Allah aja yang tahu"
"Oooh, memang Cantika berbuat baik sama siapa?"
"Sama Nul, Nul solatnya nggak pakai mukena kek, kalna ibunya belum punya uang untuk beli mukena. Telus Cantika kasih mukena stlawbelly Cantika"
Raffa tersenyum, namanya anak kecil, pasti akan menjawab jujur juga, meski tadi katanya tidak mau cerita.
"Ehm nanti kakek minta sama nenek belikan mukena strawberry buat Cantika ya sayang"
"Telimakasih Kakek, Cantika sayang sama Kakek" Cantika mengecup pipi Raffa. Raffa tersenyum bahagia.
"Kakek juga sayang sama Cantika" sahut Raffa. Dikecupnya pipi Cantika.
--
Raka dan Tari masih sibuk di rumah almarhum kakek.
Cantika tetap ingin pergi ke pasar saat sore seperti biasanya. Akhirnya Raka meminta Soleh untuk membawa Cantika ke pasar membeli kue seperti biasanya.
"Hari ini kita beli bingka kentang ya Cantika, Abbamu minta dibelikan 10, biar cukup untuk semua keluarga"
"Iya Paman Soleh, kita ke toko kak Wilda tidak Paman?"
"Cantika mau beli apa?"
"Nggak beli apa-apa"
"Terus mau apa ke toko kak Wirda?"
"Mau bilang kalau Paman Soleh ay lap yu sama kak Wilda"
Soleh menarik napasnya. Ia tahu Wirda pasti sudah salah paham tentang arti dari ay lap yu yang diucapkan Cantika. Wirda pasti berpikir kalau ia mencintai Wirda.
"Paman Soleh, awas nablak ayam!" Seru Cantika. Soleh hampir menabrak ayam, karena melamunkan Wirda.
Tiba di pasar, Soleh membeli 10 bingka kentang sesuai pesanan Raka.
"Paman Soleh, toko kak Wilda kenapa tutup ya?" Tanya Cantika sambil menunjuk ke arah toko Wirda yang tidak buka.
"Paman tidak tahu sayang, Cantika ingin naik odong-odong?"
"Iya"
"Ayo"
Menunggu Cantika naik odong-odong, Soleh duduk mengobrol dengan temannya yang menjaga toko obat milik orang tuanya.
"Bulan Ramadan begini, para peminta-minta semakin banyak saja di pasar ini Soleh"
"Iya ya, mereka datang dari luar daerah sepertinya ya?"
"Iya, pengemis yang terkoordinir, ada yang mengantar jemput mereka. Para pengunjung pasar banyak yang merasa terganggu dengan keberadaan mereka"
"Katanya kemarin siang ada yang kecopetan juga ya?"
"Iya, padahal selama ini pasar kita ini aman dari pencopet"
"Hhhh tuntutan hidup meningkat, sebagian orang sudah kehabisan akal untuk bertahan hidup. Heehhh aku pernah merasakannya juga, mencuri hanya untuk bisa mengisi perut, demi untuk bisa terus hidup" Soleh menerawang ke masa beberapa tahun yang lalu. Saat ia tertangkap tangan tengah mencuri pisang dan singkong di kebun Raka.
"Tapi kamu beruntung Soleh, sangat beruntung malah. Bertemu dengan orang sebaik Abbanya Cantika"
"Ya, kamu benar. Mereka bukan hanya baik, tapi sangat baik, hidupku, hidup ibuku, juga hidup kedua adikku semua kak Raka yang membiayai. Aku tidak akan bisa membayar apa yang kak Raka dan kak Tari berikan untuk kami. Meski aku nenyerahkan nyawaku sekalipun"
"Bagaimana kabar Ayahmu, apa kalian pernah bertemu?"
"Tidak, jangankan berharap bertemu, menyebut namanyapun aku sudah tidak ingin lagi. Terlalu dalam luka yang diberikan pada ibuku. Terlalu sakit kepedihan yang diberikan dalam hidup kami"
Soleh berdiri saat melihat Cantika sudah turun dari odong-odong.
"Aku pulang ya, Cantika sudah selesai naik odong-odong, assalamuallaikum"
"Walaikum salam"
Cantika berlari mendekati Soleh, ia hampir jatuh terpeleset. Untungnya seorang kakek pengemis menahan tubuhnya.
"Makasih ya kek"
"Sama-sama Cu"
"Tunggu di sini sebental ya kek, Cantika mau kasih kakek uang"
"Paman Soleh minta uang!" Cantika menadahkan tangannya pada Soleh.
Mendengar Cantika memanggil nama Soleh, kakek tua itu langsung memutar tubuhnya, tatapannya tertuju pada wajah Soleh.
"Uang buat apa?" Tanya Soleh.
"Buat kasih kakek itu!" Tunjuk Cantika pada si kakek.
Soleh merogoh sakunya. Diserahkannya selembar dua ribuan pada Cantika.
"Kok cuma dua libu?" Protesnya.
"Memangnya Cantika mau kasih berapa?"
"Palkil belapa?"
"Dua ribu"
"Ini buat palkil, yang di saku Paman Soleh buat kakek itu, tukelan uangnya"
"Tapi ini ada 43 ribu Sayang, terlalu banyak untuk diberikan"
"Kata Abba kalau kita mampu dan ikhlas nggak apa Paman Soleh. Uang Abbakan masih banyak, kata Abbakan belsedekah tidak akan bikin kita susah, sini tukel uangnya" paksa Cantika.
"Nanti Cantika ya, yang bilang sama Abba, kalau 43 ribunya Cantika kasih ke pengemis"
"Iya Paman Soleh!"
Soleh terpaksa menyerahkan uang 43 ribu di sakunya, dan menerima dua ribu dari tangan Cantika.
Kakek pengemis masih menatap Soleh dari balik topi purunnya, matanya tampak berkaca-kaca. Ingin sekali ia menggapaikan tangannya. Menyentuh wajah putra yang sudah ia tinggalkan beberapa tahun lalu. Tapi rasa malu membuat ia menahan keinginannya. Ia takut, putranya tidak akan mau menerimanya.
"Kakek, ini buat kakek beli makan untuk buka puasa, jangan tidak puasa ya kek, jangan lupa solat juga, ehmm kakek mau tidak datang ke sini lagi besok. Besok Cantika bawain kakek baju buat solat. Baju kakek kotol nggak boleh dipakai solat. Nanti Cantika mintakan baju solat Abba untuk kakek, oke kek, Cantika pelgi dulu ya, assalamuallaikum"
Si kakek tidak bisa berkata apapun selain menjawab salam Cantika.
Ditatapnya kepergian Cantika bersama Soleh, putranya.
Ia tidak tahu kenapa Soleh bisa bersama Cantika. Semenjak ia kembali menginjakan kaki di daerah ini, ia tidak tahu dan tidak berusaha mencari tahu tentang anak dan istri yang sudah ditinggalkannya. Dan hari ini, tanpa ia duga, ia bertemu putra sulungnya, yang tidak lagi mengenalinya.
***BERSAMBUNG***