Cherry berbaring dengan paha Chris sebagai bantalannya. Chris membelai rambut anaknya dengan lembut. Bahkan dia melupakan rasa sakit yang ada di kakinya. Cherry menatap langit malam yang penuh dengan taburan bintang. Entah bagaimana saat ini kondisi rumah meraka. Bahkan saat mereka pergi pun belum ada mobil pemadam yang datang. Chris kehilangan segalanya, ponselnya, bajunya, istrinya, dan rumahnya. Siapa yang mau menghubungi damkar jika bukan dia sendiri. Hidup di kota besar sangat berat untuk mereka saat ini. Di tambah dengan tidak adanya teman atau tetangga yang mereka miliki.
Perlahan mata Cherry terpejam, tidak ada perbincangan di antara keduanya. Tangannya melemas seiring dengan hilangnya kesadaran bocah itu. Chris masih terlihat begitu sedih, dia tidak tahu kenapa ini terjadi begitu saja. Kesalahannya paling bodoh yang pernah ia lakukan.
( Beberapa jam sebelum kejadian )
Pukul setengah sebelas malam, tenggorokan Chris seperti terbakar, sangat panas dan begitu kering. Ia berjalan menuju dapur, tanpa sengaja ia mendengar ucapan Cherry. Yang mengeluh banyak hal. Chris merasa sedih dengan apa yang di dengar dari anaknya.
Maafkan ayah Cherry, jika memang nantinya kamu tidak bisa bersekolah, maka itu adalah sepenuhnya kesalahan ayah. Sesal Chris dalam batinnya.
Ia menutup pintu dan melenggang ke dapur, membuat kopi juga menyulut rokok. Awalnya tidak ada apa-apa. Chris bahkan telah mematikan kompor dengan benar, ia membuang puntung rokok ke dalam box tempat sampah. Ia tidak sadar bahwa rokok itu belum sepenuhnya padam.
Ia pergi ke kamar, duduk pada kusen jendela dan menikmati silir angin yang berhembus. Meminum kopi panas yang dia buat.
Sepersekian menit berikutnya matanya mulai lelah dan mengantuk, dia tertidur. Hanya sekitar setengah jam dari tidurnya, tiba-tiba indera penciumannya mencium bau gosong, dan di sertai ledakan yang begitu keras dan kencang.
Chris berlari keluar kamar, dia sudah melihat kobaran api, yang tidak jauh dari kamar Cherry. Laki-laki itu bergegas masuk ke kamar Cherry.
"Cherry! Cherry! Bangun." Namun tidak ada jawaban dari anaknya. Tanpa menunggu dia menggendong dan segera keluar dari rumah.
"Tuan, Tuan tolong bantu saya, menelpon damkar," pinta Chris pada seseorang. Namun orang itu sepertinya tidak paham dengan apa yang di katakan oleh Chris. Dan acuh dengan kobaran api yang mulai menghanguskan rumahnya.
Chris berlari kesana kemari, untuk mencari bantuan dengan menggendong anaknya yang masih tertidur, dengan sesekali mengernyitkan dahi. Chris tidak memikirkan hal itu.
Hingga ia bertemu dengan wanita tua, Chris menitipkan Cherry yang mulai terbangun.
"Ayah?" lirih Cherry.
"Cherry, syukurlah kamu bangun. Turunlah nak, tunggulah di sini, Ayah harus segera memadamkan api itu," seru Chris yang langsung meninggalkan Cherry yang terpaut cukup jauh dari kobaran api yang semakin membesar.
Chris mencoba mencari ponselnya di dalam rumah, namun kamarnya telah terhalang oleh api. Chris berlari ke kamar Cherry, dia ingat bahwa ada abu kremasi Glory.
Hal gila yang pernah aku lakukan. Mengambil abu dan mungkin saja aku akan menjadi abu di sini. Glory bantu aku, batin Chris.
Pria itu menerobos masuk kedalam kamar Cherry. Berhasil, ya dia berhasil. Namun pintu keluar itu tertutup dengan kusen pintu bagian atas yang mulai runtuh.
"s**t," umpat Chris. Ia mencoba untuk melompat dari jendela tapi tetap tidak bisa, Chris telah di kepung kobaran api. Jalan satu-satunya adalah menerobos pintu itu.
"Oke– dalam hitungan ke tiga Chris." Ia bermonolog dengan dirinya sendiri.
"One, two, and –" ia berlari menerjang pintu api, dan naas di hadapannya ia pun di peluk oleh api yang meruntuhkan atap tepat di dapur. Kakinya tersandung kusen kayu, ia jatuh tersungkur di atas lantai, dan kusen sebelah kiri roboh dan menimpa kakinya.
"Akh!! Glory!!" teriak Chris. Ia memeluk Gucci marmer putih tersebut. Hatinya lega karena itu masih utuh.
Keringat sebesar biji jagung keluar dari dahi dan pelipisnya. Bajunya sangat panas karena udara yang menyengat di dalam rumah itu.
Apa ini akhir dari hidupku? batin Chris. Ia memejamkan matanya. Rasa sakit dan terbakar di kakinya semakin menjalar.
"Ayah! Ayah!" Samar-samar suara Cherry terdengar, meneriaki sang Ayah. Kesadaran Chris yang mulai melemah, seketika membuka matanya dengan lebar. Ia menggerakkan kakinya, sungguh luka bakar itu sangat parah.
"Come on Chris. Cherry menunggumu," gumam Chris. Ia meletakkan Gucci itu terlebih dulu, dan berbalik badan. Dan berusaha menyingkirkan kayu yang juga membakar kakinya, dengan satu kaki lainnya dan juga tangannya.
"Akh!!" teriak Chris. Senyumnya tersungging. Gila, ya Chris gila saat ini jika dia tersenyum. Namun memang itu yang terjadi, karena dia berhasil menyingkirkan kayu itu. Ia mengambil Gucci itu, dan berjalan tertatih keluar dari pintu utama.
Andai damkar segera datang, sudah pasti rumah bagian depannya akan selamat. Kemana empati semua orang? Mereka tidak saling kenal, itulah tidak ada yang menolong mereka. Di negara besar di kota besar biasanya terjadi seperti itu. Bahkan terkadang rumah berdekatan saja, tidak pernah saling mengetahui nama mereka.
Chris keluar dari kepulan asap putih. Dadanya begitu sesak.
"Uhuk– uhuk–" beruntungnya dia bisa keluar dari rumah itu. Dari kejauhan ia bisa melihat anaknya, juga teriakan Cherry yang membuat dirinya kuat dan terbebas dari kebakaran yang luar biasa hebat. Yang pernah di alami oleh Chris. Tidak, ini akan menjadi pertama dan terakhir dalam sejarah.
Chris merentangkan tangannya, karena melihat kehadiran Cherry. Chris begitu kasihan melihat Cherry yang berlari hingga terjatuh-jatuh.
"Ayah!" Saat itulah, Chris menciumi pucuk kepala Cherry. Ia hampir saja tidak bisa melihat anaknya yang begitu manis dan cantik tersebut.
( Kembali ke alur saat ini )
Chris tertidur, saat hari mulai terang. Cherry mulai mengerjapkan matanya, dan melihat satu sosok yang menundukkan kepalanya dan memejamkan matanya. Gadis itu memegang pipi Chris, dan membuat laki-laki berusia empat puluh tahun itu terbangun.
Chris terperanjat dengan rasa hangat di pipinya. Semalaman di alam terbuka membuat wajahnya terasa dingin dan kaku. Tidak hanya wajah, namun juga sekujur tubuhnya.
"Cherry, sudah bangun?" tanya sang Ayah. Lagi-lagi Chris membelai rambut gadis cilik itu.
"Yes, Sir. Anda pun tertidur," ucap Cherry, ia menggoda sang Ayah dengan bahasa formal. Chris tersenyum dengan candaan yang di buat oleh Cherry.
"Ayah tersenyum?" imbuh Cherry. Ia pun membalas senyum sang Ayah.
"Apa ayah harus menangis? Kita harus segara pergi Cherry, sebelum polisi berpatroli," ajak Chris. Cherry bangkit dari tidurnya. Ia duduk, mengumpulkan nyawanya yang masih berterbangan kesana kemari.
"Kita kemana Ayah?" tanya Cherry dengan wajahnya yang polos.
"Entahlah Cherry, kita harus ke klinik terlebih dulu. Setelah itu kita bisa ke Paddys Market," tukas sang Ayah. Ya, benar mereka harus ke klinik untuk mengobati kaki Chris.
"Ayah terluka? Yang mana Ayah? Yang man–" Cherry mencari luka sang ayah, dari wajah badan dan akhirnya ia berhenti bertanya saat ia mendapati kaki ayahnya yang telah melepuh.
"Oh God, ayah. Bagaimana bisa seperti ini? Kenapa Ayah tidak bilang sejak awal pada Cherry," ujar Cherry. Terlihat dengan jelas bahwa gadis itu tengah bersedih.
"Ayah bisa berjalan?" imbuh Cherry. Ia sangat panik juga cemas dengan keadaan sang ayah.
"Bisa Cherry, berhentilah mencemaskan ayah. Ayah baik, Cherry," jawab Chris.
Cherry membantu sang ayah, memapah laki-laki itu meninggalkan kursi tempat di mana mereka bermalam.
Tidak jauh dari tempat itu, sekitar dua kelokan mereka menemukan sebuah klinik kecil. Chris masuk dengan Cherry. Gadis kecil itu sangat sopan.
"Permisi, Dokter. Bisakah dokter menolong Ayah saya? Tapi saya dan Ayah tidak memiliki uang satu dollar pun," lirih Cherry.
"Ah– tidak Dokter, saya ada sedikit uang, semoga bisa menolong kaki saya," sergah Chris. Mendengar itu, Cherry merasa bersalah karena ia pikir bahwa ayahnya tidak memiliki uang bukankah rumahnya telah terbakar lalu dari mana ayahnya mendapat uang itulah yang ada dipikiran Cherry.
"Maafkan Aku Ayah aku kira kita tidak memiliki uang sama sekali," sesal Cherry, ia menundukkan wajahnya. Gadis kecil itu tahu kalau dirinya bersalah.
Chris hanya mengusap rambut gadis itu dengan lembut dan mengukir senyum di wajahnya agar Cherry tidak lagi ketakutan.
Sang dokter yang melihat drama anak dan ayah itu merasa terenyuh Dan iba.
"Baiklah manis aku akan memeriksa ayahmu maka, kamu duduklah dengan baik." Kevin mulai mendekati sang ayah dari anak kecil tersebut, dan memeriksa luka bakar yang ada di kaki Chris.
"Terima kasih Dokter," ucap Cherry dengan wajah dan suaranya yang lucu. Kevin hanya menganggukan kepala dan tersenyum manis padanya.
Kevin membersihkan luka itu menuangkan cairan antiseptik pada luka bakar tersebut. Memberikan salep kulit khusus untuk luka bakar agar cepat kering dan sembuh.
"Tiga sampai empat kali sehari, oleskan salep ini pada kaki ayahmu, manis. Kau bisa melakukannya?" tanya dokter Kevin kepada Cherry
Cherry tersenyum dan mengangguk paham tanda dia bisa melakukannya.
"Cherry bisa melakukannya dokter apa ada hal lain lagi?" tanya gadis cilik itu dengan antusias.
"Tidak, cukup belajar yang rajin dan jaga dirimu jaga senyummu dengan manis. Kau bilang siapa tadi namamu?" Kevin mencatat resep obat untuk Chris, Kevin bertanya pada anak yang dianggap sangat ceria, pandai dan cerdas.
"Cherry, namaku Bagus kan Dok?" Cherry tersenyum memperlihatkan gigi-giginya yang rapi dan putih.
"Bagus dan cantik secantik orangnya." Memberikan resep obat itu pada Chris. Dan Chris hanya tersenyum mendengar percakapan antara dokter dan juga Cherry.
"Baiklah dok terima kasih atas bantuannya Cherry pamit dulu," pamit Cherry.
"Hati-hati Cherry ingat pesan saya." Kevin menarik kedua sudut bibirnya untuk membentuk senyum. Pesan yang sebelumnya ia sampaikan untuk gadis cilik berusia sepuluh tahun tersebut.
Cherry hanya menyatukan ujung jari telunjuk dan juga ibu jarinya membentuk huruf o dan mengangkat tiga jarinya.
Chris lagi- lagi hanya tersenyum dia Kemudian berpamitan pada Kevin.
"Baiklah dok, terima kasih atas bantuan anda semoga rezeki anda selalu berlimpah karena telah menolong saya dan anak saya." Chris mengulas senyum kemudian keluar meninggalkan klinik tersebut.
Kaki Chris sudah merasa lebih baik, ia bisa berjalan dengan normal meski masih tertatih-tatih dan Cherry, si gadis kecil itu memapah sang ayah hingga sampai di paddy's market.
Chris mulai membuka tokonya dan beraktivitas seperti biasa. Sejak dari pagi tadi mereka sama sekali belum memakan apapun. Cherry memang sudah merasa lapar tapi, gadis itu hanya diam menahan sakit di perutnya yang mulai melilit-lilit.
"Ayah, Cherry lapar,"