Pagi ini, sama seperti keluarga Pelangi dan keluarga Shakila. Dea pun makan pagi bersama keluarganya, Ale yang merupakan pengusaha papan atas masih terlihat low profil meskipun memakai kemeja yang harganya cukup fantastis. Masih sering melakukan hobinya yang suka memotret itu meskipun kini tak pernah melakukan pemotretan untuk komersil lagi.
Karena objek potret yang diambil nya lebih sering tentang keindahan alam, atau fenomena yang terjadi di masyarakat.
Lea, ibunya sedang menceplok telor di dapur dan meletakkan telur yang matang itu ke dalam piring, lalu membawanya ke meja makan.
Di meja makan itu tak hanya ada Dea dan Ale, sang ayah. Karena ada juga Feli, istri dari Justin, kakak pertama Dea yang sudah menikah lima tahun lalu. Dan anak mereka Giofani yang biasa dipanggil Gio. Bocah berusia dua tahun itu memang kerap kali menginap dirumah orang tua Dea ketika Justin ada urusan keluar kota karena Feli yang sudah tak mempunyai keluarga membuat Lea, sang ibu mertua memintanya lebih sering menghabiskan waktu dirumahnya untuk menemaninya.
Sedangkan kakak kedua Dea yang bernama Kay kini tinggal diluar negeri, setelah menikah dua tahun lalu, dia langsung diboyong suaminya yang memang berkewarganegaraan Australia tersebut. Sampai saat ini Kay masih belum mempunyai anak, namun sepertinya pasangan suami istri itu bukan orang yang terlalu memusingkan mengenai keturunan sehingga masih tampak santai dan sesekali masih mengunjungi orang tuanya disini.
“Kamu naik motor Justin lagi?” tanya sang ayah, Dea yang sedang menangkup kedua roti dan mengisi dengan telor ceplok itu hanya mengangguk.
Ale hanya menggeleng, sejak dulu Dea memang terlihat lain dari Kay, jika Kay benar-benar menyukai permainan perempuan, Dea justru sebaliknya lebih suka memainkan mainan cowok milik Justin sang kakak.
Bahkan kini dia lebih sering naik motor Justin karena tak dapat persetujuan dari ayahnya untuk membeli motor sendiri.
“He-em,” jawab Dea sambil mengunyah rotinya.
“Kata Justin motornya belum di service De, kalau sempat di service ya,” ucap Feli dengan suaranya yang lembut.
“He-em,” lagi-lagi Dea hanya menyahut dengan gumaman karena dia tampak menikmati rotinya sebagai bekal sarapan paginya.
Lea sudah membuka apronnya dan duduk disamping Dea, menyerahkan segelas s**u berwarna putih ke depan anak gadisnya. Dea meminumnya hingga setengah gelas dan kembali mengunyah sarapannya.
“Mobil kamu kenapa nggak dipakai sih De?” tanya Lea sembari memperhatikan putri tomboynya yang kini bahkan memakai celana panjang jeans untuk kerja. Biasanya, sesampainya di kantor barulah dia mengganti dengan celana bahan, karena khawatir celananya kotor atau robek.
Sebagai tim marketing, dia dituntut untuk selalu berpenampilan rapih, itu sebabnya dia selalu membawa tas besar setiap kerja, yang berisi pakaian ganti dan juga alat make up.
“Males Mah, kejebak macet, kalau naik motor bisa selap selip, lagian Dea kan hanya karyawan biasa, memangnya papah, telat juga nggak apa-apa,” kekeh Dea, sambil nyengir, memamerkan deretan giginya yang putih dan rapih.
“Kalau nggak mau kejebak macet ya bangunnya lebih pagi, berangkat lebih pagi!” omel Lea. Meski di usianya yang tak muda lagi, garis kecantikan masih tampak di wajahnya, membuat Dea sangat bersyukur karena dia mewarisi kecantikan dari sang ibu.
“Kalau nggak mau kena sanksi saat telat, kerja aja di perusahaan papah,” usul sang ayah sambil mengangkat alisnya, Dea menggeleng dan menggidik. Bekerja di perusahaan milik ayahnya adalah hal terakhir yang ingin dia lakukan di dunia ini, karena dia sangat tak mau terjebak nepotisme dan sebagainya, sebagai BEM atau Badan Eksekutif Mahasiswa dikampus, yang sering mengikuti berbagai demo, dia menentang keras mengenai KKN dan dia lebih suka mendapat uang dari jerih payah sendiri.
Kecuali fasilitas dari sang ayah, karena itu mutlak dan dia justru mensyukurinya, karena dia bisa mendapatkan kenyamanan dari itu.
Dan yang lucu adalah, sering saat dia demo, sang ayah akan membuntutinya dan mengambil gambarnya ketika berorasi. Ale datang ke tempat demo hanya untuk mengambil gambar-gambar yang dirasa bagus, bukan untuk ikut demo atau melindungi sang anak saat kerusuhan, karena dia tahu Dea pasti bisa bertindak bijak dan cerdik sekaligus untuk melindungi dirinya sendiri.
“Kak Justin aja lah yang disana, aku sih males,” rungut Dea, memakan potongan terakhir rotinya dan menandaskan susunya. Lantas berdiri, menyambar jaket di sandaran kursi, juga tas yang digeletakkan di lantai, lalu menciumi kening Gio sampai balita mungil itu meringis menolak.
“Bye, berangkat duluan,” ucap Dea riang, berjalan menuju halaman depan rumahnya yang sangat besar dan mewah itu.
“Anak kamu tuh,” decak Lea sambil menggeleng.
“Anak kamu juga!” rungut Ale.
“Hais!” Lea mengerucutkan bibirnya sebal, lalu menatap cucunya yang sangat lucu, senyumnya kembali terkembang, “Gio mau oma suapin nak?” tanyanya, hingga Gio mengangguk dan Lea mengambil sendok yang dipegang menantunya untuk menyuapi sang cucu.
“Kamu makan dulu,” ucap Lea ramah pada sang menantu.
Sementara itu Dea sudah memakai jaketnya dan helm full face yang menutupi wajahnya. Men-sela motor besar milik Justin. Namun motor berwarna merah itu tak jua mau menyala, hingga Dea berkeringat dan memutuskan mematikan kontaknya. Lalu mencoba menyalakan lagi, barulah motor itu mau menyala. Dia pun menekan pedal gigi sambil memainkan kopling di tangannya, lalu melajukan motor menuju kantor.
***
Allura sudah siap dengan pakaian kerjanya, duduk di teras depan rumah yang asri, rumah Allura mirip dengan rumah khas betawi dimana ada teras dari kayu dengan kursi model setengah lingkaran di bagian depan rumahnya.
Apalagi halamannya ditumbuhi pepohonan buah yang tentunya membuat sejuk, apalagi saat pohon mangga atau rambutan miliknya berbuah, dia akan senang sekali memetiknya karena buah-buah yang tumbuh sangat manis.
“Sudah siap?” tanya Ghibran, sang ayah. Ghibran mengaitkan kancing jaketnya dan menenteng helm.
Dia memang mempunyai mobil, namun tempat kerjanya dan Allura yang searah dan tak terlalu jauh dari rumah, membuatnya memutuskan menggunakan motor jenis N-Max saja untuk sehari-hari, selain efisien dan dapat menghemat waktu, mereka pun tak perlu terlalu pusing memikirkan kemacetan jalan di pagi hari.
“Sebentar, aku pakai sepatu dulu Yah,” ucap Allura.
“Dari tadi ngapain aja sih?” ucap Ghibran sambil menggeleng.
“Main kelereng, Yah,” potong Damar dari arah dalam, memakai helmnya sambil berjalan melewati sang ayah. Damar tumbuh menjadi pria yang tampan dan tinggi, kini bekerja di salah satu perusaan televisi di Jakarta dan tak lama lagi dia akan menikah.
“Mana kelerengnya?” tanya Allura, melihat ke kolong dan mencari kelereng yang tentu tak didapatinya. Ghibran sampai menepuk keningnya sebal. Sampai kapan anaknya akan seperti ini? Ucapan Damar tadi jelas menyindirnya, namun mengapa gadis itu tidak peka?
Daripada darah tinggi, Ghibran memutuskan berjalan lebih dahulu ke motor dan memanaskannya. Tak lama Allura menghampiri sang ayah dan naik ke atas motornya, baru saja Ghibran menjalankan motor itu beberapa meter Allura berteriak minta berhenti.
“Kenapa?” tanya Ghibran sambil menghentikan motornya.
“Aku lupa bawa tas sama pakai helm,” ujar Allura, membuat Ghibran menganga, Allura turun dari motor dan berlari menuju rumahnya.
Ghibran hanya bisa menarik napas panjang, meskipun sudah sering mengalami hal seperti ini, namun tetap saja dia tak bisa terbiasa. Jika Lila yang mengalami hal ini, dipastikan wanita itu akan merepet bahkan sampai keesokan harinya, dan Allura biasanya hanya memasang tampang tak bersalah saja atas apa yang dilakukannya.
Karena itulah Allura selalu menolak dengan halus jika ingin diantar kerja sang ibu kecuali jika sudah kepepet. Jangan tanya apakah dia bisa mengendarai dua kendaraan itu? karena jawabannya adalah tidak! Dia terlalu takut dan memilih tak bisa mengendarai mobil ataupun motor daripada daya tangkapnya yang lambat berakibat fatal dan membuatnya kecelakaan.
“Oke siap!” ujar Allura sambil naik ke motor sang ayah, Ghibran memutar kaca spion menghadap ke putrinya.
“Tas sudah?”
“Sudah.”
“Helm?”
“Sudah.”
“Dompet? Jam tangan? Air minum?”
“Sudah.”
“Jodoh?”
“Ya ampun ketinggalan,” ucap Allura sambil menepuk helmnya membuat Ghibran terkekeh, lalu melihat ekspresi Allura yang seperti kebingungan.
“Ihh ayah ngeledek aku!” cebik Allura sambil menggelembungkan pipinya, menyadari bahwa pertanyaan ayahnya yang terakhir hanyalah untuk meledeknya yang tak jua mempunyai kekasih. Ghibran tertawa sambil melajukan motornya.
“Kamu yang pinteran sedikit jadi anak kenapa All?”
“Emangnya bisa diubah, orang udah settingan otak aku tuh segini, Yah,” jawab Allura asal, membuat Ghibran menggeleng geli.
Meskipun Allura agak lambat namun dia sangat menyayanginya, karena Allura adalah tombak perjuangannya menghadapi masalah pelik yang dihadapinya bersama istrinya.
Karena keberadaan Allura lah, Khaylila sang istri bisa keluar dari dunia yang diciptakannya. Bisa berpikir rasional dan sedikit demi sedikit mulai bisa membangun dirinya kembali menjadi Khaylila yang normal dan bahagia.
“Pegangan nanti jatuh,” ucap Ghibran dan Allura pun memegang pinggang sang ayah. Menikmati pagi yang menyenangkan, Allura sangat senang karena setiap pagi dia bisa berangkat kerja bersama sang ayah. Dia tak perlu kemewahan jika itu justru menjauhkan mereka, yang dia butuh hanya keberadaan orang tuanya, bersamanya, membantunya melewati seluk beluk kehidupan, dan bangga kepadanya atas apapun yang terjadi.
Saat berangkat kerja bersama ayahnya banyak sekali pembicaraan yang mereka lakukan, hubungan mereka semakin dekat karena hal itu, dan Allura tak pernah malu mengucapkan sayang kepada sang ayah yang selalu mengantarnya.
Allura bisa tertawa saat ayahnya menceritakan lelucon lucu, atau mulai sebal saat ayahnya seringkali menasehatinya dengan beragam hal, meskipun begitu Allura tahu, di dunia ini, tak ada pria lain yang akan mencintainya, sebesar cinta ayahnya kepadanya, dan itu pasti.
***