Lima

1768 Words
Pelangi membeku ketika sampai kantor dan di kursinya tengah duduk seorang gadis kecil berusia tiga tahun dengan rambut yang masih tampak setengah basah sedang mencoret kertas di atas mejanya. “Pagi Pelangi,” sapa seorang pria tinggi dengan alis tebal dan hidung mancung, rambut yang tersisir rapih. Dialah Davin, bos Pelangi, pria dengan julukan Duren Sawit, alias duda keren sarang duit. Karena memang sang istri dari pria berusa tiga puluh empat tahun itu sudah meninggal tiga tahun lalu, tepat setelah melahirkan putri kecilnya. Pelangi melihat ke anak kecil yang asik mencoret kertas dengan spidol berwarna di mejanya, barulah dia menyadari bahwa gadis kecil itu adalah anak dari Davin, atasan Pelangi. “Ya, dia Arsyilla, anak saya. Bibiknya sakit jadi terpaksa saya bawa dia ngantor, kamu tahu kan kita ada meeting satu jam lagi,” ujar Davin dengan raut bersalah. “Terus siapa yang mau jaga dia?” tanya Pelangi, meletakkan tas di meja dan mengambil alat make up untuk touch up di toilet. Davin bertolak pinggang, sementara tangan sebelah menggaruk alis tebalnya. “Nah itu dia, saya juga bingung,” tutur Davin dengan rasa frustasi yang tinggi. “Pagiiii Pelangi cintakuuuhhh!” teriak suara cempreng seseorang yang membuat Pelangi mendengus, siapa lagi kalau bukan Allura lah tersangka utamanya, hanya dia satu-satunya yang memanggil semua orang dengan panggilan cinta. “Eh ada anak kecil lucu banget, siapa namanya?” Allura mengabaikan Pelangi yang mendengus dan Davin yang berada di dekat Pelangi, lantas menarik kursi dan duduk di samping Syilla. Anak kecil bernama Syilla itu menoleh dan tersenyum pada Allura. “Syilla,” jawabnya dengan suara cadel. Pelangi dan Davin saling melirik dan tersenyum, Davin memberi kode ke Pelangi untuk menanyakan pada Allura tentang ide yang terlintas di otak mereka. “Ra, hmmm kamu sibuk nggak hari ini?” tanya Pelangi pelan, Allura yang sudah larut melihat coretan tangan Syilla hanya menggeleng tanpa melihat Pelangi. “Pak bos sakit jadi nggak ada yang suruh-suruh hari ini, aku bebas,” ucap Allura, Pelangi tersenyum ke arah Davin sang bos. “Jagain Syilla mau? Satu jam aja? Soalnya kita harus meeting,” ucap Pelangi. Allura menoleh ke arah Pelangi dan mengernyitkan kening. “Memang Dea kemana? Kok kamu sampe jagain keponakannya disini? Ka Febby nggak ikut?” tanya Allura membuat Pelangi menepuk keningnya sebal. Rupanya Allura menyangka Syilla ini anak dari Justin kakaknya Dea. Padahal sudah jelas Dea sering menceritakan bahwa keponakannya itu Gio dan jenis kelaminnya cowok. Bagaimana bisa berubah jadi cewek??? “Allura sayang, ini namanya Syilla, bukan keponakan Dea, lagi pula ngapain Dea bawa keponakannya ke kantor?” ujar Pelangi menahan geram. “Terus anak siapa dong?” Allura mengerucutkan bibirnya dan memandang dengan tatapan kasihan pada Syilla yang hanya tertawa melihat wajah lucu Allura. “Ini anak Pak Davin, bos aku,” ucap Pelangi sambil mengarahkan tangannya pada Davin. “Lho, bapak sejak kapan ada disitu?” tanya Allura membuat Pelangi hanya menganga! Sumpah demi apapun, bagaimana bisa wanita ini lolos seleksi masuk perusahaan? “Saya sudah sejak awal kamu teriak, pagiiii pelangiii, berdiri disini,” timpal Davin, mencoba tersenyum lebar meski dipaksa. “Oh, jadi begitu.” Allura mengangguk-angguk saja membuat Davin menghela napas, apakah dia bisa mempercayai Allura? Ya dia tahu wanita itu adalah tim dari General Affair sekaligus teman dekat Pelangi, bawahannya. Namun dia tak tahu lebih jauh mengenai sifat Allura. Bagaimana jika anaknya kenapa-kenapa? Namun dia tak punya pilihan lain saat ini, tak mungkin dia membawa Syilla masuk ke dalam ruang rapat bersamanya. Rapat ini sangat penting karena dihadiri beberapa direksi. “Jadi kamu mau nemenin Syilla? Satu jam aja? Ya?” tanya Pelangi, tak mau memperpanjang ke-tulalit-an sahabatnya itu. “Iya siap,” ujar Allura pada Pelangi lalu mengalihkan pandangan kepada Syilla, “kita print gambar yuk,” ucap Allura. Syilla pun berdiri diikuti oleh Allura. “Aku bawa ke ruangan aku aja ya, disana ada ruang istirahat,” ucap Allura pada Pelangi, sambil menggandeng tangan Syilla. Davin berjongkok mencoba mensejajari putrinya. “Syilla jangan nakal ya, nurut sama tante Allura,” ucap Davin yang diangguki oleh Syilla. “Titip Syilla ya Ra?” pesan Davin pada Allura, Allura hanya mengangguk dan tersenyum lebar pada Davin. “Bapak tenang aja, aku suka anak kecil kok, yuk Syilla kita ke ruangan tante, tante punya cokelat,” ujar Allura sambil berjalan dan melambai pada Pelangi yang melepas dengan tatapan penuh ke khawatiran. Lalu seorang pria berpakaian khas office boy, dengan kemeja berwarna biru muda, rambut yang dibelah pinggir dengan poni lemparnya, celana bahan yang tampak licin lalu sepatu kets berwarna hitam menghampiri Pelangi dan Davin. Wajahnya cukup manis dengan ukuran tubuh yang proporsional hampir sama tinggi dengan Davin, yang membedakan hanya seragam yang mereka kenakan tentunya. “Ruang meeting sudah siap, Pak.” Bayu, sang office boy khusus tim Accounting itu melaporkan pekerjaannya. Davin pun berterima kasih pada Bayu, lantas meminta Pelangi segera menyusulnya ke ruang rapat. Pelangi mengangguk dan membiarkan Davin pergi dari hadapannya. “Bagaimana skripsinya? Lancar?” tanya Pelangi, sambil mengecek alat make up dari tas yang dipegangnya, dia perlu merapikan riasannya sebelum meeting yang dihadiri para direksi nanti. “Lancar, Mbak. Tinggal tunggu sidang aja, makasih ya semua berkat bantuan mbak Pelangi,” ujar Bayu. “Nanti aku bantuin buat slide presentasi, semangat ya,” tutur Pelangi sambil meninggalkan Bayu yang tersenyum senang. Meskipun usia Pelangi dua tahun dibawah Bayu, namun sebagai bawahan tak langsung dari Pelangi, dia tetap perlu memanggilnya dengan sebutan Mbak untuk menghormatinya. Bayu membereskan meja Pelangi yang tampak berserakan kertas bekas dicoret oleh Syilla anak Davin, mengumpulkannya jadi satu, meletakkan spidol dan pulpen di tempat semula, lalu mengambil kain lap untuk membersihkan kembali meja itu seperti sedia kala. Saat membersihkan meja Pelangi, tangannya tak sengaja menyentuh bingkai foto di meja itu, tampak Pelangi yang tersenyum gembira dengan kedua orang tua dan juga adiknya yang jauh lebih tinggi darinya. Dari latar foto itu, Bayu bisa menebak bahwa foto tersebut diambil di negara yang berbeda dengan Indonesia. Membuatnya tersenyum dan memanjatkan doa, semoga kelak dia bisa pergi ke luar negeri bersama keluarga yang dicintainya. Istrinya mungkin? Ah Bayu tak berani berkhayal setinggi itu, dapat berkuliah pun dia sudah sangat bersyukur meskipun telat sembilan tahun dari yang seharusnya. Karena dia perlu menyekolahkan ke empat adiknya terlebih dahulu. Ayahnya meninggal sejak dia remaja, meninggalkan empat adik yang semuanya masih sekolah, dia yang berasal dari keluarga kurang mampu pun harus ikut banting tulang demi membantu ibunya membiayai sekolah adiknya. Barulah ketika biaya sekolah adiknya tak terlalu berat, dia bisa mengidamkan untuk kuliah. Itu pun atas dorongan Pelangi empat tahun lalu, yang mengupayakannya agar mendapat beasiswa kuliah dari perusahaan khusus karyawan, membantu mencari kampus dengan kelas khusus karyawan di hari sabtu, bahkan dengan baik hatinya, Pelangi menemani Bayu mengambil formulir dan membantu mengisi form pendaftaran itu. Sungguh Bayu sangat berterima kasih dan sangat kagum pada kebaikan hati Pelangi yang tak pernah membedakan jabatan seseorang, padahal yang dia tahu bahwa ayah Pelangi sendiri mempunyai perusahaan yang besar yang dirahasiakan oleh Pelangi dari siapapun terkecuali darinya dan sahabatnya. *** Shakila meletakkan tas di mejanya, lalu menekan tombol power di layar komputer, melihat beberapa berkas lamaran kerja ditumpuk di meja, mengecek satu persatu tulisan di bagian depan map cokelat itu sambil menunggu layar komputernya menyala. Sebagai Human Resource Departmen atau biasa disingkat HRD, melihat lamaran kerja sudah menjadi kesehariannya, biasanya dia akan memilah sesuai jabatan yang dikirimkan dan posisi yang kosong di perusahaan. “Pagi Shakila, sudah sarapan?” sapa seorang pria dengan rambut yang dipotong persis abri, dialah Ben, head section dari HRD, satu ruangan dengan Shakila, lelaki yang sangat berbeda dengan Shakila, padahal Shakila bawahannya namun sepertinya pria bernama Ben itu justru lebih tunduk pada ucapan Shakila dan lebih sering mengajak serta Shakila menyelesaikan permasalahan yang menyangkut dengan karyawan. Banyak karyawan yang segan terhadap Shakila yang dianggap tangan kanan dari Ben, karena mereka tahu, keputusan Shakila adalah keputusan Ben, pria tinggi dengan pakaian yang selalu rapih, sebagai contoh bagi karyawan itu. Pria dengan senyum lebar dan mata teduhnya juga wajah bersih tanpa bulu seperti kumis atau jenggot itu masih berdiri di sisi Shakila. “Memangnya bapak pernah lihat saya tidak sarapan, sebelum berangkat kerja?” ucap Shakila ketus, memanggil Bapak pada pria yang berusia lima tahun diatasnya itu.  Ben mengatupkan bibirnya. “Saya nanya doang kok, jutek banget,” rutuk Ben. “Saya juga jawab doang kok, biasa aja kali?” ujar Shakila, layar komputernya telah menyala, dia pun mulai membuka email kantor, membiarkan Ben pergi meninggalkannya sambil menggaruk ujung hidungnya, tak baik pagi-pagi ribut dengan bawahannya sekaligus orang kepercayaannya. Sebaiknya dia mengalah dan kembali ke mejanya, padahal dia sudah membeli dua burger tadi yang rencananya diberikan ke Shakila satu. Namun melihat mood Shakila yang buruk terpaksa membuat dia mengurungkan keinginannya, daripada makanan itu di lempar. Menjadi head di usia terbilang muda, sungguh tak mudah baginya, banyak tekanan di dapat sejak dua tahun lalu. Apalagi keputusannya menyangkut dengan kesejahteraan karyawan di perusahaan, namun Shakila tampak sangat mempercayainya dan dapat diandalkannya, terkadang ada hal yang menurutnya tak sesuai hati nurani, maka dari itu banyak yang menganggapnya ‘lembek’ namun Shakila bisa membantunya mencari jalan keluar yang tak melenceng dari peraturan perusahaan namun juga tak terkesan lembek. Karena itu dia merasa sangat beruntung ada Shakila di sampingnya. Dan dia akan mempertahankan itu sampai kapanpun, setidaknya dia akan menahan dirinya untuk tak mengumpat setiap kejudesan yang Shakila lemparkan padanya. *** “Pagi coy, telat lagi? Udah naik motor masih telat? Ckckckck!” suara yang paling sumbang yang didengar Dea pagi ini merasuk ke telinganya, bagaimana bisa ada pria dengan mulut senyinyir itu? Dan sialnya pria itu sudah bertahun - tahun menjadi temannya. Bayangkan sejak SMA berteman dengan kaum nyinyirun macam Ezra. Dari sekolah yang sama, kuliah dengan jurusan yang sama dan kini kerja di tempat yang sama sejak lulus kuliah. Di tim yang sama pula karena mereka berdua yang mengambil jurusan marketing. Bahkan rumah mereka tak jauh hanya berbeda komplek saja. Ezra bersandar di tembok dan memperhatikan Dea yang mengeluarkan bajunya dari dalam tas, “Berisik!” cebik Dea, meninggalkan pria berpakaian rapih khas marketing perusahaan besar, wajah oval yang membingkai wajahnya dan kumis tipis diatas bibirnya yang membuatnya berkharisma, tatapan matanya tampak tajam dan senyum yang memikat, namun tak membuat Dea terpikat sama sekali. Saat Ezra berniat pergi, Dea kembali mundur dan memanggil Ezra dengan tangan memeluk baju gantinya. “Zet,” panggilnya seperti biasanya, dan hanya dia yang memanggil Ezra dengan panggilan Zet, atau disingkat Z saja. “Apa?” tanya Ezra. “Klien yang kemarin sudah deal? Kontraknya sudah siap kan?” tanya Dea. “Sudah beres, makanya liburan jangan kelamaan!” cebik Ezra. “Ah terbaik emang kamu, maaciwwww,” ucap Dea mengutarakan terima kasih pada Ezra dengan suara yang dimanjakan namun justru terdengar memuakkan di telinga Ezra itu. “Macamaaa,” sahut Ezra sambil bergidik lalu mereka berdua tertawa. “Dasar gembel!” kekeh Dea, meninggalkan Ezra untuk mengganti pakaiannya karena sebagai tim Marketing yang bisa bertemu klien kapan saja itu, dia dituntut harus selalu berpakaian rapih dan sempurna, terlebih bekerja di perusahaan besar yang merupakan perusahaan top di Indonesia, membuatnya lebih memperhatikan penampilannya, dia tak mau citra perusahaan menjadi jelek karena tim marketingnya yang berpenampilan lusuh atau tak pantas. ***  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD