Sembilan

2250 Words
Perusahaan tempat Shakila bernaung hari ini sedang mengikuti program job fair sebagai undangan dari program kerja pemerintah. Karenanya selama lima hari ini, sebagai tim HRD Shakila akan sering berada di lapangan untuk melakukan penerimaan pelamar kerja yang melakukan apply lamaran dengan web khusus yang telah disediakan oleh tim IT perusahaannya. Guna menghemat kertas dan juga tak membuang banyak biaya bagi para pelamar kerja, tim IT membuat sebuah program khusus, jadi pelamar bisa menginput datanya dari rumah atau dari manapun, dan datang hanya untuk registrasi ulang di komputer yang telah disediakan di stand khusus. Namun Shakila juga perlu melakukan validasi data, karena itu di hari senin ini dia datang ke stand job fair perusahaannya. Sebuah tenda berbentuk persegi, dengan kipas angin besar berada di sisi tenda itu, dua komputer khusus karyawan dan empat komputer khusus pelamar kerja. Perusahaan Blinkshop merupakan perusahaan besar yang sangat maju, karena itu stand ini dipenuhi oleh pelamar kerja, paling ramai dibanding stand lainnya. Shakila dan tim HRD lainnya terlihat sangat sibuk, hingga Ben sang section head yang menyempatkan diri untuk melihat jalannya program perekrutan karyawan baru itu pun membelikan beberapa minuman dingin untuk anak buahnya. “Banyak banget pelamar kerjanya ya?” tanya Ben sambil menarik kursi untuk duduk di samping Shakila membuka botol minuman dingin rasa cola dan memberikan pada Shakila. Shakila hanya melirik tajam dan mengambil minuman itu, menenggaknya beberapa tegukan dan meletakkan di meja botol tersebut. “Sepi kok, sepi banget sampai dari tadi saya nggak bisa sekedar berdiri melemaskan punggung,” tutur Shakila sarkas, Ben adalah orang yang paling mengenalnya, tingkat ketajaman ucapan Shakila akan meningkat saat wanita itu lelah, dia hanya tersenyum tak enak dan terus memperhatikan Shakila yang mengklik approved setelah mengecek data pelamar di laptop miliknya. “Mau saya gantikan? Barangkali kamu mau merenggangkan otot?” usul Ben, Shakila menoleh ke arahnya, bergantian dengan melirik jam tangan berwarna silver yang melingkar di tangannya. Setengah jam lagi waktu perekrutan hari ini selesai dan dia sangat ingin buang air kecil, karenanya dia pun menyetujui ide itu. “Saya ke toilet ya Pak,” ujar Shakila sambil bangkit berdiri, tempat duduknya kini digantikan oleh Ben. Dan dia pun membawa ponselnya menuju toilet umum, yang jaraknya lumayan jauh dari stand milik BlinkShop. Toilet umum itu cukup bersih karena ada penjaga yang membersihkannya, airnya pun  mengalir deras, namun demi menjaga kebersihan, Shakila mengelap dudukan closet dengan tissue, barulah dia menuntaskan buang air kecilnya. Namun dia merasakan sesuatu yang lain keluar dari bawah sana, dia pun melebarkan kakinya dan mengintip lalu membuang napas kesal. “Arghht baru tanggal segini, maju jauh banget, duh mana nggak bawa pembalut,” gumam Shakila kesal, tak biasanya jadwal menstruasinya maju sampai empat hari seperti ini, mungkin karena dia yang kelelahan membuat siklus bulanannya maju lebih cepat. Shakila sungguh sangat bingung harus meminta tolong kepada siapa? Terlebih rekan kerjanya hari ini, semuanya laki-laki. Di tas pun tak ada pembalut dan perutnya mulai terasa kram seperti datang bulan biasanya. Mungkin karena dia yang keturunan sang ibu yang konon katanya jika datang bulan perutnya terasa sangat sakit, dan dia mewarisi hal itu. Keluarnya darah menstruasi selalu membuatnya cemas dan takut karena rasa sakitnya yang terkadang tak tertahan. Shakila mengaliri air untuk membasuh bagian bawah tubuhnya, dia sungguh dilema apa yang harus dia lakukan saat ini? Tak mungkin dia keluar begitu saja, celana bahannya berwarna cerah, pasti akan cepat tembus dan terlihat. Sementara itu di stand job fair BlinkShop, Ben melirik jam tangannya sudah sepuluh menit Shakila pergi namun tak terlihat tanda – tanda dia akan kembali, jika Shakila ingin istirahat membeli makan atau sesuatu dia pasti membawa tas atau dompetnya, namun tasnya masih ada di bawah dan saat pergi tadi pun dia hanya terlihat membawa ponselnya saja. Ben celingukan dan menggaruk kepalanya, apakah perlu dia menghubungi Shakila? Ah iya dia akan bilang ada masalah di laptopnya, sebagai alasan untuk menanyakan keadaan Shakila. Dia pun menekan nomor ponsel Shakila dan baru dering kedua panggilannya diangkat. “Halo, kamu dimana?” tanya Ben. “T-Toilet, ehmm Pak,” ucap Shakila terdengar ragu dan gugup. “Ada apa? Kamu ada masalah? Suara kamu kok terdengar gugup?” tebak Ben, Shakila adalah wanita paling tenang yang pernah dia kenal, mendengar suaranya yang bergetar meyakinkannya pasti ada sesuatu yang tak beres yang dialami Shakila. “Sebenernya, hmmm saya tidak enak bilangnya ... .” “Kamu sembelit? Atau diare?” tebak Ben lagi dan dapat dipastikan gerutuan Shakila memberi tahunya bahwa dia salah tebak. “Bukan. Saya datang bulan dan tidak bawa pembalut, sekarang perut saya mulai terasa kram,” ucap Shakila cepat. Ben tersenyum simpul dan mengatupkan bibirnya, lalu memberi kode ke salah satu anak buahnya untuk menggantikannya, dia pun segera keluar dari tenda itu. “Di tas kamu ada pembalut? Mau saya bawakan?” tanya Ben lagi penuh perhatian. “Nggak bawa,” ucap Shakila pelan. “Baik, di dekat sini ada minimarket, kamu tulis aja apa yang perlu saya beli? Saya jalan kesana sekarang,” ucap Ben. “Beneran nggak apa-apa?” tanya Shakila tak enak, hal yang sangat jarang terdengar dan dirasakan oleh Ben, karena wanita judes itu biasanya sangat mandiri dan hampir tak pernah membutuhkannya. Namun kali ini dia seolah meminta tolong pada Ben, dan Ben yakin hanya dirinya yang dapat membantu Shakila saat ini. “Nggak apa-apa, saya juga pernah beliin untuk teman saya kok,” ucap Ben. Shakila pun mengiyakan dan mengirim pesan setelah sebelumnya mendownload gambar pembalut yang biasa dia pakai, dia tahu pria itu makhluk visual, mengirim gambar contohnya dapat memudahkan pencarian, daripada dia hanya mengetik merknya saja. Ben keluar dari pelataran tempat Job Fair dilaksanakan, menyebrang jalan besar menuju minimarket berlogo merah. Lalu mencari pembalut yang sesuai dengan gambarnya, berdiri cukup lama di rak pembalut hingga menemukan yang dia cari, tak lupa dia membeli minuman untuk meringankan kram perut, ya dewasa ini banyak pria tahu bahwa merk minuman itu masih menguasai pangsa pasar, apalagi brand yang dibangun cukup bagus, promosi iklan yang luar biasa. Setelahnya Ben pun membayar pembalut dan minuman tersebut lalu berjalan cepat menuju toilet tempat Shakila menunggu. Ben mengetuk pintu toilet namun tak ada jawaban dari dalam. “La, ini saya,” ujar Ben. “Iya pak, bapak jangan menghadap ke dalam ya?” pinta Shakila. “Iya, tenang saja, saya membelakangi pintu kok,” jawab Ben. Shakila membuka pintu dan melongokkan kepalanya, tampak tangan Ben menjulur memberikan kantung plastik berisi pembalut dan minuman untuknya, sementara wajah nya ke arah yang berlawanan. Shakila mengambil plastik itu dan segera menutup pintu lagi. Dia cukup lega ada Ben yang bisa membantunya, tadinya dia hampir kepikiran untuk melipat banyak tissue toilet dan meletakkan di celananya untuk sementara sampai dia berjalan ke minimarket, namun ternyata dia tak harus melakukan itu karena bantuan Ben. Setelah memakai pembalutnya dia pun keluar dari toilet, ternyata Ben masih menunggu tak jauh dari toilet. Dengan senyumnya saat melihat Shakila, membuat wanita itu jadi serba salah. “Terima kasih ya Pak, berapa harganya biar saya ganti?” ucap Shakila sambil berjalan bersisian dengan Ben. Tangannya mencoba membuka tutup botol minuman pereda nyeri saat menstruasi itu, namun terasa sangat sulit hingga Ben membantunya. Ben membuka botol minuman itu dan kembali menyerahkan ke Shakila untuk diminumnya. “Nggak usah diganti, santai aja,” ucap Ben. “Sudah sering beli barang yang sama jadi tidak canggung ya?” tanya Shakila sambil menenggak minumannya. “Cuma sekali, itupun lima tahun lalu sepertinya,” ucap Ben. “Oiya, beliin pacar pastinya?” tebak Shakila tepat sasaran. “Ya, sudah jadi mantan pacar kalau sekarang sih,” kekeh Ben. “Kenapa?” “Kenapa apanya?” tanya Ben. “Kenapa bisa jadi mantan pacar?” tanya Shakila membuat Ben tertawa, tak biasanya dia ingin tahu kehidupan Ben, bolehkah jika pria itu berharap rasa penasaran Shakila adalah awal dari ketertarikan nya kepadanya? “Hmmm, karena dia sudah menikah dengan pria lain, pria yang lebih dia cintai,” ucap Ben, tak ada nada kesedihan di suaranya, lima tahun sudah cukup lama berlalu dan kini dia bisa memastikan bahwa dia baik-baik saja saat mengingatnya. “Di selingkuhi?” tanya Shakila seolah menghujam jantung Ben, dasar wanita tidak peka! “Yah begitulah, nggak apa-apa dia sudah bahagia sekarang,” ucap Ben, sebentar lagi akan sampai ke stand miliknya, terlihat para pelamar yang mulai berkurang karena hari yang mulai siang, dan acara hari ini hanya sampai jam dua belas saja. “Nggak cari pacar lagi?” tanya Shakila, menenggak kembali minumannya. “Ini lagi cari,” ucapnya. “Oh datang ke Job Fair hanya untuk cari pacar, dikira mau lihat anak buahnya kerja,” cebik Shakila sambil berjalan lebih dahulu meninggalkan Ben yang hanya melongo, apakah dia salah bicara? Entahlah, dia masih sukar menebak pikiran Shakila. Pelamar terakhir telah menyelesaikan memvalidasi data, hingga Shakila dan tim HRD lainnya, dibantu oleh Ben, membereskan tenda karena besok akan dipakai lagi. Setelah ini pekerjaan HRD akan sangat banyak untuk melakukan meeting penerimaan karyawan dan penilaian calon karyawan itu. “Bareng saya aja ke kantornya,” ajak Ben kepada Shakila sambil membawa satu kardus peralatan kantor dan menaikannya ke mobil kantor. Shakila melihat mobil itu yang cukup penuh ditambah beberapa karyawan pasti tak akan nyaman dia pun menyetujui ajakan Ben. Karenanya setelah mobil kantor itu pergi, Shakila dan Ben menuju mobil pria itu yang terparkir tak jauh dari mobil kantor tadi. Shakila berjalan agak cepat sehingga Ben tak sempat sekedar membukakan pintu untuk wanita itu, terlebih wanita mandiri itu sudah lebih dulu memegang handle pintu mobil. Ben masuk ke mobil dan memakai sabuk pengamannya, lalu mulai melajukan mobilnya. Masih jam istirahat dan dia yakin Shakila belum makan, karena itu dia mengajak Shakila singgah ke rumah makan yang mereka lewati di jalan sebelum ke kantor. Sebuah rumah makan padang sederhana dipilih mereka, Shakila memesan ayam bakar sementara Ben memesan rendang. “Arght,” desis Shakila memegangi perutnya, keringat tampak membasahi keningnya. “Kenapa? Sakit banget ya?” tanya Ben, Shakila hanya mengangguk dan mengerjapkan matanya untuk mengusir sakitnya. “Biasa minum obat apa? Mau saya belikan?” tanya Ben, Shakila pun menggeleng, dokter bilang tak baik mengkonsumsi obat terus menerus, karena takut lama-kelamaan tubuhnya justru jadi terbiasa menerima obat itu dan membuat daya kerja obat penghilang nyeri jadi tak berfungsi maksimal lagi. “Nggak, masih bisa ketahan kok,” ucap Shakila. “Saya antar pulang saja ya, wajah kamu pucat.” Shakila mendongak dan menggeleng, lalu menyantap makan siangnya dengan sangat pelan dan perlahan, sesekali mengernyitkan kening menahan sakit. Ben hanya terdiam saja, Shakila memang keras kepala dan dia tak mau membuat Shakila semakin sakit karena melawannya, setidaknya dia ingin wanita itu menghabiskan makan siangnya terlebih dahulu. Meskipun nyatanya baru setengah porsi dia menyudahi makannya karena perutnya yang semakin sakit. Ben pun menyelesaikan makannya dan mengajak Shakila naik ke mobil, memapahnya dan tak ada penolakan dari Shakila. Ben melajukan mobilnya membelah jalan dan menatap dari kaca mobil diatas keningnya, wajah Shakila yang semakin terlihat menahan sakit. Ben menghentikan mobilnya di sisi jalan, “kamu pilih kita kerumah sakit atau aku antar kamu pulang?” “Ke kantor aja Pak, nanti juga reda sakitnya,” ucap Shakila. “Sekali ini aja, kamu nurut deh apa kata saya. Pilih mana? Lekas?” ucap Ben tegas. Shakila melirik Ben dengan tatapan tajamnya, dia menggeleng dan memilih menyandarkan kepalanya di kaca jendela mobil. “Pulang aja,” ucapnya pelan. Ben pun menanyakan alamat rumah Shakila dan menyetel maps di mobilnya, karena memang sejak tiga tahun Shakila kerja bersamanya, mereka tak pernah saling mengunjungi rumah satu sama lain, tak perlu juga dirasa karena tak ada kepentingan. Mobil yang dikendarai Ben masuk ke komplek perumahan Shakila, melihat nomor yang tertera satu persatu dan menepikan mobilnya tepat di depan gerbang sebuah rumah dengan halaman cukup luas, sepertinya sebelumnya ada dua kavling yang dijadikan satu dengan rumahnya. Ben memapah Shakila dan memakai tas milik Shakila di lengannya, membantu Shakila memasuki rumahnya, hingga Icha, sang ibu keluar dan membelalakkan mata. “Ya ampun anak mama, kenapa sayang?” tanya Icha sambil membantu memapah Shakila, melihat wajah ibu Icha yang tampak sangat muda, bahkan Ben tak menyangka bahwa wanita itu adalah ibunya, dipikir kakaknya, apalagi tubuh Icha jauh lebih pendek dari Shakila. Shakila dipapah sampai kamar, wajahnya semakin pucat dan dia hanya bisa berbaring saja. Icha membantu melepas sepatu dan kaos kaki Shakila lalu menyelimutinya. Ben menyodorkan tas Shakila pada Icha, “terima kasih ya, pacar Shakila ya? Tante baru lihat, ganteng juga,” ucap Icha, Shakila yang belum terlelap hanya menggeleng lemah, kehabisan energi untuk sekedar mengelak, matanya pun terasa sangat berat. “Saya teman kerjanya tante,” kenal Ben sambil menyebutkan namanya dan menjabat tangan Icha, ibu Shakila. “Oh gitu,” ucap Icha sambil mengangguk-angguk namun memperhatikan Ben dari atas sampai bawah, hingga Ben merasa salah tingkah. “La, saya kembali ke kantor ya, besok kamu tugas di kantor saja ya, jika masih sakit sebaiknya tak perlu masuk kerja,” ucap Ben mendekat ke arah Shakila. Shakila hanya mengangguk dengan mata yang ditutupi lengannya. Icha menutup gorder jendela dan mengajak Ben keluar dari kamar anak gadisnya, sebelumnya dia mematikan lampu kamar itu dan menutup pintu. “Dia nggak bisa tidur kalau terang, harus gelap seperti kelelawar,” ucap Icha. “Bukannya kelelawar justru tidur di siang hari ya Tansaat terang?” tanya Ben membuat Icha mengernyitkan kening. “Oiya ya? Duh lupa sudah lama tidak belajar,” ucapnya, hampir Ben tertawa keras jika tak ingat bahwa Shakila, bawahannya yang jutek sedang berada di dalam kamar. “Oiya mau minum apa?” tanya Icha lagi ramah. “Nggak perlu tante, saya mau langsung ke kantor saja.” Ben berjalan keluar bersisian dengan ibu Shakila. “Sering-sering main kesini ya, kasihan Shakila sudah lama tak punya pacar, tante akan senang banget jika kamu jadi pacar Shakila, sepertinya kalian cocok,” ucap Icha tulus membuat wajah Ben tersipu. “Ya Tante, saya pamit ya,” ucap Ben sambil menyalami Icha dan berjalan menuju mobilnya, Icha masih memperhatikan hingga mobil itu menghilang dari pandangannya. Icha mendongak seraya menatap langit, “Tuhan aku tidak mau anakku jomblo seumur hidup, tolong jodohkan dia dengan pria tadi Tuhan, kasihan dia pasti butuh pendamping, meskipun nggak pernah bilang. Ya Tuhan, kabulkan doa ini. Aamiin.” Icha mendekap tangan di d**a dan masuk ke dalam setelah menutup pintu. ***  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD