Delapan

1964 Words
Allura memakai baju santainya pagi ini, dia sudah berkirim pesan dengan Davin yang kabarnya akan menjemputnya dirumah. Mengenakan jeans berwarna hitam dengan sepatu kets juga tas punggung berukuran kecil dan kaos putih lengan pendek. Rambutnya diikat setengah dan memakai make up natural membuatnya tampak cantik dan menggemaskan. Dari kejauhan tampak mobil Davin memasuki pelataran rumah Allura dimana masih terdapat banyak pepohonan buah, Allura segera menghampiri mobil itu dan Davin pun keluar dari dalam mobil, sementara Syilla tampak duduk di kursi belakang. “Saya pamit sama orang tua kamu dulu ya, dimana mereka?” tanya Davin. “Nggak ada pak, mereka lagi jalan santai di dekat danau, ada kakak saya tapi masih tidur, jadi kita langsung berangkat saja,” ujar Allura sambil mengalihkan perhatian ke Syilla dan melambaikan tangannya pada gadis kecil dengan rambut di kuncir dua itu. “Baik, kamu mau duduk di depan atau-“ “Di belakang aja sama Syilla,” potong Allura sambil berjalan riang dan membuka sendiri pintu mobil itu, Davin hanya tersenyum canggung dan memilih masuk ke mobilnya, saat ini justru dia tampak seperti sopir bagi dua penumpang di kursi belakangnya, namun tak apa, melihat Syilla yang langsung dekat dengan Allura cukup membuatnya senang setidaknya mereka tak akan canggung saat jalan-jalan nanti. Saat ini Davin memakai kaos berwarna navy lengan panjang dengan celana chino press body yang membuatnya terlihat tampan dan lebih muda dari umurnya. Karena masih cukup pagi, perjalanan masih tampak lancar dan tak sampai satu jam mereka sudah sampai di kebun binatang Ragunan. Setelah membayar tiket masuk, Davin pun memarkirkan kendaraannya, lalu menyodorkan e-money kepada petugas untuk masuk ke dalam kebun binatang tersebut. Allura selalu menggandeng tangan Syilla sambil sesekali mengomentari apapun yang mereka lihat. Hal pertama yang mereka kunjungi adalah kandang Gajah, Syilla tampak ketakutan bersembunyi di belakang Allura namun Allura mencoba menenangkannya dan menceritakan tentang gajah lucu berbelalai panjang. Rupanya sejak kecil didongengi oleh Khaylila sang ibu, membuat Allura sedikit banyak mengingat kisah-kisah dongeng yang biasanya tercetus secara spontan dari pikiran ibunya yang memang penulis n****+ tersebut. “Nggak apa-apa, gajah itu baik, dan dia nggak makan manusia, jadi nggak usah takut,” ucap Allura pada Syilla, Syilla pun mengintip dari balik tubuh Allura dan melihat gajah yang saat ini fokus makan rumput itu, sementara Davin memilih mengabadikan moment itu dengan kamera DSLR di tangannya. Banyak sekali mengambil foto Syilla dan Allura tentunya. Lalu mereka bertiga memutuskan naik kereta atau mobil khusus untuk berkeliling sekitaran ragunan, saat Davin membeli karcis, Allura dan Syilla memilih duduk di kursi paling depan, dua orang ibu-ibu yang sepertinya datang bersama rombongan keluarga mereka menegur Allura yang sedang merangkul Syilla. “Anaknya ya Bu? Mirip sekali ayahnya, kita hamil hanya jadi tempat persinggahan aja ya, capek-capek bawa kemana-mana sembilan bulan, eh pas lahir mirip ayahnya,” ucapnya pada Allura, yang disetujui ibu sampingnya. Allura hanya tersenyum tidak enak pada mereka, karena dilihat dari manapun memang Allura dan Davin serta Syilla tampak seperti keluarga kecil yang harmonis. “Mamanya kelihatan awet muda, kalau jalan sendiri nggak tampak kalau sudah punya anak pastinya, seperti masih gadis,” timpal ibu satunya, membuat Allura menggigit bibir nya, dia tak tahu lagi harus berkata apa? Ingin dia berkilah, namun melihat tatapan mata Syilla yang menatap reaksinya membuatnya memilih tersenyum saja. “Mama?” ucap Syilla pelan, menggenggam tangan Allura yang berada di pangkuannya. Davin memasuki mobil khusus yang dicat serupa dengan warna macan itu pun langsung memangku Syilla. “Mama papanya cakep, pantas anaknya cantik, seneng banget lihatnya ya bu,” ucap mereka di belakang, Davin hanya menoleh dan tersenyum tak enak saja, beruntung mobil segera melaju dan mereka larut akan pembicaraan mengenai hewan yang mereka lihat. Allura tak habis pikir, apa memang sudah mendarah daging keramahan orang Indonesia, sehingga membuat mereka mudah mengomentari urusan orang dengan pertanyaan basa basi, tanpa tahu apakah pertanyaan yang mereka lemparkan sudah tepat? Allura mengingat pesan dari Dea tadi pagi yang mewanti-wanti untuk tak membuat malu Davin, dan jika tak tahu apa-apa sebaiknya diam saja. Ucapan Dea memang cukup tajam namun Allura mengerti Dea melakukan itu karena sayang padanya dan tak ingin Allura malu, seandainya saja dia tadi bilang, “saya cuma teman kerjanya kok,” apa nggak akan dianggap bahwa Allura berselingkuh dengan Davin, atau dia pasti perlu menjelaskan bahwa ibu dari Syilla sudah meninggal dunia, tentu tidak. Dia tak mau Syilla mendengar itu, jadi benar kata Dea, sebaiknya dia tak banyak bicara dengan orang asing hari ini. *** Setelah cukup lelah berkeliling, Davin memutuskan mengajak Allura dan Syilla istirahat dengan menyewa tikar di bawah pohon rindang, Syilla semula berbaring di paha Allura saat Davin membeli pecel sayur untuk mereka, namun lama-kelamaan ternyata Syilla justru tertidur pulas. “Lho sudah tidur?” tanya Davin melihat ke arah putrinya, dia berniat memindahkan Syilla namun Allura mencegahnya. “Jangan pak, baru tidur banget kasihan nanti malah terbangun dan pusing,” ucap Allura sambil mengusap kepala Syilla lembut, Davin memilih membeli kipas kecil dengan daya batrei yang bisa di charge ke power bank tak jauh dari tempat mereka duduk, melihat keringat di kening Syilla membuatnya tak tega gadis kecilnya pasti kepanasan. “Kamu bisa makannya?” tanya Davin pada Allura, perut Allura terasa lapar dan melihat pecel sayur dengan lontong membuat perutnya semakin lapar namun dia takut membangunkan Syilla jika dia bergerak menjauh, tak mungkin dia makan diatas kepala Syilla, takut bumbunya tumpah, satu tangannya pun dipakai menopang kepala Syilla. “Nanti saja deh kalau Syilla bangun,” ucap Allura tak enak. “Memang nggak lapar?” “Lapar sih, tapi ... .” “Kayak ini aja deh,” ucap Davin sambil menyendok pecel sayur itu dan mengarahkan sendoknya ke mulut Allura, “Aaaaa,” ucap Davin. “Ih Jangan pak saya nggak enak, nanti orang – orang beneran nyangka kita suami istri,” ujar Allura, namun Davin hanya tertawa. “Nggak apa-apa, sekalian latihan jadi suami istri,” ucap Davin meledek Allura. Namun Allura justru mengernyitkan keningnya dan berpikir keras akan maksud ucapan Davin barusan. “Ayo cepat, pegal tangan saya kelamaan,” tukas Davin, membuat Allura membuka mulutnya lebar dan membiarkan Davin menyuapinya sampai seluruh isi piring itu berpindah ke perut Allura. Sesekali mereka berbincang perihal perusahaan, tak ada lagi yang mereka bahas diluar itu karena Davin yang tak terlalu mengenal Allura dan Davin merasa terkadang Allura menjawab pertanyaannya dengan pertanyaan juga membuatnya memilih mencari topik yang berada di sekitaran perusahaan saja yang pasti mereka tahu. “Mau nambah?” tanya Davin melihat piring pecel Allura sudah habis, dan Allura menjawab dengan gelengan kepalanya. Kini giliran dia menghabiskan makanan miliknya. “Mau minum es teh,” tunjuk Allura pada penjual minuman yang berada tepat disamping penjual pecel. Davin pun menurutinya, hingga kemudian Syilla bangun dan Davin memberikan Syilla sereal yang dibawanya dari rumah lalu mereka melanjutkan perjalanan dengan Davin yang menggendong Syilla, sesekali mereka tertawa melihat hewan yang lucu-lucu atau menertawakan Allura yang berlari saat memasuki tempat khusus hewan melata, Allura sangat takut dengan ular sehingga dia memutuskan kabur saat melihat hewan melata itu. Pembawaan Davin yang ramah sejujurnya membuat Allura nyaman, apalagi Syilla yang sering berceloteh dan suaranya terdengar sangat lucu, Allura merasa seolah tak canggung lagi, padahal biasanya dia yang paling susah bergaul dengan orang baru karena mereka yang sering tak mengerti dengan pemikiran Allura, namun Davin berbeda, Davin tampak memahami jalan pikiran Allura, tak mengejeknya tau mendiamkannya, justru lelaki itu sering menjelaskan secara detail dengan hal yang Allura tak mengerti. Karena kebun binatang Ragunan sangat luas, mereka yang sudah kelelahan pun memutuskan untuk pulang, tak kuat lagi berjalan jauh, cukup banyak pula hewan yang sudah mereka lihat dan yang pasti tujuan untuk membuat Syilla mengenal hewan-hewan dari dekat itu sudah tercapai, sekaligus menunaikan janjinya untuk mengajak Allura jalan. *** Malam, sebelum tidur Davin mendongengkan kisah hewan yang dipilih Syilla, namun sudah selesai membaca satu buku dongeng, Syilla tetap tak terlelap. “Pah, mama kenapa nggak ikut kerumah kita?” tanya Syilla memandang Davin. “Mama?” “Iya Mama Alula,” ucapnya dengan suara cadel membuat Davin tertawa. “Memangnya Syilla pengen punya mama?” tanya Davin. Syilla pun mengangguk. “Semua temen Syilla punya mama, cuma Syilla yang nggak punya,” ucap Syilla menunduk, Davin hanya mengusap kepala Syilla dan mengecup keningnya. “Tuh Vin, anaknya sudah minta mama juga, kamu bukannya nikah lagi!” ucap suara seorang wanita paruh baya yang ngeloyor masuk ke kamar Syilla. Wanita yang melahirkan Davin itu masih tampak bugar dengan tubuh yang agak gemuk dan dandanan yang cukup menor. “Mama datang-datang langsung nyerocos,” rungut Davin, mengusap-usap kepala Syilla agar tertidur. “Sudah terima saja perjodohan dengan Dwianti, anak teman mama, dari dulu sudah mama jodohkan juga, dia cantik, baik, pintar, kerja nya saja sebagai pengacara, nggak akan malu-maluin pasti,” ucap ibu Davin menyombongkan calon untuk dijadikan istri Davin. “Nggak bisa mah, aku nggak ada perasaan apa-apa untuk dia, pernikahan kita hanya akan membuat kita menderita nantinya.” “Kamu nggak pernah denger pribahasa cinta datang karena terbiasa? Dijalani dulu lama-lama juga akan cinta.” Davin memandang putrinya yang sudah tertidur pulas, lantas dia keluar dari kamar Syilla diikuti oleh sang ibu. “Kalau jadi cinta. Kalau justru jadi benci bagaimana? Lagipula aku masih belum bisa melupakan mamanya Syilla, susah buat aku mencari wanita yang bisa menyayangi Syilla seperti anak sendiri,” ucap Davin sambil duduk di ruang tamu. “Ya makanya kamu dekatkan mereka berdua, nanti juga pasti akan muncul rasa sayang diantara mereka,” ucap ibunya menasehati seolah tak terbantahkan. “Entahlah mah, aku lagi malas mikir ke arah sana, belum kepikiran juga,” ucap Davin cuek. “Syilla butuh ibu, dan kamu butuh istri, tiga tahun lebih menduda, sudah waktunya mencari istri, lepaskan dia, dan menikahlah dengan Dwiyanti.” Davin tak mau menimpali ucapan ibunya, dia kenal Dwiyanti karena mereka sering bertemu sejak dulu terutama saat acara perkumpulan ibu mereka, namun bahkan sejak dulu sampai sekarang, tak ada perasaan apa-apa antaranya dengan wanita itu dan Davin tak mau memaksakan perasaannya hanya demi mengganti status saja, untuk Syilla dia harus lebih selektif mencari calon ibunya, karena dia tak mau Syilla mengalami hal yang buruk nantinya jika sampai dia salah memilih istri. *** Allura sudah selesai mencuci muka dan berbaring di ranjang, dering ponselnya berbunyi nyaring dan menampilkan video call group dari ketiga sahabatnya, sehingga dia pun menerima panggilan video itu. Di layar terpampang wajah Pelangi yang memakai masker, sementara Shakila sedang memulas serum di wajahnya dan Dea yang menguap berkali-kali dengan earphone menyumbat telinganya. “Ada apa malam-malam video call?” tanya Allura. “Bagaimana hari ini jalan sama pak Davin?” tanya Pelangi. “Seru, hewannya lucu-lucu, makanannya juga enak-enak, terus kita naik kereta keliling gitu, pulangnya aku beli ini!” ucap Allura sambil menunjukkan boneka jerapah di layar kameranya membuat Shakila menggeleng, Dea menarik napas panjang dan Pelangi harus menahan tertawa karena takut merusak maskernya. “Pe, besok siap-siap kalau pak Davin ngeluh karena jagain dua balita ya,” sindir Dea. “Dua balita? Kan cuma satu anaknya?” tanya Allura. “iya yang satu balitanya lagi itu kamu!” rutuk Shakila. “Ish aku nggak ngerepotin pak Davin kok tadi, eh cuma ngerepotin sedikit sih, waktu aku nggak bisa makan karena megangin kepala Syilla yang ketiduran di paha aku, terus pak Davin suapin aku makan pecel pakai lontong, enak deh pecelnya seger nggak pahit.” “What kamu disuapin? Awww yah retak deh,” cibir Pelangi, cukup kaget sehingga tak sadar dia berteriak dan membuat masker wajahnya retak di sudut bibir. Allura hanya menjawab dengan anggukan. “Nggak malu udah gede gitu disuapin, please deh kalian bukan suami istri! Pacaran aja nggak?” ujar Dea. “Malu sih, tapi aku laper, daripada mati kelaparan,” melas Allura. “Nahan lapar satu jam nggak akan bikin kamu mati kelaparan!” geram Shakila. “Masa sih?” tanya Allura, membuat ketiga temannya geleng – geleng kepala tak mengerti. “Pe, besok kamu bilang sama pak bos kamu kalau kamu minta maaf karena Allura sudah ngerepotin dia,” perintah Shakila. “Ih kamu bagaimana sih, kan kita pura-pura nggak tahu kalau mereka jalan,” cebik Pelangi. “Ya sudah besok kita pura-pura nggak kenal Allura aja,” usul Dea yang disetujui kedua temannya. “Ih kok kalian jahat,” ucap Allura sambil meringis dan pecahlah tawa ketiga sahabatnya melihat wajah cemberut Allura, mereka pun mempersingkat percakapan dengan berkata akan tetap pura-pura tak tahu tentang perjalanan Allura dan Davin tadi, lalu mematikan panggilan itu karena hari senin biasanya menjadi hari sibuk bagi mereka, mereka perlu menyiapkan energi menyambut hari kerja esok. ***  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD