Part 7 Istri Macam Apa Kamu?

2330 Words
Istri macam apa kamu? Jam segini baru pulang? Sementara suami sudah di rumah sadari tadi! ~~~ "Lita...? Kamu... ke sini?" Suara Adjie tercekat melihat sosok perempuan cantik yang dulu pernah sangat dirinduinya bahkan hingga di masa awal pernikahannya dengan Kelana, sebelum akhirnya perlahan Kelana menginvasi seluruh hatinya. Dan sekarang resmi tahta hatinya dimiliki oleh Kelana. Hingga dia sangat kaget melihat Jelita ada di hadapannya sekarang. Di rumahnya! "Haiii Di..." Suara yang masih terdengar merdu di telinganya, menyapa dengan manja. "Kamu sama siapa? Dari mana kamu tahu alamat rumah ini?"Adjie masih tidak percaya dengan apa yang tampak di hadapannya. Hanya beberapa orang saja yang tahu alamat rumahnya sekarang. Pasti Jelita mendapatkannya dari Ibu, hanya beliau yang bisa memberikan alamat rumahnya pada Jelita. "Sama ibu. Beliau menunggu di taksi tuh, minta tolong kamu untuk bantuin bawa koper." Lita tersenyum semanis mungkin. Dia sungguh kangen pada lelaki tampan yang sekarang tampak cuek di hadapannya, terutama sejak pertemuan terakhir mereka, saat ia mengabarkan bahwa ia dulu pernah mengandung anak mereka. Sejak malam itu, Adjie berubah sikap padanya. Dia tidak percaya jika Adjie akan begitu saja melupakannya. Adjie bergegas ke halaman depan menuju sebuah taksi berwarna biru yang parkir di jalanan depan rumahnya. Terlihat, ada ibunya duduk di bangku penumpang. Diketuknya kaca bagian supir dan bertanya sopan, "Berapa pak totalnya?" "Kalau dengan tol sekitar 167.600 pak" Adjie mengeluarkan dua lembar uang berwarna pink bergambar proklamator bangsa ini. Diberikannya kepada pak supir, sambil tersenyum berkata, "Kembaliannya buat bapak saja pak." Kata Adjie saat melihat pak supir mengeluarkan dompet mencari kembalian. Dia ingat Kelana selalu memberikan tips yang berlebih entah untuk pelayan restoran yang mereka datangi atau untuk supir taksi jika mereka sedang malas menyetir. "Upah mereka tidak seberapa dibanding dengan biaya hidup di Jakarta, Mas. Bagi kita, jumlah uang segitu tak berarti. Kan lumayan bisa menambah uang belanja dapur keluarga yang mereka tanggung. Lagipula nantinya kita akan diganti dengan jumlah yang berlipat, asal kita ikhlas." Begitu alasan Kelana saat awal-awal dia protes karena tips yang diberikan begitu besar. Seperti ibunya sekarang yang protes karena tip yang diberikan Adjie ke pak supir taksi sangat besar menurutnya. "Djie... itu tadi kembalian harusnya tiga puluh ribu loh. Kamu kok ngasih tip banyak banget? Sayang kan? Seharusnya tip sepuluh ribu juga cukup." "Tip segitu tidak seberapa besarnya bu, karena pak supir tadi sudah mengantar ibu ke rumah dengan selamat." Tutur Adjie, ingat jawaban Kelana. Dan dia menyonteknya. Dibimbingnya ibu tercinta menuju rumahnya. Dan dia baru tersadar ada tamu lain saat berada di depan pintu rumahnya. Aaah, Lita. Desahnya kesal pada diri sendiri, karena dia tidak mungkin kesal pada ibunya. Apa yang harus kukatakan pada Kelana? "Masuk yuk.." Ajak Adjie ke ibunya dan juga Lita, secara tak langsung tentu saja. Tampak Jelita mengagumi eksterior dan interior rumah mantan calon suaminya itu. Sungguh berkelas. Minimalis, tapi barang-barang yang ada, dia tahu berharga mahal. Seumur hidup dia bekerja keras, pastinya tak akan mampu membeli kemewahan yang tampak sederhana dan membetahkan untuk siapapun yang melihatnya. Dia tersenyum kecut. Dia tahu akhirnya kenapa Adjie memilih Kelana dibanding dirinya. "Kamu kok kurusan tho, Djie?" Tanya ibunya saat sudah duduk di ruang tengah keluarga. Badan Adjie memang tampak lebih kurus. "Bojomu gak masak makanan yang bergizi? Lah jare pinter masak, tapi kok awakmu malah dadi kuru ngene (Katanya pintar masak, tapi kok badanmu malah jadi kurus begini?)” Terdengar nada suara sang ibu yang sudah mulai meninggi. Bagi ibunya, Kelana pasti salah, tidak ada benarnya. Betapapun Kelana berusaha menyenangkan sang ibu mertua. "Lana tetap masak yang bergizi dan enak-enak kok bu, tapi kemarin kan memang kami sibuk harus bolak balik ke rumah sakit untuk cek ini itu. Mungkin kecapaian karena itu dan kerjaan juga lagi banyak, bu." Jawab Adjie lembut, mencoba menenangkan ibunya. Dia tak mau Kelana disalahkan. "Adjie malah suka gini bu, lebih entengan di badan. Kemarin kan sempat berat badan berlebih karena keenakan makan masakan Kelana." Lanjutnya dengan nada tenang. "Koper ibu Adjie bawa ke kamar depan ya. Ibu dan Lita bisa istirahat di situ." Tapi saat Adjie kembali ke ruang tengah, tak dilihatnya ibunya. Ternyata ibu dan Lita sedang asyik menginvasi dapur. Dia menghela nafas, kalut, memikirkan alasan apa yang akan disampaikannya nanti ke Kelana. Dia bahkan tak berani mengobrak-abrik dapur. Karena Kelana adalah Ratu Dapur di rumah itu. "Bu... maaf, biar saya saja yang masak. Ibu dan Mbak silakan duduk saja. Ndak enak saya bu, wong tamu mosok malahan masak." Didengarnya Mbok Marni berkata pada ibunya. Sebenarnya mengusir secara halus sih. "Saya bukan tamu di sini! Kamu siapa sih? Kamu tidak kenal saya?" Jawab Bu Lastri ketus. "Nuwun sewu... saya tahu ibu karena Mbak Kelana sudah pesan untuk menghormati ibu jika ibu datang. Saya Minah Sumarni, panggil saja saya Marni bu, saya dan suami nderek Ndoro Laras dari Mbak Kelana masih bayi." Mbok Marni tetiba teringat pesan Ndoro Laras yang harus menjaga Kelana, dan sebagai orang yang ikut momong Kelana dari bayi, dia sudah merasakan ada hal yang tidak beres antara Kelana dan ibu mertuanya. "Lagipula Mbak Kelana tadi sudah ungkep ayam kampung kok bu, tinggal digoreng saja. Sayur juga sudah ada, tadi saya sudah masak. Mas Adjie, ibu dan Mbak, tinggal makan tanpa perlu repot. Saya tidak mau nantinya dimarah Mbak Kelana. Wong tamu kok malahan disuruh masak." Sekali lagi, Mbok Marni menekankan kata tamu. Radar bahayanya sudah menangkap ada yang tak beres pada dua tamunya ini. Sayangnya Ndoro Laras dan Ndoro Rekso sedang umroh, dan karena tak mau mengganggu ibadah mereka, dia yang akan pasang badan demi melindungi Kelana. "Saya mau masakin anak saya. Terserah saya toh. Sudah kamu nanti yang cuci peralatan masaknya saja. Ojo ngerusuhi ( Jangan ikut campur!)" Dan Bu Lastri tetap berada di dapur bersama Jelita. Dilihatnya tadi sudah tersedia plecing kangkung, tempe dan tahu goreng, dan sambal di meja makan. Semua menu itu sebenarnya sudah membuat cacing-cacing di perutnya memanggil. Tapi karena sudah kadung malu pada Mbok Marni, akhirnya dia hanya minta Jelita untuk membuat orak-arik telur kesukaan Adjie saat masih sekolah dulu. "Bu..., Lita, kita duduk saja di ruang tamu ya sambil menunggu Kelana pulang. Urusan dapur pasrahkan saja pada Mbok Marni. Ibu pasti capek kan? Jangan memaksa diri untuk memasak. Lagipula sudah banyak makanan tersedia, daripada mubazir nantinya." Ajak Adjie lembut pada ibunya. "Enggak ah, ibu mau makan dulu saja. Kamu juga yuk, Djie, makan sini, temani ibu dan Lita makan." Ajak ibunya pada Adjie. Adjie menghela nafas, bingung. Antara menuruti permintaan ibunya atau menunggu Kelana pulang dan makan bersamanya seperti biasa. "Ibu dan Lita makan dulu saja ya. Adjie masih kenyang, tadi sebelum ibu datang, Adjie sudah makan buah-buahan." Tolak Adjie diplomatis, mencoba mencari jawaban yang dianggapnya aman bagi semua. Ibunya memasang mimik sedih, tak menyangka Adjie akan menolak ajakannya. "Djie, ibu kan jarang datang ke mari. Kali ini tolong temani ibu makan ya, kalau sama Kelana kan kamu bisa tiap hari selalu makan bareng." Sepertinya si ibu sudah bisa menebak alasan kenapa Adjie menolak makan bersamanya. "Lagipula ini Lita sudah bikin telur orak-arik kesukaanmu loh. Ayuk, kita makan dulu. Sini duduk sebelah ibu." Ibunya bahkan sampai menepuk kursi di sebelahnya, sangat berharap agar Adjie mau menemaninya makan. Akhirnya dengan terpaksa Adjie ikut makan bersama ibunya dan Jelita. Dia berdoa dalam hati semoga Kelana pulang telat jadi tak perlu melihat adegan makan bersama ini. Tak pernah ia berkehendak untuk menolak atau menyakiti ibunya. Semenjak ayah mereka meninggal, dia yang anak pertama, sudah berjanji akan menjaga ibu dan adiknya. Akan memenuhi semua kebutuhan mereka. Tak akan menyakiti hati mereka. Biar dia saja yang berkorban. Tapi dia juga tak mau menyakiti Kelana, yang berstatus sebagai istrinya. Istri sahnya. "Bu, biar Adjie yang ambil sendiri nasi dan lauknya." Kata Adjie saat melihat Lita menyorongkan piring berisi nasi padanya. "Loh gak papa toh disiapkan Lita." "Jelita kan tamu bu, biar itu buat dia saja, Adjie ambil sendiri." Dan Adjie akhirnya menyiapkan sendiri apa yang akan dimakannya. Jelita mendesah, beberapa kali ini dia mendengar kata tamu, entah dari mulut Mbok Marni dan Adjie. Tak lama kemudian, Mbok Marni datang dan meletakkan ayam kampung goreng di meja makan. "Ini ayam kampung gorengnya, Mas. Maaf agak telat, tadi menunggu minyak goreng benar-benar panas dulu." Kata Mbok Marni kepada Adjie. "Monggo silakan bu, didahar (=dimakan) dulu lauk dan sayurnya." Lanjut Mbok Marni kemudian pamit undur. Adjie makan dalam diam, sesekali tersenyum saat ibunya mencoba mengajaknya berinteraksi di dalam pembicaraan dengan Jelita. Kentara sekali dia tak merasa nyaman. Entahlah, sejak Lita menyampaikan bahwa dia pernah hamil, pernah mengandung anak mereka, tapi kemudian menggugurkan kehamilannya karena Adjie akan menikahi Kelana, membuat rasa kecewa muncul di hatinya. Dia tak bisa menyalahkan Jelita, karena dia turut andil akan hal itu. Yang dia sesalkan, kenapa Jelita tak memberitahunya semanjak awal bahwa dia hamil. Tapi kemudian dia berpikir lagi, kalaupun diberi tahu, dia bisa apa? Membatalkan pernikahannya dengan Kelana dan membiarkan usaha keluarga mereka hancur? Membiarkan karyawan mereka kehilangan mata pencaharian? Bagai buah simalakama. Bagaimanapun juga, sebagai pengganti ayahnya, Adjie harus mengutamakan kelanjutan usaha keluarga dan kelangsungan hidup karyawan mereka. Satu-satunya jalan, dia meminta pada Dwi, sahabatnya, agar Rekso Corp. mau menyuntik dana segar dan berinvestasi di usaha keluarganya. Sayangnya, Dwi mengajukan syarat dia harus setuju menikahi Kelana. Dwi yang tahu adik kecilnya sangat mencintai Adjie, tentu saja tak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Toh, tak ada ruginya untuk Adjie. Malahan dia untung banyak. Dapat dana segar, usaha keluarganya terselamatkan dan bonus menikahi Kelana. Putri satu-satunya keluarga Rekso. Kelana itu loveable, sangat mudah dicintai. Cantik lahir batinnya, pintar dan santun. Istri-able banget deh. Banyak lelaki yang meminang Kelana tapi selalu ditolak. Membuat papa dan mamanya bahkan sampai bingung. Hanya Kelana dan Dwi yang tahu kenapa sebabnya. Bahkan Bram, si sulung, yang sahabat Danang, tak pernah putus asa menjodohkan Kelana dengan sahabatnya itu. Walau selalu ditolak secara halus oleh Kelana. Adjie ingat pernikahannya dengan Jelita saat itu hanya tinggal dua bulan lagi. Semua sudah siap. Gedung, katering, rias pengantin, undangan. Semua, semua sudah dibayar lunas olehnya dan keluarga Jelita. Dan karena pembatalan mendadak itu, membuat ibunya dan keluarga Jelita menjadi malu teramat sangat. Ayah Jelita bahkan sampai stroke. Apalagi kemudian Jelita hamil tanpa suami. Tak tahan menjadi gunjingan tetangga dan menahan malu, akhirnya mereka memutuskan pindah domisili. Bu Lastri yang bersahabat dengan ibunya Jelita juga terkena imbasnya. Menjadi bahan gosip, bahan gunjingan orang sekitar. Bahkan dia sampai tak mau keluar rumah hingga lewat tanggal pernikahan yang sudah ditentukan. Itulah alasan kenapa dia sungguh benci pada Kelana. Dia harus kehilangan teman baiknya, menahan malu dari gunjingan orang, tak mau keluar rumah karena itu, membuang harga dirinya. Sejak saat itu, hanya ada rasa benci yang ada padanya untuk Kelana. Padahal Kelana tak tahu apa-apa akan hal ini. Yang Kelana tahu, tetiba dia ditelpon mamanya untuk cepat pulang karena ada yang melamarnya. Dan saat dia tahu siapa yang melamar, tanpa berpikir dua kali dia langsung mengiyakan. "Di, kok malah melamun? Mau nambah?" Tanya Lita padanya. Adjie menggeleng. Dilihatnya jam dinding, hampir jam tujuh malam. "Sebentar lagi adzan Isya berkumandang. Adjie ke masjid dulu ya bu." "Loh ndak sholat di rumah aja to, Djie?" "Seorang lelaki sholatnya itu berjamaah di masjid bu. Semenjak menikah, Adjie selalu sholat berjamaah di masjid. Lebih afdol, pahala lebih tinggi. Lagipula masjid juga tak begitu jauh. Pamit dulu bu." Adjie kemudian masuk kamar untuk ambi air wudhu dan bersiap memakai baju koko putih. Bu Lastri terdiam. Sesaat hatinya tersentuh. Anak lelakinya banyak berubah setelah menikah dengan Kelana. Menjadi lebih baik, pastinya. Dulu, saat bujang, sholatnya masih bolong-bolong. Mengaji? Yaah, kalau Adjie ingat saja pastinya. Dia dan almarhum suaminya memang tidak begitu kenal agama dengan baik. Sholat? Ya..., pastinya dia sholat. Puasa? Dia juga ikut puasa. Tapi itu dilakukannya karena sekedar menggugurkan kewajiban. Bukaan yang penganut agama yang kaffah. Dia sempat kaget saat mendengar Adjie mengaji bersama Kelana, waktu mereka mudik kemarin. Saat itu dia merasa menyesal karena tak memberi panutan yang baik pada Adjie. Dan untunglah Kelana mampu memberikan guidance yang tepat pada Adjie. Tapi, dia semakin tak suka pada menantunya itu. Iri semakin muncul di hatinya. "Assalamualaikum .... Eh, ada tamu ya Mbok? Siapa?" Tanya Kelana yang sudah pulang dan lewat pintu samping rumah, yang tersambung dengan garasi. "Mertuanya Mbak Lana yang datang, tapi sama perempuan lain, namanya Jelita." Jawab Mbok Marni sambil berbisik, tergesa mengambil barang bawaan Kelana. Dilihatnya Kelana menarik nafas panjang, sesaat wajahnya sempat berubah saat mendengar nama Jelita, membuat Mbok Marni semakin yakin dengan kecurigaannya bahwa ada sesuatu antara Jelita dan Adjie. "Ibu di mana Mbok?" "Duduk di ruang keluarga, sedang nonton tivi. Mas Adjie ke masjid, baru berangkat." Setelah mencuci tangan, Kelana bergegas menuju ke ruang tengah untuk menemui ibu mertuanya yang tampak asyik mengobrol dengan Jelita. "Bu..., kapan datang? Maaf Kelana tak tahu ibu akan datang. Tahu ibu datang, tadi Kelana akan membatalkan meeting terakhir." Kata Kelana saat mendekati mertuanya, sambil tersenyum manis, dan meraih punggung tangan ibu mertuanya untuk dia cium, sebagai tanda hormat. "Hmm... ndak papa. Lagipula ibu ditemani Jelita kok dari tadi. Oiya kamu sudah kenal Jelita?" Tanya Bu Lastri pada Kelana. Kelana menggeleng, sambil mencoba tetap tersenyum. Tidak kenal, tapi tahu siapa dia dan masa lalunya bersama Mas Adjie. "Nah kenalan dulu, Lita ini Kelana. Besok ibu minta diantar Adjie ke Ciwidey karena pamannya Jelita ada mantu. Kami akan menginap di sana beberapa hari, jadi kamu ndak usah repot di sini." "Iya ibu, maaf Kelana tak tahu ibu akan datang. Oiya sudah pada makan? Lana siapkan makan malam dulu ya, bu?" Saat Kelana akan berdiri, Bu Lastri segera menjawab dengan perkataan setajam silet, perih terasa di hatinya sebagai menantu. "Tentu saja kami sudah makan. Lah wong sudah malam begini. Kamu ndak bisa lihat jam tah? Jam berapa ini? Adjie tadi juga makan bareng kami sekalian. Nungguin kamu pulang mau makan jam berapa dia? Mau bikin sakit tah? Untunglah Jelita tadi bisa masak cepat. Istri macam apa kamu, jam segini baru pulang. Sementara suami sudah ada di rumah dari tadi." Kelana mematung mendengarnya. Ya Tuhan…. Sakittt… Tenang Lana, Tarik nafas panjang, hembuskan… nafas… hembuskan… Dan ibu mertua macam apakah yang tega membawa mantan pacar anaknya ke rumah? Rumah yang ada istri sah?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD