Dia... bagian dari masa laluku... dan aku tak bisa merubah itu.
~~~
Sudah tiga minggu berlalu dari acara aqiqah di Solo. Sikap Kelana dan Adjie berubah. Terutama Kelana. Sikap Kelana pada Adjie, juga sikap Adjie pada Kelana. Sekarang semua tampak datar. Padahal dia menunggu Adjie untuk berkata jujur padanya. Namun ternyata, Adjie tak pernah mengungkit masalah itu. Hingga akhirnya Adjie menyadari ada yang salah pada Kelana.
Kelana yang biasanya ceria, menjadi pemurung.
Kelana yang biasanya manja padanya, menjadi suka menyendiri.
Kelana yang biasanya cerewet, menjadi sangat pendiam.
Walaupun sebagai seorang istri, Kelana tetap memenuhi kewajibannya, terutama melayani kebutuhan biologisnya. Tapi biasanya Kelana yang lebih mendominasi permainan panas mereka, sudah satu minggu ini Kelana tampak pasif.
Adjie sendiri juga tampak menarik diri, bahkan dari Kelana. Dia sering menyendiri, sepulang kantor. Jarang berinteraksi dengan Kelana. Seringkali melamun, menatap bintang di remangnya malam. Dan itu dia lakukan saat merasa Kelana sudah tidur. Tanpa dia tahu bahwa Kelana ternyata memperhatikan akan hal itu. Kelana sering mengintipnya dari balik pintu kaca geser, yang menghubungkan kamar mereka dengan taman samping rumah.
Ada dua hati yang terluka di sini. Kelana yang merasa dikhianati, dan Adjie yang merasa menyesal akan masa lalunya, yang tak bisa ia perbaiki. Bahkan sampai Lita hamil pun ia tak tahu. Dan ia sungguh menyesali hal ini. Andai saja, dia tahu Lita hamil, dia pasti tak akan meninggalkannya. Dan saat ini pastilah ada celoteh anak kecil yang heboh berlarian ke sana ke mari. Dan seharusnya saat ini perempuan yang sedang tidur di kamar adalah Jelita. Cintanya. Mungkin mereka akan menjadi keluarga bahagia, seperti impiannya. Dia, Jelita dan anak-anak mereka.
Tidak sepi seperti sekarang, tanpa celoteh anak.
Tidak hampa seperti sekarang, tanpa cinta di hatinya.
Kebahagiaan semu antara dia dan Kelana.
Tapi, dia yang sudah memutuskan untuk menikahi Kelana. Dia yang memutuskan lebih memilih Kelana dibanding Jelita. Semuanya demi keberlangsungan perusahaan kecil mereka yang dulu dirintis kakeknya dengan susah payah.
Toh, keputusan menikahi Kelana saat itu memang tepat. Perusahaan kecil mereka selamat. Bahkan ada suntikan modal baru yang cukup besar. Karyawan mereka tetap bisa bekerja. Gendis tetap bisa kuliah. Dan semua itu dibayar dengan hanya satu pengorbanan, cintanya.
Adjie penasaran apa yang terjadi. Rumah yang memang sepi karena tanpa ada celotehan anak kecil menjadi semakin sepi. Tak tahan, akhirnya Adjie berinisiatif untuk bertanya lebih dulu. Selesai merenung di taman samping, saat hendak membuka pintu geser yang menghubungkan ke kamarnya, Adjie tertegun melihat Kelana yang sedang berdiri, diam mematung di balik pintu kaca geser itu. Melihat ke arahnya dengan mata dan hidung memerah.
"Lana..." Desisnya tertahan. Dia tak menyangka Kelana ada di situ. Entah sejak kapan. Didekatinya perempuan ayu nan tangguh tapi tampak sangat rapuh sekarang ini. Dipeluknya Kelana, pelan namun erat.
"Kenapa berdiri di sini? Terbangun ya? Maaf aku..."
"Aku menunggu penjelasan Mas Adjie." Putus Kelana. Nadanya tegas.
"Tentang apa? Duduk dulu yuk. Kamu kan lagi gak enak badan. Ini saja masih hangat badanmu." Kelana membiarkan Adjie membimbingnya duduk di sofa.
"Penjelasan tentang apa, Lana?" Adjie bertanya dengan nada khawatir. Digenggamnya tangan Kelana, badannya terasa sedikit hangat.
"Jelita. Anasyanda Jelita. Siapa dia dan apa hubungan kalian."
Badan Adjie menegang. Wajahnya menjadi kaku. Dia tahu Kelana akan menanyakan tentang Lita, cepat atau lambat.
"Dari mana kamu tahu tentang Lita? Gendis?"
"Aku melihat kalian bertiga di taman samping rumah bude malam itu. Mas, ibu dan dia. Kalian begitu akrab. Bahkan ibu sepertinya begitu kangen padanya."
Adjie berdiri, berjalan perlahan menuju nakas dan mengambil segelas air yang memang selalu disediakan Kelana. Diteguknya sedikit air itu demi menghilangkan gugup yang menyergap.
"Jelita adalah mantanku." Katanya, dengan tubuh berdiri membelakangi Kelana. Tak mau Kelana tahu sorot matanya yang mendadak berubah sendu mengingat perkataan Lita malam itu. Tentang anaknya, anak mereka.
"Hanya sekedar mantan?"
Mau tak mau Adjie membalik badannya karena mendengar suara Kelana yang berubah, suram. Wajahnya juga suram. Aaah, dia tak menyukai pembicaraan ini. Jika menyangkut tentang Lita, pasti akan menyakitkan Kelana. Perempuan mana sih yang mau dibandingkan dengan mantan suaminya? Sesempurna apa pun istrimu sekarang, pasti akan merasa tersentil jika dibandingkan dengan mantan.
Adjie menarik nafas panjang, dan berkata lirih, "Kami pernah hampir menikah. Tapi, ada sesuatu hal yang membuat kami tak jadi menikah."
"Kenapa? Kenapa kalian tak jadi menikah? Kenapa Mas tak pernah cerita padaku tentang hal sepenting ini?"
"Karena...." Adjie menggantung kalimatnya. Dia masih berdiri mematung, belum berani mendekati Kelana.
"Karena aku tak menganggap itu penting, Lana. Bagiku, sekarang kamu lebih penting. Toh aku menikahnya kan sama kamu, bukan dia." Walau kadang aku harap aku bisa kembali ke masa lalu, dan merubah keputusanku.
"Mas Adjie masih mencintainya?"
"Kenapa kamu bertanya seperti itu?" Adjie berjalan perlahan menuju Kelana. Dilihatnya wajah istrinya yang berubah sendu. Matanya sudah memerah, sudah tampak kolam air mata yang siap jebol, jika ia salah menjawab. Aaah, perempuan dan air mata, sepertinya mereka ditakdirkan sepaket.
"Mas Adjie sampai lupa padaku malam itu. Pasti karena dia kan?" Yap, suara Kelana sudah terisak. Bahunya sudah naik turun.
"Maaf, Lana. Aku benar-benar minta maaf untuk itu. Hanya saja aku terkejut karena sudah beberapa tahun tak bertemua Lita. Jadi kami keasyikan ngobrol. Aku sungguh-sungguh minta maaf, Lana." Adjie duduk di sebelah Kelana, meraih perempuan itu ke dalam pelukannya. Dielusnya rambut panjang istrinya itu. Hampir dua tahun mereka menikah, jadi dia tahu, pelukannya adalah salah satu cara efektif untuk menentramkan Kelana.
Dan memang Kelana akan merasa sungguh nyaman dipelukan suaminya. Sepertinya emosinya menguap begitu saja, entah ke mana.
"Ada lagi yang Mas ingin sampaikan padaku?" Aku berharap kamu mau cerita tentang anakmu, anak kalian Mas. Tapi jika Mas Adjie hanya mau bercerita sampai segini saja, aku anggap itu tak masalah. Semoga saja ya... semoga.
"Mmm apa lagi ya? Kamu mau aku jujur dan terbuka tentang Jelita. Aku sudah menceritakannya. Yang penting sekarang, kamu sudah tahu, siapa Lita. Dia hanyalah bagian dari masa laluku, Lana." Maaf, aku tak sepenuhnya cerita tentang Lita. Apalagi tentang anak kami. Maaf Lana, itu tak mungkin. Kamu akan semakin terluka nantinya. Dan aku akan menjadi laki-laki terbajingan di dunia jika sampai kamu kembali terluka. Kamu tidak salah, kamu begitu baik, begitu sempurna. Hanya saja, Lita pemenang hatiku. Maaf... maafkan aku, Kelana.
Setelah keadaan tenang, beberapa saat kemudian, Kelana berkata kepada Adjie.
"Besok tolong temani aku ke rumah sakit ya Mas. Aku mau konsul ke dr. kandungan. Mbak Winda merekomendasikan salah satu dokter kenalannya di situ."
"Iyaa... anything for you, my lady." Kecup Adjie sayang.
Tapi sayangnya saat di ruang konsultasi dr obgyn keesokan harinya, Kelana bagai tersambar petir di siang bolong. Dokter obgyn rekomendasi kakak iparnya itu membuatnya tambah hopeless. Divonis terkena kista endometriosis 3,8cm di ovarium kiri. Dokter menyarankan untuk laparoscopy.
Bukan masalah besarnya biaya yang dikeluhkan Kelana. Dia tak peduli itu. Pun tak masalah jika tak ditanggung asuransi. Kelas VVVIP dia sanggup bayar. Masalahnya adalah ternyata dirinya-lah penghambat utama mereka tak segera mempunyai anak.
Adjie hanya bisa menghibur Kelana.
"Lana, kata dokter, itu kan bukan akhir dunia. Kita Insya Allah masih bisa punya anak, hanya ya kudu sabar, dan tetap berusaha dan berdoa. Setelah laparoscopy nanti kita ikuti semua nasehat dokter ya." Bujuk Adjie tiap kali Kelana menangis dalam diam.
"Kamu masih muda, aku juga belum genap 30 tahun kok. Ayolaah semangat ya, sayang. Mulai besok kita ubah pola hidup kita jadi semakin sehat lagi. Kurangi daging warna merah, kurangi lemak, perbanyak sayur dan buah. Aku akan ikut program yang disarankan dokter." Lanjut Adjie, karena Kelana tak jua merespon.
"Pantas saja kita menikah hampir dua tahun tapi belum punya anak ya Mas?! Ternyata penyebabnya aku! Hiks.. hiks... mungkin ibu benar mas... aku man..."
Adjie segera mencium bibir istrinya lembut, agar tak melanjutkan ucapannya.
"Shhttt...! Jangan pernah berkata seperti itu, Lana. Rizki, jodoh, anak itu karunia Allah. Kita tak tahu kapan mau dikasihnya kan? Kita hanya harus menjemputnya. Kamu yang sering bilang seperti itu. Toh dokter sudah bilang bahwa kita berdua masih punya kemungkinan untuk tetap punya anak. Kamu sehat, aku juga sehat. Sudahlah Lana, sekarang kita positive thinking saja ya. Hidup sehat dan berpikir positif, perbanyak lagi bersyukur. Insya Allah doa kita terkabul."
Mendengar kalimat yang menyejukkan hati dari Adjie, membuat Kelana tenang.
"Iya Mas, kita harus mulai hidup sehat dan perbanyak bersyukur ya. Aku akan segera atur jadwal operasinya. Terima kasih Mas mau mendukungku dan menerima keadaanku ini. Asalkan Mas setia di sisiku, Insya Allah kita bisa melewati ini semua ya Mas?"
Adjie mengangguk, mencium kening istrinya dan mengelus rambut panjang Kelana hingga istrinya tertidur.
Ya Tuhan... apakah ini hukuman bagiku karena aku dulu telah mengabaikan anakku? Maafkan hamba Tuhan, mohon ampuni...
~~~
Persiapan menjelang operasi tinggal beberapa hari lagi. Kelana dan Adjie bahkan sampai mencari pendapat kedua dan ketiga, tapi hasilnya tetap sama. Kelana tak mau membuang waktu lebih lama lagi. Semakin cepat laparoscopy, harapannya semakin cepat pula keinginannya untuk segera hamil dapat terkabul.
Sore hari sepulang kantor, Adjie heran karena pintu bel rumahnya berbunyi. Mereka baru pindah ke rumah ini dua bulan lalu setelah sebelumnya tinggal di apartemen. Rumah pemberian orang tua Kelana. Tapi Kelana dan orang tuanya tetap mempersilahkannya untuk ikut andil mendesain ruangan. Memang dia ikut andil beli bahan bangunan, tapi tentu saja tak sebanding dengan pengeluaran keluarga Kelana. Alhamdulilah Kelana tidak minta yang neko-neko. Tidak minta kolam renang, hanya minta dibuatkan taman di depan dan samping rumah. Dan dapur 100% urusannya, tak boleh ada yang ikut campur sama sekali. Makanya dia heran kok sudah ada tamu yang bertandang?
"Iyaa... sebentar... Waalaikumusalam.." Adjie membuka pintu dan kaget melihat siapa yang datang.
"Ibu??? Kok gak bilang sama Adjie mau datang? Sama siapa bu?" Adjie mencium punggung tangan ibunya, kedua pipinya juga. Dan membimbing ibunya masuk.
"Sama adikmu, tuh lagi beli makanan. Gendis ini memang hobi kok jajan, kan ndak semua jajanan sehat tho!"
"Mas Adjie... pintunya jangan ditutup dulu." Gendis berteriak dan berlari seketika melihat Adjie yang iseng akan menutup pintu.
"Jahat iih ama adek sendiri juga!" Nafas ngos-ngosan. Tapi dia segera mencium tangan Adjie, tanda hormat.
"Waaah rumahnya bagusss banget Mas! Pasti mahal banget ya?"
"Djie.. kamu pindah rumah kok gak bilang sama ibu tho? Ini saja kalau Gendis gak maksa datang ke Jakarta ibu gak tahu loh. Adikmu malah tahunya dari Kelana."
"Masih berantakan bu, belum beres banget. Kemarin-kemarin kan kami sibuk ke dokter, jadi agak terbengkalai."
"Mbak Lana mana Mas? Kok gak kelihatan?"
"Mandi. Nanti Mas panggil ya. Mana tasmu dan tas ibu? Mas bawa ke kamar tamu."
"Rumahnya bagus banget mas. Homy... bikin betah. Mbak Lana benar-benar anak orang kaya ya Mas?"
Adjie mengabaikan saja adiknya itu. Dia masuk kamarnya untuk memanggil Kelana. Sebenarnya dia merasa sedikit khawatir. Saat ini emosi Kelana sedang naik turun sejak diberi tahu ada kista. Dan pada saat yang sama, ibunya datang tanpa kabar. Aah semoga semua baik-baik saja. Doanya.
"Sayang..., ada ibu datang." Adjie terpaksa menghentikan Kelana yang sedang mengaji.
"Ibu? Kapan datang? Kok gak ngabari dulu, Mas? Duuh, mana rumah masih berantakan lagi. Aku juga tadi masak seadanya." Sebenarnya Adjie bisa melihat wajah Kelana yang berubah pucat, mendengar ibunya datang.
"Kata Gendis biar surprise."
"Aah ada Gendis juga?" Setidaknya ada Gendis.
Segera Kelana membereskan mukena dan menuju ke ibu mertuanya yang tampak asyik mengamati rumah baru mereka.
"Ibu..." Kelana sudah tahu, semakin sedikit dia berinteraksi dengan ibu mertuanya, maka dia akan semakin aman dari sindiran. Jadi ya bicara seperlunya saja.
"Hmm..." Bu Lastri segera menarik tangannya setelah dicium Kelana. Sebenarnya dia merasa minder karena besannya mampu memberikan rumah beserta isinya yang walaupun tampak sederhana tapi dia tahu pasti berharga mahal. Dia, tak bisa membantu apa-apa.
"Ibu silakan duduk dulu. Lana buatkan makanan dan minuman dulu ya bu?" Dan sigap Kelana menuju dapur, memasak secepat yang dia bisa untuk mertuanya. Mungkin bisa menimbulkan kesan baik dan positif kan?
Gendis ikut membantunya di dapur. Berdua mereka tampak akrab.
Tapi, saat akan menata makanan, sekilas Kelana mendengar, ibu mertuanya tetap menuntut cucu.
"Djie, kamu satu-satunya anak lelaki ibu. Kalau Kelana tidak bisa hamil ya cari perempuan lain yang bisa mengandung anakmu!"
"Bu..., Kelana bukannya tak bisa hamil. Beberapa hari lagi juga akan laparoscopy untuk mengangkat kistanya kok bu."
"Tuh kan apa ibu bilang, Lana itu yang salah. Dia mandul kan! Umurmu berapa Djie, tambah tua kamu. Sampai kapan mau menunggu anak dari Kelana? Ha..? Itu kan Jelita sudah bersedia kamu nikahi siri!"
Kelana mendengar itu. Nampan berisi minum yang dipegangnya bergetar karena dia gemetar hebat. Dia hanya tak menyangka, ibu mertunya segampang itu menawarkan Adjie untuk menikah siri dengan perempuan lain.
Saat akan tidur malam, Kelana diam-diam ke taman samping. Diambilnya ponselnya. Dia harus berbicara dengan seseorang.
"Halo... sayang? Assalamualaikum. Ada apa? Tumben nelpon jam segini? Di Jakarta sudah malam kan?" Suara merdu yang menyejukkan hatinya terdengar.
"Mama... Kelana kangen mama. Mama kapan pulang? Kelana mau ketemu mama."
"Ada apa Lana? Kamu tak pernah seperti ini sebelumnya. Mama sampai Jakarta Insya Allah tiga hari lagi. Jadi saat operasimu, papa dan mama akan hadir menemani. Kamu sakit Lana? Biasanya orang yang mau operasi pertama kali suka gitu kok. Kamu yang tenang ya, sayang."
"Mama... cepat pulang. Kelana kangen mama."
"Lana, ada apa? Adjie menyakitimu? Mama akan minta Winda atau Dwi untuk ke rumahmu ya, nak?" Nada suara itu terdengar khawatir.
"Lana gak papa, ma. Cuma kangen mama papa. Cepat pulang ya ma!"
Adjie yang mendengar percakapan via telepon itu terdiam. Dia tahu apa sebabnya Kelana menelpon mamanya malam-malam begini. Tadi dia sempat melihat Kelana berdiri mematung memdengar ibunya memintanya menikahi Jelita walau secara siri. Dia bingung, satu sisi itu ibunya, yang selalu menuntutnya segera punya anak. Di sisi lain, Kelana adalah istrinya, istri sah-nya.
Maafkan aku, Kelana!