Panggil saya Mas

1851 Words
“Lea, ini aku… buka pintunya…” pinta Theo sambil mengetuk pintu kamar Lea. Dalam hitungan detik pintu kamar itu terbuka dan terlihat Lea sudah rapi dengan pakaian kerjanya. Ia tampak manis dan imut mengenakan rok lebar selutut, kemeja dengan rambut yang diekor kuda. “Aku berangkat dulu ya, Pak.” pamit Lea sambil melewati Theo yang tengah menunggunya di depan pintu. “Kok berangkat? Saya mau ngajakin kamu sarapan bersama!” “Aduh, gak usah, udah jam 7.30. Saya harus sampai kantor jam 8 sebelum atasan saya dateng pak.” “Atasan kamu?” “Iya, orangnya berisik dan cerewet banget! Padahal laki, tapi mulutnya pedes kaya perempuan! Udah ya, byeee…” “Ck! Lea!” Theo hanya mendengus kesal tetapi ia hanya bisa membiarkan karyawannya itu berlari kecil menuju gerbang rumahnya. Perlahan Theo mencoba menyusul Lea tetapi dari jauh ia bisa melihat Lea sudah naik keatas ojol dan pergi meninggalkan rumahnya. Setelah berhasil membuat Lea menangis tadi malam, Theo merasa kasihan pada mantan istri sepupunya itu. Pagi ini ia ingin berbaik hati mengajak Lea untuk sarapan dan berangkat bersama, tetapi melihat ekspresinya sudah kembali menjadi riang membuat Theo merasa sangat lega. Theo sengaja berangkat sedikit lambat dari biasanya agar Lea merasa nyaman. Sesampainya di kantor ia melihat karyawannya sudah banyak yang sampai dan tengah sibuk berkumpul di cubicle dimana tim Annie berada. “Lagi pada ngapain?” Pertanyaan Theo membuat kaget sebagian karyawannya. “Mumpung belum jam 9 tepat, biasa pak, gosip duluu…” jawab Egi santai. “Gosip apaan?” “Si Jankem dapat kembang beneran pak…” “Kembang?” “Iya, tuh liat. Bagus bunganya pak… tapi gak ada namanya …. Kita lagi main tebak-tebakan, yang kasih masih lajang atau suami orang!” Terdengar suara riuh, sedangkan yang dipanggil Jankem alias janda kembang tampak tersipu-sipu menatap bunganya. Theo hanya bisa menatap dan mendengar percakapan para karyawannya yang lebih sibuk daripada yang mendapatkan hadiah. “Ada coklatnya nih, sekotak! Bagi dong!” “Eh, kalau ada makanan begitu langkahi dulu, biar kalau ada guna-guna bisa dianulir!” “Ujian kali ah, pake dianulir! Ayo, cepet langkahi dulu Lea!” Theo hanya bisa menepuk keningnya perlahan ketika melihat Lea dengan semangat melewati kotak coklat itu bolak-balik lalu meletakan kotaknya dimeja. “Ck, udah pada tua masih aja percaya yang begituan! Dimana-mana itu kalau sebelum makan berdoa dulu, udah paling afdol dari pada makanan dilangkahi bolak-balik!” tegur Theo sambil mencomot salah satu coklat itu dan segera memakannya. “Idih bapak!” gerutu para karyawan ketika melihat Theo langsung mengambil dan memakan coklat dari penggemar rahasia Lea. “Hmmm, ini coklat mahal,” gumam Theo perlahan. “Iyalah pak, dari kotaknya aja kelihatan tulisan Jepang, pasti dari Jepang, mahal…” ucap Lina ikut mengambil coklat dari dalam kotak. “Tapi ini beda, tak semua orang mengerti soal coklat. Dengan tipe tekstur dan kemasan coklat seperti ini, harganya pasti cukup mahal untuk orang jepang sekalipun. Yang naksir Lea bukan orang sembarangan. Kelasnya gak mungkin karyawan biasa kaya kalian … mungkin GM keatas… “ komentar Theo dan tampak disimak oleh para karyawannya. “Bukan dari kantor ini dong? Disini kan paling tinggi posisinya cuma bapak doang,” celetuk Rani. “Jangan-jangan ini dari pak Theo!” goda Juwana. “Saya gak mampu beli coklat semahal itu! Sudah, bubar! Sudah jam 9!” Theo pun meninggalkan kerumunan dan berjalan tertatih-tatih menuju ruangan kerjanya. Sedangkan para karyawannya masih berkumpul sesaat seolah tengah bermain teka-teki silang siapa yang memberikan bunga dan sekotak coklat itu untuk Lea. Tepat pukul dua siang, Theo memanggil Annie keruangannya. “Meeting hari ini, kamu bisa bawa Lea untuk menemani kita, biar dia yang membuatkan MOM* untuk kita nanti. Project ini berikan pada Lea saja, karena dari seluruh anggota tim, dia yang masih sedikit list project untuk bulan ini.” Mendengar ucapan Theo, Annie pun mengangguk setuju dan segera keluar ruangan untuk memberitahu Lea bahwa mereka akan segera berangkat meeting. “Bertiga mbak?” tanya Lea perlahan. “Iya, bertiga sama pak Theo sekalian, karena ia yang buka pintu dengan PT. Angkasa.” Tubuh Lea mendadak membungkuk, ia merasa senang jika harus berangkat meeting keluar kantor, tetapi kali ini berbeda, untuk pertama kalinya ia harus berangkat meeting bersama Theo, pria yang paling ingin ia hindari sejagat raya ini. “Ayo cepat, pak Theo sudah menunggu di lobby, kita semua naik mobil bapak saja karena setelah meeting bisa langsung pulang. Kantornya jauh soalnya,” ajak Annie sambil menyambar laptop dan tasnya lalu berjalan bergegas. Lea segera menyusul managernya tersebut dan mengikuti langkah Annie menuju lift. Di lobby ternyata theo telah menunggu, ia tampak berdiri bertumpu pada tongkatnya sambil menggendong ransel. “Ayo pak, kami sudah siap,” ucap Annie saat melihat Theo dan mereka bertiga pun keluar menunggu mobil Theo sampai di lobby. Angin sore itu bertiup sangat kencang membuat Lea kelabakan ketika rok lebarnya mulai mengembang dan terangkat kesana kemari. Wajahnya terlihat memerah ketika tongkat Theo kini telah berada dibawah pantatnya seolah menahan agar bagian belakang roknya agar tak terbang. “Makasih pak,” ucap Lea tampak malu sambil menahan rok bagian depan dengan sebelah tangan karena sebelah tangannya lagi sibuk memegang semua barang bawaannya. “Ayo kamu masuk duluan,” suruh Theo sambil berjalan dibelakang Lea, ketika mobil Theo berhenti di depan lobby. Lea pun segera masuk disusul oleh Annie dan Theo paling akhir. Selama perjalanan, Lea hanya diam. Pikirannya sibuk mengatasi rasa malunya karena roknya tersingkap dan Theo sampai membantunya menutupi dengan tongkat. Entah mengapa, semakin kuat keinginannya menghindari Theo, malah semakin dekat ia dengannya. Pria itu kini asyik berdiskusi dengan Annie , membahas apa saja yang bisa perusahaan mereka tawarkan kepada perusahaan client. Untungnya, setelah sampai di tempat client, mereka semua sibuk dengan pekerjaan sehingga Lea bisa melupakan perasaan malunya. Lea merasa sangat lega ketika meeting mereka selesai. Meeting itu terasa intens sekali, Lea sedikit keteteran saat membuat MOM karena banyak hal yang harus dicatat secara detail. “Kamu sudah catat semuanya?” tanya Annie pada Lea ketika mereka bertiga kembali berjalan menuju lobby menunggu pak Sugi — sang supir menjemput mereka. “Sudah, mbak!Nanti aku rapikan terlebih dahulu sebelum aku kirim via email,” jawab Lea cepat. “Besok saja kamu rapikan, aku harap kamu bisa belajar cara negosiasi seperti yang dilakukan pak Theo. Kamu harus pintar untuk mencari tahu kebutuhan client dan menggali informasi dari mereka sebanyak dan sedetail mungkin, karena hal itu sangat membantu kita untuk bisa memberikan jasa sesuai yang mereka butuhkan dan efektif.” Lea hanya mengangguk setuju, saat meeting tadi ia merasa kagum pada Theo, dibalik sikap dan mulutnya yang pedas, pria ini memang memiliki kemampuan yang hebat dalam bernegosiasi. Pantas saja ia sangat detail dan terperinci. Bicara dengannya seolah tengah memetakan masalah dan mengurainya menjadi solusi. “Sudah pukul 5.30, kalau begitu aku pamit ya. Kita bertemu di kantor besok,” ucap Annie tiba-tiba berpamitan pada Theo dan Lea. “Loh, mbak Annie gak bareng sama kita?!” tanya Lea mendadak takut. “Rumahku hanya 20 menit dari kantor ini, jadi aku mau langsung pulang saja. Pak, titip Lea ya… tolong antarkan dia sampai rumah,” guyon Annie sambil mengedipkan matanya pada Lea yang langsung pucat pasi saat mendengar Annie tak akan bergabung bersama mereka. “Tenang saja, nanti aku antar dia sampai depan kamar,” jawab Theo dingin tak berekspresi lalu mencolek tangan Lea untuk segera masuk ke dalam mobil. Lea pun hanya bisa menundukan kepalanya dan segera masuk ke dalam mobil dan duduk disamping Theo. “Mampir dulu ke Mall pak, saya mau makan malam dulu dan cari sepatu.” ucapan Theo membuat Lea menolehkan wajahnya ke arah pria itu. “Kita gak langsung pulang pak?” “Nggak … kamu gak lihat lampu mobil yang berjejer terang di jalanan sana? Kalau jam segini kita pulang, pasti sampe rumah juga mungkin lebih dari pukul 8 malam. Lebih baik kita menunggu di Mall sampai jalanan lebih lenggang agar bisa sampai dirumah. Lagi pula aku butuh sepatu baru, dan ada store sepatu langgananku di Mall yang kita tuju.” Lea hanya diam dan langsung berdoa di dalam hatinya, bagaimanapun ia masih merasa canggung berada didekat Theo walau beberapa hari ini entah mengapa mereka sangat dekat, bahkan secara fisik juga. Dalam waktu tiga hari Lea sudah menyentuh tubuh hampir seluruh tubuh Theo dan kakinya. Lea tampak tercekat ketika sampai di Mall, Theo memilih salah satu restoran mahal untuk makan malam. “Kita makan disini?” “Iya, kenapa?” “Saya kasbon dulu ya pak … nanti saya bayar kalau udah gajian. Makan disini mahal soalnya…,” bisik Lea. “Ck, apaan sih kamu?! Kalau saya yang ajak tandanya saya yang bayar!” jawab Theo tak kalah berbisik.Lea pun tersenyum senang. Menikahi Max memberikannya banyak keuntungan, salah satunya adalah bisa masuk restoran mewah dengan harga berapapun. Theo menahan senyumnya saat ia melihat Lea seolah tahu apa yang harus ia pesan untuk dirinya sendiri. Selama makan, Theo sangat sibuk menerima telepon dan membalas pesan, sampai-sampai Lea harus membantunya memotong makanan dalam piringnya. Lea baru saja hendak memesan dessert ketika Theo meminta bill pada salah satu pelayan resto. “Pak, saya belum pesan dessert,” ucap Lea tampak kecewa. Theo hanya menghela nafas dan segera memesan kembali pada sang pelayan. “Tolong pilihan beberapa potong cake untuk di take away saja,” pinta Theo cepat lalu meninggalkan Lea sesaat sampai akhirnya Lea menyadari bahwa sang pelayan datang membawakan dessert yang tadi Theo pesan. “Ini ya bu pesanannya, ohya, ibu ditunggu suaminya di depan.” “Hah? Suami?” “Iya, suami ibu yang duduk disini tadi menunggu didepan dan minta tolong untuk memberitahu ibu.” Lea tercekat sesaat sebelum ia akhirnya tersenyum kering karena disangka istri dari Theo. Perempuan itu pun segera mengangkat tubuhnya, menyambar tas dan paper bag yang berisi kue. Setelah menghabiskan malam dengan menemani Theo berbelanja, Lea tampak menguap saat masuk ke dalam mobil. “Ngantuk?” tanya Theo basa-basi. Lea hanya diam dan menahan kantuknya. “Masih ada kue yang harus kamu habiskan tuh, tadi minta dessert kan?” “Buat nanti aja deh pak, aku lelah.” “Diajak belanja kok lelah sih, kamu aneh.” “Lah, yang belanja kan bapak?! Saya cuma dapet apesnya doang…” “Apes apanya? Kamu tadi dapat traktiran makan banyak gitu.” “Apes disangka istri bapak…” “Emang kamu gak mau disangka jadi istriku?” “Apaan sih bapak, ah!’ “Sepertinya kita musti membuat perjanjian baru…. Telingaku sedikit gatel dipanggil bapak jam segini … aku masih muda loh, 35 tahun. Sepertinya aku masih layak dipanggil mas mulai pukul 6 sore sampai pagi kalau kita bertemu.” “Idih, muda apanya? Itu udah usia Om-Om.” “Mulai malam ini, selesai jam kerja kamu harus memanggilku mas kalau bertemu dirumah.” “Nggak, ah! Bapak ganjen! Apaan sih!” “Coba panggil aku … mas Theo ….” “Ihhh, aku gatel-gatel dengarnya! Nggak ah!” Lea segera menutup kupingnya dan memalingkan wajahnya keluar jendela. Entah mengapa ia mendadak takut melihat raut wajah Theo yang biasanya dingin kini berubah sedikit nakal saat menggodanya. Di dalam hatinya ia berdoa tiada henti semoga bosnya ini bukan pria berkepribadian ganda. Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD