Mr. Galau

1451 Words
Lea mengikuti langkah Theo yang berjalan terburu-buru dengan tertatih-tatih. Melihatnya berjalan cepat-cepat begitu membuat Lea khawatir bahwa atasannya itu terjatuh karena berjalan tampak tak seimbang. Saat ini ia hendak ikut meeting dengan Theo walau entah kemana. “Bapak…,” panggil Lea perlahan dan setengah berlari mengejar Theo dan spontan memegang lengan Theo agar pria itu tak terjatuh. “Masuklah,” suruh Theo saat mobilnya sampai di lobby. Lea segera masuk ke dalam mobil dan duduk dengan diam tak ingin mengganggu Theo yang tampak uring-uringan. Theo pun menyebut sebuah restoran yang ternyata tak jauh dari lingkungan perkantoran mereka. Ketika sampai, Lea hanya mengikuti langkah Theo masuk ke dalam restoran. “Pesanlah,” suruh Theo dingin. Lea segera memesan sebuah minuman. “Hanya minum? Pesan makanan sana, kita akan cukup lama disini,” suruh Theo mendengar pesanan Lea sambil sibuk memilih makanan dan minuman untuk dirinya sendiri. Lea pun menurut, ia memesan makanan untuk dirinya. Sampai makanan pesanan mereka berdua itu datang, tak ada pembicaraan antara Theo dan Lea. Lea hanya diam memperhatikan atasannya sembunyi-sembunyi. Sedangkan Theo tampak tengah berpikir sambil menunggu makanannya datang. Lea tak ingin ambil pusing, ketika makanannya tersaji, ia segera menikmatinya dengan tenang. Makan siang tadi tak bisa mengenyangkan perutnya karena terlambat makan dan kena bentak Theo. Sedangkan Theo tampak terus berpikir sambil makan dan menatap keluar jendela. Bahkan ketika makanan mereka berdua habis, client yang mereka tunggu tak kunjung tiba. Lea bertanya-tanya didalam hati dengan siapa mereka akan meeting, karena client itu pasti orang penting, bisa membuat Theo yang sangat on time itu menunggu begitu lama. Lea sudah mulai mengantuk dan kekenyangan, makanan di meja pun sudah ludes dengan bersihnya. Ia sudah mengisi kembali air mineral di dalam gelasnya agar mulutnya terasa bersih saat meeting nanti tetapi sang client tak kunjung tiba. Matanya membulat saat mendengar Theo meminta bill pada pelayan. “Loh, kita gak jadi meeting pak?” tanya Lea kebingungan dan bertanya dengan suara pelan. “Sudah selesai.” “Hah? Sudah selesai? Apanya? Meetingnya? Sama siapa?” Lea yang masih kebingungan segera menoleh kekanan dan kekiri seolah memastikan bahwa tidak ada orang lain selain mereka berdua di meja itu. Leo hanya diam sibuk membayar tagihan mereka lalu berdiri dan mulai berjalan menuju pintu keluar diikuti Lea yang setengah berlari kecil. “Kita pulang pak,” suruh Theo pada Sugi saat mereka kembali ke mobil. “Pak, kita gak jadi meeting? Katanya tadi mau late lunch meeting?” tanya Lea masih tak mengerti dengan apa yang terjadi. “Kita sudah meeting. Barusan …. Sambil makan…,” jawab Theo acuh dan menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi. “Aku gak ngerti,” gumam Lea takut-takut tapi penasaran. “Ck, barusan itu kita meeting, Lea! Kamu meeting sama aku! Sambil makan siang yang sangat terlambat!” “Ohhh, maksudnya meeting tadi itu, bapak minta ditemenin makan siang, thooo… bilang kali pak… lagian tadi pake marah-marah segala…,” sungut Lea sambil memundurkan tubuhnya dan ikut bersandar di sandaran kursi. Theo hanya diam dan membuang wajahnya keluar jendela mobil. Seharian ini ia merasa galau, ucapan sang ayah mempengaruhi pikirannya. Entah mengapa urusan Max dan Lea ini kini mengganggu perasaannya. Awalnya Theo ingin memberitahu Lea siapa dirinya dan apa hubungannya dengan Max, tetapi Theo mengurungkan niatnya. Melihat Lea yang asik menikmati makanannya dengan raut wajah sendu, membuat Theo tak ingin menambah beban dihati perempuan ini, apalagi jika ia mendengar bahwa Max akan mengumumkan pertunangannya malam ini, sudah pasti akan membuat Lea semakin terpuruk. Theo sadar, dibalik tawa Lea yang riang dan tingkahnya yang lepas tanpa beban, ia memendam perasaannya pada Max begitu dalam penuh kesedihan. “Hari ini kita akan pulang lebih cepat, nanti malam aku dan papa ada acara keluarga soalnya.” “Loh, aku juga ikut pulang pak? Padahal gak apa-apa kalau aku masih dikantor … kan aku gak ikut ke acara keluarga bapak.” “Tidak, hari ini aku ingin kamu tinggal di rumah!” Lagi-lagi suara ketus Theo membuat Lea diam. Sesampainya dirumah, Theo segera meninggalkan Lea dan perempuan itu memutuskan untuk menghabiskan waktunya dikamar sampai seseorang mengetuk pintu kamarnya. “Mbak, dipanggil mas Theo,” panggil Sari dari luar. Dengan malas Lea menyeret langkahnya dan membuka pintu dan mengikuti langkah Sari masuk ke dalam rumah utama. Di dalam terlihat begitu terang benderang, sudah ada Theo dan ayahnya – Sukma yang tampak rapi mengenakan Jas tanpa dasi. “Wih, gantengnyaa…. Om Sukma ganteng bangett…” puji Lea riang ketika melihat kedua pria itu berpakaian berbeda. Sukma tampak senang mendengar pujian Lea, berbeda dengan Theo yang kali ini tak mengenakan kacamatanya, walau terlihat tampan wajahnya terlihat dingin tanpa senyuman. “Mas, kamu gak akan pakai tongkat?” Pertanyaan Lea membuat kedua orang itu menoleh. Lea pun tampak tersadar dengan kalimat yang ia ucapkan. “Eh, pak…” ralat Lea. Perlahan Theo menghampiri Lea dan mengacak-acak lembut rambutnya perlahan seraya berkata, “Gitu dong, panggil aku mas kalau di rumah. Aku sama Papa pergi dulu ya,” ucap Theo lembut dan membuat Lea sedikit berdebar mendengarnya karena terdengar begitu mesra. “Eh, tongkatnya? Gak apa-apa gak pake tongkat?” tanya Lea mengalihkan pembicaraan. “Tak usah, kami tak akan lama … aku masih kuat berjalan tanpa tongkat,” jawab Theo sambil berjalan tertatih-tatih mengikuti sang ayah menuju mobil. Lea melambaikan tangannya pada mobil yang bergerak meninggalkan kediaman keluarga Theo. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri tampak malu sendiri seolah ia adalah salah satu sang pemilik rumah. Perlahan Lea berjalan kembali ke kamarnya sambil berpikir mengapa atasannya bersikap aneh hari ini. Di dalam mobil Theo tengah berbincang dengan sang ayah tentang Lea. “Kamu sudah bilang sama Lea kalau kamu sepupu Max?” tanya Sukma. Theo menggelengkan kepalanya perlahan. “Tak perlu.” “Theo …” “Biarkan Lea mengenalku apa adanya, Pa. Aku juga takut ia akan lari menjauh jika ia tahu aku siapa … ia pasti merasa canggung dan tak enak hati. Aku tak mau itu.” “Jika ia pergi menjauh atau resign kerja dari tempat kamu, itu hak nya … ia berhak bahagia dan tak ingin tersakiti dengan bayang-bayang mantan suaminya. Memangnya kamu siapa?” “Wajar dong, sebagai atasan aku tak ingin karyawanku resign.” “Kamu melihatnya sebagai karyawan atau perempuan? Tapi Papa mengerti kenapa kamu menyukainya …” “Hubunganku dan Lea sebatas atasan dan bawahan, Pa.” “Loh, kalau kamu menyukainya sebagai laki-laki terhadap perempuan juga tak apa, tak ada yang melarang! Kalian berdua sudah dewasa! Hanya saja, pesan Papa, pikirkan segala sesuatunya dengan baik, jangan terburu-buru. Sikapmu seperti ini bisa menjadi bumerang untukmu jika kamu terlalu lama menutupi dari Lea.” Theo hanya diam, ia ingin membantah ucapan sang ayah yang mengira bahwa ia memiliki perasaan pada Lea, tapi entah mengapa ia enggan melakukannya. Theo tak ingin menjilat ludahnya sendiri dan hanya ingin hubungannya dengan Lea mengalir apa adanya. Ada senyum tipis tersungging di bibir Theo saat mengingat wajah malu Lea yang memanggilnya mas didepan orang banyak saat dikantor tadi siang. Ia sedikit menyesal meninggikan suaranya ketika mengajaknya pergi meeting yang tak perlu. Tentu saja tak ada meeting, Theo hanya ingin menutupi rasa malu Lea saja. Waktu pun berlalu, tepat pukul 11 malam Theo dan sang ayah sudah kembali kerumah. Theo tampak terkejut ketika melihat Lea tertidur didepan tivi diruang keluarga. Sejak kehadiran Sukma, Lea memang lebih bebas keluar masuk rumah utama, karena kadang setelah makan malam, Sukma sering memanggilnya untuk nonton tivi bersama hanya untuk berbincang sebelum Lea tidur. “Sudah, selimuti saja dia. Kasihan kalau dibangunkan,” ucap Sukma setengah berbisik saat melihat Lea yang tidur meringkuk. Theo pun mengangguk dan mengambil selimut dari dalam kamarnya, sedangkan sang ayah sudah masuk ke dalam kamarnya sendiri untuk istirahat. Di selimuti malah membuat Lea terjaga dan berusaha duduk sambil mengantuk. “Bapak baru pulang?” tanyanya dengan suara serak. Theo hanya mengangguk lalu duduk disamping Lea untuk membuka sepatunya. “Kenapa gak tidur dikamar?” tanya Theo sambil membuka sepatu perlahan, kakinya terasa lelah dan ngilu karena harus berdiri cukup lama tanpa tongkat. “Aku nungguin bapak, pasti kakinya sakit karena harus jalan tanpa tongkat. Sini pak, aku bantu…” ucap Lea lirih sambil berdiri sempoyongan sambil memeluk tabung semprotan penahan rasa sakit milik Theo. Lea segera mengambil handuk kecil dari dalam nakas di dekat wastafel dan membasahinya dengan air hangat dari kran. Theo membiarkan Lea mengurus dirinya dengan memperhatikan perempuan itu membantu Theo selonjoran di sofa, membersihkan kakinya lalu menyemprotkannya dengan seksama. Sudah lama rasanya Theo merasa diperhatikan, dan setiap momen seperti ini datang, rasanya selalu menyenangkan. Entah mengapa, tiba-tiba rasanya Theo ingin mencium bibir Lea yang tersenyum lembut dan tengah berjongkok sambil memijat kakinya perlahan. Theo hanya mengalihkan pandangannya perlahan mencoba menyadarkan dirinya sendiri bahwa ia hanyalah atasan Lea dikantor dan sepupu mantan suaminya. Tidak lebih. Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD