Si Mulut usil

1764 Words
Lea tersentak ketika suara tongkat mengetuk kursinya dua kali sehingga ia menoleh ke arah suara dan melihat Theo tengah berdiri di belakang kursinya dengan wajah kaku dan pandangan dingin. “Sudah jam 2 siang, saya perhatikan dari pagi kamu gak keluar kantor. Gak punya client untuk meeting dan di follow up?” ucapan Theo terdengar bagai sindiran ditelinga Lea. Tanpa sadar Lea menoleh kekanan dan kekiri melihat teman-temannya yang sudah tidak ada di meja mereka karena keluar kantor untuk meeting. “Saya sedang menyelesaikan report dan tadi sudah meeting online dengan tim design bersama client. Hari ini memang tidak ada meeting offline Pak, karena sudah ada dua meeting online dan ada report juga administrasi yang harus saya selesaikan.” Mendengar jawaban Lea yang sedikit gugup membuat Theo menganggukan kepalanya perlahan. “Setelah selesai pekerjaanmu nanti, tolong mampir keruangan saya.” “Tapi mbak Annie masih meeting diluar, Pak…” “Apa hubungannya dengan Annie? Yang saya minta, kan kamu ke ruangan saya, bukan Annie?! Apa setiap keruangan saya harus ada Annie yang menemani?!” Jantung Lea rasanya langsung menyusut dimarahi seperti itu, ia pun segera mengangguk cepat dan meminta maaf. Tanpa bicara apa-apa Theo segera berjalan meninggalkan Lea dengan langkah pincang dibantu tongkat yang seperti tangkai payung. Desahan panjang Lea yang terdengar panjang, membuat Juwana yang duduk di hadapan Lea memunculkan wajahnya dibalik cubicle. “Panjang amat desahannya, sampe kedengeran kesini.” “Ck, dia itu kenapa sih pak? Baru seminggu masuk udah bikin gak nyaman. Kayanya sejak aku masuk, baru saat ini aku merasa pengen resign, padahal kemarin aku bawaannya betah banget dan pengen mengabdi lama disini. Kenapa dia gak lamaan aja sih di Eropanya?!” “Kan udah dibilangin, kalau bicara sama pak Theo itu gak boleh pake perasaan, dengerin aja ucapannya, tangkap maksudnya dan langsung kerjain.” “Dia udah kerja lama di Eropa kenapa balik lagi kesini sih, Pak?” tanya Lea penasaran. “Dia itu ke Eropa sebenarnya bukan buat kerjaan, tapi berobat untuk kakinya. Hanya saja, karena ada peluang untuk perusahaan ini expansi dan memiliki client baru dari luar jadi sekalian pak Theo follow up.” Lea hanya diam mendengar penjelasan Juwana. Ia seolah tersadarkan bahwa atasannya pincang karena suatu alasan tapi sejak bertemu Theo pertama kali, Lea tak pernah tertarik untuk bertanya penyebabnya. Ia tak pernah tertarik untuk mengetahui urusan orang lain, karena tak ingin orang lain juga tahu tentang dirinya. “Cepet email report nya, kamu ditungguin pak Theo tuh di ruangan…,” ucap Juwana seolah mengingatkan. Lea menghentakan kakinya perlahan. Entah mengapa ia merasa takut. Di usianya sekarang, ia tak punya banyak pengalaman dalam dunia pekerjaan dan baru kali ini ia mendapatkan atasan yang dingin dan ketus seperti Theo. Dulu sebelum menikah dengan Max, Lea pun hanya staff kantor biasa. Pernikahannya dengan Max membuatnya memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga saja, toh mantan suaminya itu cukup kaya dan bisa menghidupinya dengan sangat nyaman. Sayangnya, materi yang berlimpah itu tak bisa membuat Lea bahagia. Setiap pagi ia merasa cemas ketika suaminya pergi bekerja dan setiap malam ia akan menangis merindukan Max yang tampak tak merindukannya. Lea mencoba mengendalikan perasaannya dengan menggerakan tubuhnya ke kanan dan ke kiri. Ingatannya tentang Max selalu membuatnya sangat sedih dan ingin menangis. Lea segera merapikan pakaiannya dan berjalan menuju ruangan Theo. Ia sudah mengalami perasaan sedih dalam hidupnya, dimarahi Theo tak akan membuatnya sedih dibandingkan perpisahannya dengan Max. Langkah Lea menjadi lambat ketika ketukan pintunya dibalas dengan panggilan masuk. Ia pun segera membuka pintu perlahan dan menganggukan kepala sambil tersenyum ke arah Theo yang hanya meliriknya. “Duduk!” suruh Theo tanpa meninggikan suaranya. Lea segera duduk dan merapikan tubuhnya sesaat. “Sejak saya kembali, kita belum pernah berkenalan secara langsung. Kamu gak usah tegang, karena saya memanggil kamu untuk ngajak ngobrol secara personal.” Theo segera menoleh kearah Lea dan menatapnya tajam dari balik kacamatanya. “Jadi nama lengkap kamu Azalea Mahaputri?” “Iya Pak.” “Coba ceritakan tentang diri kamu!” “Hmmm, apa ya pak … saya masih 27 tahun… saya belum punya banyak pengalaman kerja di berbagai perusahaan, dan ini adalah perusahaan saya bekerja.” “Suami kerja dimana?” Mendengar pertanyaan Theo, Lea tampak tercekat. Ia masih merasa sungkan bahwa sudah bercerai. “Disini status kamu menikah, benar kan?” “Saya sudah bercerai pak… Saya Janda…,” jawab Lea perlahan. “Ohh … kenapa musti ragu bilang kamu janda, saya juga duda, gak perlu malu dengan status sendiri.” “Saya … belum terbiasa jadi janda… masih newbie … saya masih gak siap kalau orang-orang tahu saya janda dan menanyakan alasannya.” “Tenang saja, lama-lama kamu akan terbiasa … toh, kamu gak berencana untuk lama-lama jadi janda, kan?” “Belum tahu, Pak.” “Kenapa? Masih belum punya pasangan baru?” “Belum. Belum mau!” “Masih cinta sama yang lama?” “Masih trauma…” “Masa?” “Idih, bapak, apaan sih pak?! Pertanyaan kaya begini ini nih, yang bikin aku gak mau bilang kalau aku janda! Lagian bapak, kepo amat!” “Idih, ditanya gitu aja marah …” Lea hanya merengut sesaat sebelum akhirnya ia sadar bahwa baru saja ia memarahi si atasan galak yang beberapa menit yang lalu membuatnya sangat takut. “Kamu tinggal sama siapa sekarang?” tanya Theo sambil membuka-buka berkas dihadapannya. “Sama keluarga … ibu dan kakak saya.” “Sudah diinformasikan belum sama Annie kalau malam ini kita ada makan malam bersama tim sales dan marketing? Saya harap semua bisa hadir termasuk kamu, karena momen itu bisa digunakan untuk ngobrolin kerjaan secara santai dan melemaskan urat nadi kalian yang pada tegang.Karena kamu sudah kembali tinggal bersama keluarga, mungkin kamu bisa beritahu mereka bahwa akan pulang lebih malam hari ini.” Lea terdiam, dia memang sudah tahu bahwa malam ini Theo mengajak mereka semua makan bersama sesuai dengan tradisi kebiasaannya. Tetapi ia enggan untuk ikut. Ia tak mengenal Theo seperti rekan kerjanya yang lain. Kini ia diajak untuk ikut dan merasa tak siap untuk memberikan alasan untuk menolak langsung dihadapan Theo. “Baik, Pak.” jawab Lea pelan, akhirnya ia menyerah dan memaksakan dirinya untuk ikut nanti malam. “Tetapi saya tidak bisa pulang terlalu malam, rumah saya jauh.” “Tak masalah, kita hanya makan malam saja, setelah kamu puas makan kamu boleh pulang duluan. Sudah, hanya itu saja perkenalan dari saya, selamat datang di kantor ini Lea.” “Terimakasih, Pak.” Lea pun segera bangkit dari duduknya dan meninggalkan ruangan kerja Theo dengan perasaan lega. Kini sedikit ada perasaan tenang dihatinya, ternyata benar, atasannya itu hanya galak untuk urusan pekerjaan, yang lainnya ia tampak biasa saja. Tak terasa waktu kerja pun berakhir, tim marketing dan sales di kantor Lea yang berjumlah 15 orang itu pun tampak ceria ketika memasuki restoran jepang dan duduk bersama. Lea merasa lega ketika ia mendapatkan tempat duduk paling ujung sehingga ia jauh dari pusat perhatian. Walau sudah enam bulan berbaur diperusahaan itu, tetapi ia masih belum terlalu akrab dengan dua tim marketing and sales yang lain diluar kepemimpinan Annie. Saat itu Theo belum tiba, tetapi mereka bisa makan apapun, karena konsep restoran ini all you can eat. Sudah lama rasanya Lea tak merasakan makan di restoran yang cukup mewah seperti sekarang. Dulu, ketika ia masih menikah dengan Max, ia bisa masuk restoran fine dining manapun yang ia mau. Ia bisa membeli apapun yang ia mau, dulu bahkan ia mengisi hari-harinya dengan berbelanja dan makan enak untuk menutupi rasa kesepiannya. Kini, Lea harus menghidupi kehidupannya sendiri. Bekerja di perusahaan saat ini ia memang mendapatkan gaji yang lumayan tetapi ia harus tetap berhemat, karena harus membantu ekonomi sang ibu yang hanya menerima uang dari pensiunan sang ayah. Belum lagi, kakak perempuannya yang cenderung boros sehingga jarang sekali bisa membantu sang ibu dirumah agar dapur tetap ngebul. Lea masih sangat bersyukur, ia bisa membawa semua barang-barang yang ia miliki saat menikah dengan Max dulu, sehingga sampai hari ini tampilannya masih sangat baik dengan barang-barang branded yang masih ia gunakan untuk menunjang pekerjaannya. Tetapi soal uang, ia menolak uang pisah dari Max. Ia tak ingin sepeserpun menerima uang dari mantan suaminya, walau maksudnya baik. Ia masih trauma dianggap menikahi Max karena materi, karena semua orang tahu Max tak mencintai Lea. Tak ada yang melihat bahwa perasaan cintanya pada Max sangat tulus sampai membutakan dirinya sendiri. Akh, lagi-lagi Max. Pria itu masih terus menerus berseliweran di pikiran Lea sampai hari ini. Wajah sedih Lea segera berganti gugup ketika Theo datang dan ternyata bangkunya kurang satu. “Biar saya ambilkan dulu ya, Pak,” ucap salah satu pelayan. “Tolong simpan bangkunya diujung sana saja, biar saya tidak mengganggu orang yang berseliweran untuk mengambil makanan.” Permintaan Theo membuat Lea sedikit tersedak karena tempat yang ditunjuk Theo adalah di antara dirinya dan Egi yang duduk saling berhadapan. Dengan sigap, pelayan itu pun meletakan kursi untuk Theo dan pria itu segera berjalan tertatih-tatih lalu duduk di dekat Lea. “Saya pesan ala carte saja, boleh saya minta menunya?” tanya Theo pada sang pelayan. Menu pun datang dan Theo segera membuka menunya. “Nanti saya panggil kembali ketika saya sudah siap untuk order,” ucap Theo setengah berbisik pada sang pelayan. Sang pelayan itu pun pergi. “Lea, boleh tolong bantu saya untuk pesankan makanan?” ucapan Theo membuat Lea hampir tersedak. “Saya pak?” “Buku menu ini terlalu besar dan meja ini terlalu penuh, boleh tolong bukakan untuk saya dan pesankan sekalian?” Tanpa bicara Lea segera membantu Theo dengan berdiri dan membukakan buku menu itu untuknya lalu membantu memesankan makanan pilihan Theo pada pelayan. Membantu memesankan Theo makanan membuatnya lagi-lagi mengingat Max. Masih terbayang di benaknya ajaran sang mantan ibu mertua yang mengajarkan banyak hal dalam melayani Max sebagai istri, sayangnya kini ilmu itu ia gunakan untuk melayani pria dingin di sampingnya ini. “Udah cocok loh Lea untuk punya suami, udah pinter melayani,” goda Egi ketika melihat Lea yang telaten menanyakan apa yang diinginkan oleh Theo. Mendengar ucapan Egi, Lea hanya memalingkan wajah, karena teman satu timnya belum ada yang tahu kalau ia sudah jadi Janda. “Lea sudah Janda,” celetukan Theo membuat Lea tersedak. Tak hanya dirinya tetapi rekan kerja lainnya pun jadi ikut menoleh dan menatap Lea tak percaya. “Hah? Masa udah Janda?!” tanya Juwana tak percaya. “Ih, bapak!” gumam Lea tak bisa menyembunyikan rasa kesalnya pada Theo. “Loh, kenapa? Emang aib jadi Janda? Saya juga duda kok,” jawab Theo santai tanpa berekspresi. Lea hanya diam dan sesekali memalingkan wajahnya atau membalas godaan dari teman-teman kerjanya. Ingin rasanya ia mencubit Theo karena membocorkan rahasianya. Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD